| (My Oxford Year / Dok.Netflix) |
Lpmvisi.com, Solo — Film My Oxford Year, yang dirilis Netflix pada Agustus lalu dan disutradarai oleh Sarah Gavron, merupakan adaptasi dari novel berjudul sama karya Julia Whelan yang populer sebagai novel debutnya pada tahun 2018. Film ini menceritakan tentang Anna Taggart, seorang perempuan ambisius asal Amerika Serikat yang berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan studi di Oxford University, sebuah impian masa kecilnya yang telah ia rancang dengan sangat matang. Anna datang ke Inggris membawa tekad untuk fokus belajar dan memperluas jaringan politiknya demi menapaki karier di pemerintahan Amerika. Namun rencananya mulai goyah saat ia bertemu Jamie Davenport, seorang dosen muda cerdas, karismatik, dan misterius.
Awalnya, hubungan mereka diwarnai perdebatan intelektual dan gesekan ego di ruang kuliah. Namun seiring berjalannya waktu, diskusi yang intens berubah menjadi kedekatan emosional. Jamie yang dikenal sinis dan tertutup terhadap orang lain, perlahan membuka diri dengan Anna. Hingga akhirnya terungkap alasan di balik sikap pesimisnya terhadap hubungan serius: ia menderita penyakit langka yang tak akan bisa disembuhkan.
Alur film ini berjalan maju dengan sisipan kilas balik masa kecil Jamie dan hubungannya dengan keluarganya yang keras dan perfeksionis. Konflik batin Anna menjadi pusat emosi film—antara mengejar mimpi politik yang telah ia susun sejak lama atau tetap berada di sisi pria yang membuatnya memahami arti hidup dan kehilangan.
Bagian paling emosional muncul saat Jamie berjuang melawan penyakitnya sembari mendorong Anna untuk tetap berangkat menghadiri konferensi politiknya. Namun ketika Anna kembali, ia mendapati Jamie telah pergi untuk selamanya. Adegan perpisahan itu digarap dengan sederhana tetapi menyayat hati: hanya ada surat, buku berisi puisi, dan kenangan di kampus tua Oxford.
Satu tahun kemudian Anna kembali ke Oxford, bukan sebagai mahasiswi, tetapi sebagai dosen tamu di kampus tersebut. Ia menyadari bahwa hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, tetapi cinta dan kehilangan bisa menjadi bagian dari perjalanan menuju kedewasaan.
Dari segi sinematografi, film ini memanjakan mata dengan lanskap klasik Oxford yang indah— menampilkan aula berarsitektur gotik, jalanan berbatu, hingga suasana perpustakaan yang hangat. Nuansa visual ini berpadu sempurna dengan scoring lembut yang mendukung suasana romantis dan melankolis.
Keunggulan film ini terletak pada penokohan Anna yang kuat dan realistis: sosok perempuan cerdas, ambisius, tetapi juga rentan secara emosional. Dialog antara Anna dan Jamie terasa natural, penuh sarkasme intelektual khas Inggris yang justru memperkuat chemistry di antara mereka. Namun, kelemahan film ini terdapat pada ritme film yang terkesan lambat di pertengahan cerita. Beberapa subplot tentang kehidupan akademik Anna di Oxford terasa kurang dieksplorasi, sehingga penonton lebih difokuskan pada kisah romansa ketimbang perjuangan akademisnya.
Secara keseluruhan, My Oxford Year bukan sekadar kisah cinta, tetapi juga refleksi tentang ambisi, kehilangan, dan arti “rumah” dalam perjalanan hidup seseorang. Film ini mengajarkan bahwa terkadang impian terbesar justru muncul dari hal-hal yang tidak pernah kita rencanakan. (Fatima)
0 Komentar