Selasa, 03 Februari 2015

Cerita dalam Hujan

Oleh: Ester Lia Amanda
 
Hujan malam ini sepertinya tidak akan berhenti jika belum bertemu pagi, “Hmfpp…” aku menghela nafasku, ya kali ini aku harus menunggu bus yang tak kunjung datang. Bersama dengan beberapa calon penumpang yang lain aku duduk di halte yang menjadi tempat penantianku, setelah hampir 12 jam sehari aku membusuk di sebuah ruangan dengan kertas-kertas yang cukup membuatku muak dan stress.
Bus-nya tumben belum datang, ya, Mbak,” ucap seorang wanita yang sedari tadi duduk disamping kiriku.
“Iya, gak biasanya. Biasanya sih cepet, jam 9 aja udah sampai sini. Mbak turun mana?” tanyaku, ya aku berharap waktu akan lebih cepat jika aku mengobrol dengan wanita cantik ini.
“Saya turun di daerah Pluit Mbak, kalau…” wanita itu mengulurkan tangannya, “Oiya, saya Mira Mbak, sampai lupa gak kenalan, hehehe.”
“Saya Shella.” Jawabku seraya menyambut hangat uluran tangannya.
“Emang rumah Mbak dimana?” tanyanya.
“Kalau saya kos sih, daerah situ juga. Hehehe.” Aku tertawa kecil, apa? Apa yang lucu? Bosan iya! Tapi, aku lumayan terhibur dengan wanita yang kira-kira berusia 22 tahun ini. Sedikit lebih muda dibandingkan aku, bisa jadi.
Kami berdua mengobrol, sesekali aku menengok ke ujung jalan kalau saja bus yang kami nantikan datang. Jam 10 malam, ku tengok jam ditanganku. Aneh, selama dua tahun menjadi penumpang setia, baru kali ini aku sulit mendapatkan bus. Aku mulai gelisah, hujan semakin deras, mobil-mobil berlalu dengan kecepatan sedang. Malam ini, Ibukota tidak macet karena hujan. Tidak! Aku menarik kembali pernyataanku, malam ini Ibukota tetap ramai dan padat kendaraan namun tidak sepadat biasanya karena hujan.
“Kalau nungguin bus kayanya gak bakal datang deh, Mbak.” Aku berharap, aku bisa pamit meninggalkan Mira dan naik taksi, walaupun aku harus mengeluarkan uang sekitar 75 ribu –biasanya dengan bus, aku hanya perlu membayar 15 ribu.
“Mbak Shella mau naksi? Barengan aja yuk, kan kita searah.” Ups, lumayan juga sih. Setidaknya aku tidak perlu membayar ongkos taksi full. Cepat saja aku mengiyakan ajakannya dan menyetop taksi.
Jam 11 malam, akhirnya aku mendaratkan badanku di kasur kos. Lelah, bukan lelah karena pekerjaan saja tetapi juga lelah menunggu bus yang tidak datang. Dua tahun ini aku memang membiarkan diriku untuk menikmati fasilitas umum yang ada. Jarak kantor dan kos ku lumayan jauh, mungkin membutuhkan waktu 30 menit jika jalanan lancar dan 1 sampai 1,5 jam jika jalanan macet. Setiap pagi aku menikmati pemandangan kemacetan di Ibukota yang sama sekali tidak pernah aku bayangkan sebelumnya. Aku pergi ke Kota ini, karena sebuah mimpi.


***
Sayup-sayup aku mendengar alarmku berteriak, setengah sadar aku bangkit dari kasur yang enggan melepaskan pelukannya pagi itu. Masih memakai pakaian kantor, semalam aku ketiduran dan lupa untuk berganti pakaian apalagi menyiram badan. Aku membersihkan make-up ku, dan bersiap untuk mandi. Kos ku ini memang nyaman sekali, setiap kamar difasilitasi dengan kamar mandi sehingga tidak perlu mengantri untuk mandi. Biasanya jam 6 pagi aku sudah siap untuk berangkat ke kantor, tetapi tidak untuk pagi ini. Setengah 7 pagi aku baru keluar dari pagar putih kos yang telah melindungiku dua tahun ini. “Sekali-kali dateng telat.” Batinku sambil berjalan menuju halte.
Jalanan pagi ini tidak terlalu ramai, mungkin karena gemericik air hujan masih setia menemani Ibukota, motor-motor tidak memadati jalanan seperti biasanya dan bus tidak se-sesak ini –ini tandanya mereka yang biasanya naik motor memilih naik bus karena HUJAN, mungkin, ya ini aneh!– hujan, sepertinya orang-orang di Ibukota gelisah jika dia mengguyur kota ini.
***
“Shell! Jangan hujan-hujan ntar kamu sakit.” Andre berusaha memayungiku.
“Ihhhh, aku tuh suka hujan. Liat nih!” aku mendorongnya pelan, aku menari-nari ditengah hujan, dilapangan sekolah, setelah eskul basket. Aku suka hujan, entah apa alasannya.
Andre adalah sahabatku, awalnya aku tidak percaya bahwa cinta akan datang ketika jalinan persahabatan begitu kental. Entah darimana perasaan itu, entah kapan munculnya, yang pasti aku bisa merasakan bahwa benih cinta mulai muncul, sejak aku dan dia duduk di bangku SMA. Andre, pria ini telah meracuniku dengan tawanya. Dia berhasil membiusku dengan perhatian yang disuntikkannya padaku. Dia benci hujan, tapi aku menyukainya. Dia benci air mata, tapi aku akrab dengan tangisan. Dia benci bus, tapi sekarang setiap hari aku setia menunggunya. Kami berpisah ketika kuliah, Ibukota menjadi destinasinya melanjutkan pendidikan, dan aku. Aku memilih Kota Kembang untuk merajut setiap helai impianku. Jaraknya tidak jauh, tetapi kami jarang bertemu. Aku bertemu dengan teman baru, begitu juga dengan Andre. Beberapa kali Andre ke Bandung bersama teman-temannya, tetapi saat itu aku tidak bisa bertemu dengannya. Kecewa? Aku sudah lupa apa itu kecewa, mungkin Tuhan tidak mengijinkan aku untuk bertemu dengannya.
Komunikasi kami hanya sebatas chatting, telepon, sms dan beberapa kali video call. Perlu diketahui, itu hanya bertahan sebentar. Setelah itu kami sibuk dengan tugas dan kegiatan kami di kampus. Sesekali aku menghubunginya, berusaha untuk tetap berkomunikasi tapi dia tidak mengindahkannya.
“Sorry Shell, BEM di kampus gue lagi mau ada acara gede. Gue matiin dulu ya teleponnya, ntar gue telepon lo lagi deh.” Katanya waktu itu.
Lo? Gue? Beuh, aneh. Aku menunggu, menunggu dia meneleponku. Sampai sekarang? Iya. Semenjak hari itu, dia tidak pernah menghubungiku. Setelah beberapa waktu, aku mencoba meneleponnya, tapi nomornya sudah tidak aktif. Aku chat di messenger-nya, offline. Saat itu memang aku kecewa dan marah, ternyata aku tidak penting baginya. Dia seperti hujan, dia membuatku menari menikmati setiap tetesan air dari langit,  tetapi pergi dengan cepat dan membuatku sakit. Aku datang ke rumahnya yang berjarak tidak jauh dari rumahku, Ibunya bilang sudah liburan 3 semester Andre tidak pulang, karena kegiatan kampus yang padat. Katanya liburan semester 4 dia akan pulang.
Liburan itu pun tiba, aku datang kembali ke rumahnya, dengan harapan akan bertemu dengan dia sahabatku, Andre. Semoga kali ini aku bisa melihatnya dan meminta maaf kepadanya. Salah apa? Aku tidak tahu, yang aku tahu aku merindukannya saat itu.
“Kemarin dia udah pulang, Shella. Cuma katanya dia mau naik gunung, duh tante lupa gunung mana, tapi dia pergi sama teman-temannya, subuh tadi dia berangkat. Tante juga kurang tahu pulang kapan. Kamu gak ada nomor teleponnya sayang?” Tante Ranti, wanita paruh baya itu berkata dengan hati-hati. Hatiku kecut, apa artinya persahabatanku dengan dia selama ini? Aku mencarinya, dia malah asyik sendiri! Sial!
