Sabtu, 27 Juni 2015

Tawuran, Penyimpangan Sosial yang Tak Lagi Soal Kenakalan Remaja

 


Tawuran. Satu kata yang erat kaitannya dengan tindakan negatif. Tindakan yang lekat dengan kehidupan masyarakat bahkan para pelajar yang masih duduk di bangku sekolah. Tawuran seakan-akan menjadi sebuah tradisi, yang semakin bertambah tahun bukannya semakin menurun, namun justru kasusnya semakin meningkat dan “dilestarikan” oleh para pelajar. Tindakan anarkis jalanan ini sering terjadi hanya karena alasan gengsi, rasa ketersinggungan, hingga atas nama solidaritas, yang bahkan tak setimpal dengan apa yang mereka lakukan hingga menjeratnya pada ranah hukum.

Tahun 2014 kemarin, kasus tawuran pelajar seakan-akan tak menyurut dari tahun-tahun sebelumnya, Terbukti, makin banyak berita-berita mengenai tawuran pelajar berseliweran di berbagai media. Menelisik definisi dari tawuran menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), tawuran diartikan sebagai perkelahian yang meliputi banyak orang. Parahnya, tawuran saat ini tak hanya soal perkelahian saja, tetapi merembet pada pembunuhan yang meliputi banyak orang. Sudah banyak kasus yang tertangkap media dimana kasus tawuran tak hanya soal saling berkelahi antar kelompok tertentu, misal antar geng sekolah. Akan tetapi, sudah bisa dipastikan dari perkelahian tersebut memakan korban, entah korban luka atau korban meninggal. Seperti kasus tawuran yang terjadi di Sukabumi pada November 2014 lalu yang dilansir dari news.okezone.com, bahwa tawuran pelajar terjadi antara SMK Lodaya dan SMK Negeri Pertanian Cibadak. Kasus tawuran ini memakan empat korban dari SMK Negeri Pertanian Cibadak. Mereka terbunuh karena melarikan diri dari tawuran dengan menceburkan diri ke Sungai Cimahi. Selain korban tewas, terdapat satu korban pembacokan yang tak sengaja tertangkap oleh siswa SMK Lodaya. Kasus lainnya terjadi di Bogor pada Februari 2014 lalu, seperti yang dilansir dari portal berita online antaranews.com, dimana kasus tawuran terjadi antara SMA Wiyata Karisma dan SMK Mensin. Kasus ini menewaskan seorang pelajar dari SMA Wiyata Karisma, akibat senjata tajam jenis celurit yang mengenai pelipis sebelah kananya.

Dua pemberitaan tersebut merupakan bukti bahwa kasus tawuran saat ini tak lagi soal kenakalan remaja, namun sudah mengarah pada tindakan kriminalitas dengan cita rasa premanisme yang menjadi bumbunya. Kasus tawuran yang kerap terjadi tak lagi memakan korban secara fisik, namun juga memakan korban batin baik dari pihak sekolah, keluarga, maupun warga sekitar. Terlebih, saat ini tawuran pelajar tak lagi hanya mengandalkan tangan kosong. Mereka biasanya membawa senjata tajam, mulai dari pisau lipat hingga besi sekalipun.

Tindakan tawuran sebenarnya tergolong dalam tindak penyimpangan, namun saat ini menjadi rutinitas yang kerap dilakukan oleh para pelajar. Sepertinya, penggolongan tawuran dalam tindak penyimpangan tak lagi pantas disandang. Saat ini, tawuran lebih pantas digolongkan ke dalam gaya hidup atau lifestyle. Hal ini dikarenakan banyaknya kasus tawuran yang tampaknya menjamur karena sebuah “tren,” bukan karena alasan khusus yang mendasarinya. Gaya hidup negatif ini akan merusak moralitas para pelajar, jika pihak sekolah dan keluarga tak benar-benar mengawal anak mereka dalam jalan kebenaran.

Saat ini, sudah seharusnya pihak sekolah dan keluarga saling bekerja sama untuk menekan angka tawuran yang terjadi, setidaknya meminimalisir kasusnya. Mengingat, jika tidak menjadi perbincangan yang serius, bisa jadi tindak tawuran benar-benar berubah menjadi sebuah tradisi dan gaya hidup yang diidentikkan dengan kata keren. Padahal, menjadi keren tak lantas harus melakukan hal-hal negatif seperti itu. Membuktikan prestasi baik di bidang akademik maupun non-akademik yang mampu membawa nama baik sekolah dan keluarga, baru bisa dikatakan keren. Belum lagi, jika hal ini terus-menerus dibiarkan, premanisme akan tumbuh lebih subur dari sebelumnya dan sudah pasti hal ini akan meresahkan warga karena tawuran pelajar berubah menjadi tindak premanisme.

Selain itu, penegak hukum haruslah lebih ketat dalam mengikat para pelajar untuk tak melakukan tindak tawuran yang merugikan banyak pihak. Pada dasarnya, solusi untuk menghindarkan para pelajar dari tindak tawuran bukan dengan menjauhi mereka sebagai pelaku, namun mendekati mereka dan mengajak mereka untuk melakukan kegiatan positif. Bukan niatan mereka melakukan tindakan kriminalitas seperti itu. Banyak faktor yang terkadang mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut. Mengingat, mereka masih dalam masa-masa mencari jati diri. Sudah menjadi kewajiban bagi pihak sekolah, keluarga, dan penegak hukum untuk terus mengawal mereka melakukan tindakan yang positif. Sekali saja mereka melakukan tindakan negatif, maka kedepannya akan mudah bagi mereka melakukan hal yang serupa. Terkadang, tindakan negatif yang mereka lakukan bukan karena niatan terdalam dari diri mereka, namun lingkungan yang menjadikan mereka melakukan hal tersebut dengan alasan pencarian jati diri yang masih labil. Di masa-masa pencarian jati diri, mereka butuh dukungan moril dari lingkungannya,  bukan olok-olok yang menyudutkan mereka hingga mereka seakan mudah melibatkan diri dalam hal negatif sebagai pelampiasan. Jangan salahkan keadaan karena keadaan tak pernah salah. Tinggal bagaimana kita sebagai manusia memanfaatkannya dengan baik hingga tak terjebak dalam keadaan yang sulit. (Chairunnisa Widya)



SHARE THIS

0 Comments: