POSTINGAN TERKINI

6/recent/LPM VISI

Sebelum Menyerah, Baca Ini Dulu. Nyala Hidup dari Sepenggal Harapan Kata Tidak


 

(Cover Novel Bagaimana Jika Tuhan Bilang Tidak? / Dok. Silfyani)


Judul : Bagaimana Jika Tuhan Bilang Tidak?

Pengarang : Tinandrose

Jumlah Halaman : 192 halaman

Penerbit : Teman Duduk

Tahun Terbit : September 2025

ISBN : 978-634-04-2343-3


Lpmvisi.com, Solo Bagaimana Jika Tuhan Bilang Tidak adalah novel fiksi yang mengulik kisah hidup Nirmana. Kisah ini merupakan sebuah refleksi akan penerimaan takdir hidup yang tidak selalu berjalan sesuai harapan, membawa Nirmana ke berbagai perjalanan hidup yang baru bisa ia pahami setelah melaluinya.


Nirmana, tokoh utama di novel ini, digambarkan sebagai sosok yang putus asa terhadap hidupnya. Bahkan di bab awal saja, pembaca disuguhkan adegan gila yang ia lakukan saking enggannya ia hidup di kubangan permasalahan yang baginya tidak kunjung habis dan menemui kata selesai itu. Permasalahan utama yang menjadi akar dari semua luka yang Nirma genggam erat berasal dari keluarga dan rumah tempat ia tinggal sedari kecil. Nirma hidup bersama keluarga yang baginya tidak terasa seperti rumah selayaknya. Ayah, ibu, adik, mantan kekasih, dan segelintir teman. Semua membawa pembelajaran hidup yang menakjubkan bagi Nirmana. 


Bagaimana Jika Tuhan Bilang Tidak merupakan representasi dari ketidakyakinan yang Nirmana punya atas pintu-pintu tertutup yang selama ini ia harap bisa terbuka. Nirmana sering menjumpai kata tidak di setiap hal yang ia semogakan. Nirmana kehilangan arah, makin terpuruk, dan satu-satunya jalan keluar yang ia pikirkan saat semuanya terasa runyam adalah mengakhiri hidupnya. Tapi, Tuhan punya rencana lain, ada alasan kenapa Tuhan berkata tidak pada keinginan sekelibatnya itu. 


Kisah hidup Nirmana berpilin pada trauma dan luka yang ia punya. Ada permasalahan keluarga yang ingin ia selesaikan, hubungan Nirmana dengan ibu dan adiknya, Nurmala. Kisah Rembulan yang mengajarinya arti duka yang berbeda, hingga impian yang kembali menyala lewat perantara teman lama. Pertemuannya dengan Kamal, pasien kamar sebelah saat ia dirawat inap, menjadi titik balik yang membuat Nirma merasakan kehadiran Tuhan lagi. Serta persoalan rumit antara Nirma, ayah, dan keluarganya yang menjadi simpul konflik terbesar. Nirma yang sudah lelah dengan setiap jawaban tidak yang ia terima, mencoba menyusun ulang penggalan hidup yang bisa ia selamatkan. Perlahan Nirma melakukan upaya-upaya agar ia kembali hidup dengan sebenar-benarnya.


Novel setebal 192 halaman ini terdiri dari 15 bab dengan gaya penyampaian yang berbeda daripada novel kebanyakan. Pembaca seolah-olah tengah diajak bicara oleh seorang sahabat lama lewat dering telepon yang tersambung, mendengar ia mengisahkan hidupnya di setiap bab baru dengan penggalan kisah yang saling bertaut satu sama lain. Di setiap awal dan akhir bab selalu terselip penggalan kalimat dan sebait puisi yang penuh arti hidup. Membuat pembaca semakin terhanyut dalam kisah di masing-masing babnya.


Tinandrose di pengantar awal mengatakan, melalui buku kedua yang ia tulis ini ia ingin memperlihatkan sisi di mana pembaca akan tahu bagaimana rasanya dipeluk hangat walau dengan kegetiran yang pekat. Hal tersebut dapat ditemukan dalam bab-bab yang tersaji di novel ini. Karena setiap kisah yang ada berhasil membuat pembaca ikut merasakan kegetiran hidup yang dibalut dengan rasa hangat dari makna yang menyertainya. 