“Emm, tolong nanti bilang ke Andre ya Tante, kalau Shella datang kesini, nanti Andre suruh ngehubungin nomor telepon Shella aja. Atau mungkin bisa datang ke rumah, karena Shella masih satu minggu disini. Makasih ya Tante.” Aku berpamitan dan pergi dari rumah bercat biru langit, tempat dimana Andre mengajakku berenang setiap weekend dulu, aku merindukannya.
Aku menunggu dia menghubungiku, aku berharap setidaknya dia akan datang ke rumah untuk mengacak-acak rambutku, menggelitiki perutku dan banyak hal konyol seperti yang dia lakukan dulu. Tapi, semua itu sepertinya tidak akan terjadi hingga akhirnya aku kembali ke Kota Kembang. Sejak saat itu, aku memutuskan untuk menyibukkan diriku dengan kegiatan di kampus. “Bagaimana sih rasanya sibuk? Apa mungkin kesibukkan itu bikin lupa sama sahabat?” tanyaku dalam hati, ya kalau memang benar kesibukkan membuatku lupa dengan sahabat, setidaknya aku bisa melupakan Andre.
Bohong jika kegiatan kampus membuatku lupa dengan Andre, aku memang sibuk tetapi otakku tetap memikirkannya. Aku berharap, ini tidak akan terjadi lagi setelah aku berhasil meraih gelar sarjana ekonomi ku selama 3,5 tahun. Saat duduk dibangku SMA Andre adalah buku diary-ku, tetapi saat ini aku hanya bisa menulis dan menceritakan suka duka ku menjadi mahasiswi di salah satu Universitas di Kota Kembang ini. Aku menulis skripsi – pendadaran – dan siap untuk wisuda pun Andre tidak tahu. Bagaimana ya dia sekarang? Sudah lulus kah? Aku membuka messenger-ku, berharap Andre online dan kenyataannya pupus lagi harapanku.
Liburan menunggu wisuda aku manfaatkan untuk mencari pekerjaan, aku sengaja datang ke Ibukota untuk melamar pekerjaan di salah satu perusahaan ternama di Indonesia. Satu harapanku selain bisa kerja di perusahaan itu adalah, aku dapat bertemu Andre yang juga bercita-cita bekerja ditempat yang sama. Sebelum lulus pun aku sudah diterima, karena aku dapat membuktikan aku mampu melakukan pekerjaan itu. Aku bertemu Bobby, yaitu teman sejurusan dengan Andre saat kuliah. Aku bertanya kepada Bobby, apakah Andre sudah lulus. Bobby menjawab iya Andre sudah lulus, bahkan dalam waktu 3 tahun saja dia sudah mendaftar untuk mengambil S2 di Luar Negeri, aku bertanya dimana Universitas itu tapi Bobby tidak tahu. Hah! Sudahlah, aku sudah berusaha untuk mencarinya tapi ternyata memang Tuhan sengaja menjauhkanku dengannya. Aku menghela nafas panjang, “God has a better plan, Shella.” Tapi yang aku bingung, kenapa dia berubah? Padahal, aku hanya kecewa bukan benci, bukan masalah yang besar kan? Konyol! Itu saja sih yang sebenarnya ingin aku tanyakan padanya.
***
“Mbak Shella!” suara ini, aku mengenal suara ini. Tidak asing, siapa lagi kalau bukan Mira. Aku sering bertemu dengan wanita itu sekarang. Sepertinya Tuhan mengirimkan seorang teman baru untuk menemaniku, menikmati ramainya Ibukota yang malam ini diguyur hujan lagi.
Aku menikmati bulir-bulir air yang mengalir di jendela bus. Tak sengaja aku mendengarkan percakapan penumpang yang mengeluhkan hujan yang tidak bosan datang setiap hari, ada yang bercerita tempat tinggalnya sudah terkena banjir, ada yang bilang akses jalanan jadi susah karena genangan air, dan sebagainya. Mira sepertiya lelah sekali malam ini, dia tertidur pulas disebelahku. Jalanan malam ini masih sama seperti biasanya, padat. Aku semakin larut dengan suasana syahdu ini, hujan. Aku sangat suka hujan. Pantulan lampu jalanan sesekali menyinari wajahku. Entah perasaan apa ini, aku merasakan rindu pada masa rok abu-abu ku. Sekilas suara Andre membuyarkan lamunanku, suara Andre yang selalu melarangku untuk menari-nari dibawah hujan.
Aku memandang ke arah Mira, aku baru sadar jika wanita ini menggenggam handphone nya. Bahaya, bisa-bisa dia bangun handphone sudah raib diambil orang. Aku berniat meletakkan handphone itu ke dalam tas nya. Tak sengaja aku menekan tombol, entah tombol apa itu dan membuatku melihat wallpaper-nya. Aku terkejut, ya aku tahu siapa orang yang ada dilayar itu, ya aku tahu siapa dia! Mira bangun dan memandangku dengan pandangan yang masih sayu dan helaan nafas.
“Eh Mbak, untung handphone nya Mbak bawa. Aku ketiduran.” Menyadari bahwa aku memandangi handphone nya dengan cepat dia bercerita, “Itu pacar aku Mbak, Andre namanya. Tapi sekarang dia lagi di Jerman, ngelanjutin S2 nya. Mbak kenal?” tanyanya, seakan-akan bisa membaca mimik wajahku.
“Eng.. enggak, cuma dia mirip sama temen aku.” Aku menyodorkan handphone nya dan tersenyum, “Kalian berdua serasi.” Tambahku. Mira tersipu malu ketika aku mengatakannya, matanya berbinar dan aku tahu, ya aku tahu dia pasti sayang sekali dengan pria itu.
***
Aku dan Mira pun menjadi teman, dan kami sering bertukar cerita. Dia sering menceritakan Andre, begitu juga denganku. Bedanya, aku tidak pernah menyinggung nama Andre dalam ceritaku.
“Eh iya nama sahabatnya Mas Andre itu sama kaya Mbak lho, Shella juga namanya. Dia dulu pernah cerita ke aku, kalau Shella itu suka banget hujan-hujanan. Hahaha, pasti Mbak Shella itu cantik ya, Mbak. Mas Andre sering cerita tentang dia. Kadang aku suka cemburu sih, tapi yaudah gak masalah. Katanya Mbak Shella sekarang udah bahagia sama pacar baru nya, jadi aku gak perlu khawatir lagi.” Katanya sambil menikmati secangkir teh disebuah café daerah Pluit.
Aku tersentak, pacar baru? Ah, itu Shella yang mana? Aku tidak pernah punya pacar lagi semenjak kuliah, jomblo sampai sekarang. Ngarang! Setidaknya aku bisa bernafas lega, aku tahu dimana Andre sekarang, dan aku ingin bertemu dengannya! Mira bilang Andre akan pulang ke Indonesia besok lusa, kami akan pergi bersama. Tidak sabar aku ingin melihat gimana Andre sekarang.
Waktu yang aku tunggu pun datang, kami pergi ke sebuah café didaerah Kemang. Dari kantor aku langsung meluncur kesana, cukup jauh jaraknya akan menjadi sangat buruk jika aku kembali ke kos dan berdandan. Telat!
“Mbak Shella!” Mira melambaikan tangannya.
“Maaf telat. Biasalah Ibukota.” Andre, aku bisa melihat pria itu sekarang. Tidak berubah! Perawakannya masih sama seperti dulu. Aku berusaha untuk bersikap biasa saja malam itu, berakting seolah aku belum pernah mengenal pria yang telah melupakanku, sebagai sahabatnya.
“Kenalin pacar aku nih, Mbak. Ganteng kan?” Malam ini Mira cantik sekali, dengan dress merah berpadu hitam dia terlihat elegan.
“Hey, Shella.” Aku tersenyum dan mengulurkan tanganku, Andre segera merenggutnya, “Andre.” Aku tersenyum, malam ini kami bak aktris dan aktor yang memainkan peran masing-masing.
“Aku mau ke toilet dulu ya, sambil pesen makanan. Mbak Shella mau minum dan makan apa?” Tanya Mira.
“Hot chocolate with sugar-less.” Aku tersenyum.