Gaya penulisannya pun nyaman untuk dibaca, mudah dipahami, dan sarat akan makna. Selama membaca novel ini, banyak ditemukan penggalan-penggalan kalimat yang bisa digunakan sebagai pengingat hidup. Meski tidak tebal, isi novel ini terbilang berat. Tapi, penulis berhasil menyampaikan isi pesan kepada pembaca dengan lugas dan apa adanya. 


Meskipun setiap babnya saling berkaitan, ada beberapa bab yang membuat pembaca seperti melompati alur yang seharusnya. Penulis menyelipkan pembahasan topik lain setelah membahas topik tertentu di bab sebelumnya. Alur utama jadi terasa sedikit tersisihkan dan ter-pending oleh penggalan kisah lain di luar topik utama yang sebenarnya masih relevan juga dengan tema buku secara keseluruhan. 


Selain itu, ada kesalahan penulisan atau typo dan kalimat tidak efektif di beberapa halaman. Contohnya di halaman 24, 54, 112, dan 124 penulisan kata yang, dirasa kurang tepat. Penggalan kalimat; Oh iya, subuh tadi ada pasien yang baru saja yang meninggal dunia (halaman 24). Tahun lalu, aku membeli sebuah buku yang tentang trauma …. (halaman 54). Selama menjalani hubungan romansa dengan Jana, mulai muncul banyak gesekan yang muncul …. (halaman 112). Aku senang-senang saja, karena akhirnya yang beberapa orang melihat keberadaanku (halaman 124).  Hal tersebut membuat makna kalimat menjadi rancu. Lalu di halaman 56, terdapat typo pada penulisan kata tulis yang seharusnya ditulis tulus. Pada halaman 176, penulisan kalimat tidak efektif menimbulkan makna ambigu. Apa kau sudah berani tidur dengan dalam gelap? (halaman 176).  Serta halaman 178, dengan penggalan kalimat; Mungkin sekarang, adik laki-lakiku itu sudah masuk usia remaja. Aku pun sudah seperti apa wajahnya. Kesalahan-kesalahan kecil ini cukup mengganggu ritme baca.


Meski begitu, menyelami isi novel ini membuat pembaca merenungi kembali arti hidup, lebih peka dengan apa yang sedang dirasakan oleh jiwa yang menghuni pribadi setiap diri, melihat dunia dengan cara berpikir yang lebih luas, serta menyadari betapa setiap luka punya cerita. Dalam salah satu bagian, penulis menulis, “Kalau satu kalimat saja butuh satu spasi agar bisa terbaca, begitu pula dengan hidup yang butuh jeda untuk bisa dimaknai. Berhenti sebentar bukan berarti bukumu selesai. Masih ada halaman-halaman berikutnya yang menunggu untuk dibuka.” Kutipan ini menegaskan makna utama dari keseluruhan kisah, bahwa setiap “tidak” dari Tuhan bisa jadi hanyalah jeda, bukan akhir. Jeda bukan kekalahan, melainkan ruang untuk kembali bernapas. 


Kesimpulannya, novel ini tidak hanya menawarkan hiburan, tetapi juga makna. Melalui kisah Nirmana, pembaca diajak menengok ke dalam diri, memahami luka yang selama ini mungkin tersembunyi, lalu perlahan menemukan kembali alasan untuk melanjutkan langkah. Bagi siapa pun yang sedang mencari bacaan reflektif, hangat, dan menyentuh sisi kebermaknaan hidup, buku ini adalah pilihan yang layak. Jika kamu membutuhkan cerita yang memberi kehangatan di tengah kegetiran hidup, novel ini bisa menjadi teman yang tepat, sebab seperti salah satu kalimat di dalamnya; “... bahwa bersamaan dengan pintu yang tertutup, akan ada pintu yang terbuka.” (Fifi)


Posting Komentar

0 Komentar