Mira berlalu, tinggal aku dan Andre di sudut café ini. Andre memandangku, “Apakabar, Shell?” tatapannya masih sama, sama seperti dia memandangku bertahun-tahun yang lalu.
“Aku? Baik, kamu gimana? Aku kangen kamu, Ndre. Hahaha, bercanda!” Tidak Shella, malam ini bukan malam mu, tapi malam Mira dan Andre. Kamu tidak bisa seenaknya berbicara dan bertingkah seperti ini, ingat Shella kamu sedang memainkan peranmu.
“Aku baik juga. So do I.” Andre menatapku dalam, hmfppp… aku ingin pulang saja, aku ingin menangis. Antara sedih dan senang, bisa bertemu dengan pria yang selalu membuat otakku penuh dengan namanya.
“Masih sama, hot chocolate with sugar-less.” Katanya lagi, membuat mataku kembali menatapnya dan mengangguk pelan. “Masih.” Ungkapku.
Mira datang dan menyenggol lenganku, “Kok gak ngobrol sih? Kalian masih canggung ya, hahahaha. Mbak Shella jangan-jangan suka lagi sama Mas Andre, dia punya aku lho Mbak.” Guyonnya. Kami berdua –Aku dan Andre– tertawa menanggapinya.

***
Bye! Mas Andre, Mbak Shella nya jangan dibawa kabur ya. Mbak Shella, kalau si Mas nakal dipukul aja aku ikhlas kok. Hati-hati ya kalian.” Mira melambaikan tangannya kearah kami dan berlalu kebalik pagar rumahnya.
Kami berdua, canggung. Entah harus memulai darimana dan bagaimana, aku tahu malam ini pasti sengaja Tuhan berikan karena Dia mendengarkan setiap permohonanku. Andre tidak langsung mengantarkanku pulang, dia mengajakku ke Ancol. Mobilnya diparkirkan, kami berjalan di tempat yang cukup luas itu mulai dari pantai dan tepi jalan, tidak ada tujuan, ya sekedar berjalan. Kami bercerita tentang keseharian kami, masalah kami, sampai bercerita tentang masa lalu kami. Aku sangat suka malam itu! Terima kasih Tuhan telah mempertemukanku dengan pria ini.
“Gimana pacar kamu, Shell?” pertanyaan Andre mengejutkanku, aku menghentikan langkahku.
“Pacar?” ulangku. “Iya pacar.” Yakinnya.
“Hahahahahaha, sejak kapan aku punya pacar? Terakhir aku pacaran kan sama si kunyuk zaman SMA dulu.” jawabku, aku melangkahkan kakiku dan Andre berhenti dibelakangku.
“Jadi?” Andre menyusulku, “Kamu gak pacaran sama Ferdy?” tanyanya lagi.
“Ferdy? Ohh, itu temen biasa. Dia aja yang ngejar-ngejar, padahal udah berulang kali aku bilang gak mau masih aja dikejar. Biasanya orang cantik, hehehe.” Hah? Jadi? Aku baru sadar. “Kok kamu tahu?” tanyaku menyelidik, jangan-jangan ini masalahnya kenapa kami jauh.
Andre mulai bercerita, Andre sempat menghubungiku setelah tragedi telepon itu. Sialnya bukan aku yang mengangkat teleponnya, tapi Ferdy. Disitu Ferdy bilang bahwa aku telah resmi menjadi pacarnya, dia meminta Andre untuk tidak menghubungi dan menemuiku lagi. Andre juga bilang, saat liburan sebenarnya dia tidak naik gunung. Dia tahu bahwa aku datang ke rumah dan meminta Mama nya untuk menyampaikan pesannya kepadaku, dan dia memang sengaja tidak meneleponku atau datang ke rumah. Lalu, kenapa aku tidak bisa menghubunginya? Melihatnya online di messenger? Aku mengecek nama Andre di kontakku, ternyata Ferdy telah mengganti nomor handphone Andre dengan nomornya yang sudah lama tidak aktif. Bodohnya aku, bertahun-tahun berteman dengan Andre nomor teleponnya saja aku tidak hafal. Dia memang sengaja tidak memasang status online di messenger agar aku tidak mengirimkan pesan kepadanya. Hah! Andre kamu bodoh, kamu tidak tahu masalahnya kenapa kamu dengan mudahnya percaya dengan Ferdy. Dan kamu Shella, kamu sangat bodoh! Kenapa kamu gak minta nomor handphone Andre waktu itu. Oke, udah jelas sekarang semuanya.
“Aku sayang kamu, Shell. Tapi sekarang udah ada Mira yang nemenin aku.” Andre menatapku, tatapan yang membuatku luluh. Tatapan yang melelehkan hatiku. Aku sayang kamu Andre, tapi aku tidak suka kalimat kedua dari ucapanmu tadi. Ya, aku terima. Karena memang dia sudah menjadi milik Mira sekarang, dan aku bisa apa? Aku ingin menangis malam itu, dan benar saja air mataku tidak dapat terbendung.
“Aku juga sayang kamu. Mungkin memang bukan jalan kita ya, Ndre. Takdir kita cuma bisa jadi sahabat. Tapi sekarang aku lega rasanya, bisa ketemu kamu, bisa liat kamu sama Mira. Aku iri sama Mira, hahahaha.” Aku menangis dan tertawa.
“Ngapain harus iri, Mbak? Dari awal aku juga udah tahu kok Mbak Shella ini siapa, semenjak aku jadi penunggu setia di halte bareng Mbak.” Mira? Tiba-tiba aja nongol, kaya hantu aja! Dia tertawa. “Aku pernah lihat Mas Andre ngelukis wajah wanita, dan itu bukan aku. Iya kan, Mas? Itu pasti Mbak Shella.” Mira terlihat tegar mengucapkan kata demi kata. “Aku sayang sama Mas Andre, Mas Andre juga setidaknya sayang sama aku. Tapi aku bakal lebih bahagia dan tenang kalau orang yang aku sayang bisa menemukan hati yang tepat, yaitu Mbak.” Suara Mira mulai bergetar, -malam ini tidak pernah aku bayangkan sebelumnya- “Mas, Mbak Shella ini nungguin sahabatnya. Emang dia gak pernah sebut siapa nama sahabatnya, tapi aku yakin orang yang dia tunggu itu kamu Mas. Kamu, orang yang berhasil bikin Mbak Shella jomblo akut, bener kan Mbak?” Mira tertawa, aku tidak bisa membayangkan gimana hebatnya Mira menahan rasa sakit dihatinya.
Mira menghampiri kami berdua, menyatukan tangan kami. “Mas Andre, Mbak Shella… Aku Mira, merestui hubungan kalian. Aku janji, aku gak bakal sakit hati dan aku bakal terus menjaga hati aku agar kita bisa temenan terus.” Air mata Mira menetes, aku memeluk Mira dan Andre memeluk kami berdua. Aku merasa hidupku seperti cerita film remaja, yang selalu happy ending, yang selalu bertemu dengan orang yang dicintainya meskipun tidak pernah berkomunikasi. Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih kepada Mira, yang telah merestui kami berdua. Tetapi aku dan Andre memilih untuk menjalani hubungan ini tanpa ikatan status, aku dan Mira masih berteman baik, kami bertiga lebih tepatnya. Andre kembali ke Jerman, aku kembali bekerja dan menjadi penunggu bus setiap malamnya, bersama sahabat baruku, Mira. Wanita ini begitu kuat menghadapi kenyataan hidup. Wanita ini begitu indah hatinya, dia merelakan orang yang dia sayang untuk orang lain. Aku bangga mengenal dan berteman dengan Mira.
“Mbak, bus nya datang!” Mira menarik tanganku dan berlari kecil agar mendapatkan tempat duduk. “Kalau udah dekat, bangunin aku ya Mbak.” Katanya sambil memasang headset ditelinganya. Aku bisa melihat di layar handphone nya foto kami bertiga dengan wajah yang bahagia.
“Iya, kalau gak lupa ya…” godaku tertawa geli.

Seorang sahabat menaruh kasih kepada sahabatnya, membiarkan sahabatnya tersenyum meskipun dia tahu banyak hal yang harus dikorbankan yaitu salah satunya adalah perasaan. Mencintai dan dicintai adalah hal yang biasa, tetapi merelakan cinta pergi adalah hal yang luar biasa.



SHARE THIS

0 Comments: