Judul : Abadi Nan Jaya (judul internasional: The Elixir)
Genre : horor / zombie survival thriller
Sutradara : Kimo Stamboel
Penulis naskah : Kimo Stamboel, Agasyah Karim, Khalid Kashogi
Produser : Edwin Nazir
Produksi : Mowin Pictures
Platform : Netflix (tayang mulai 23 Oktober 2025)
Durasi : ± 111 – 117 menit
Lpmvisi.com, Solo — Zombie dalam balutan budaya Jawa—itulah keunikan yang membuat Abadi Nan Jaya (The Elixir) mencuri perhatian publik sejak perilisannya. Di tangan sutradara Kimo Stamboel, film ini tidak hanya menjadi karya horor modern yang mengikuti tren global, tetapi juga sebuah potret bagaimana kearifan lokal dapat hidup berdampingan dengan sebuah genre yang identik dengan teknologi, efek visual, dan ketegangan sinematis. Berlatar di desa Wanirejo, Bantul, Yogyakarta, film ini menyisipkan tradisi Jawa ke dalam narasi bencana zombie, menghasilkan perpaduan yang jarang ditemui dalam perfilman Indonesia maupun internasional.
Sejak adegan pembuka, budaya lokal langsung terasa. Hajatan desa, suguhan teh dan kopi, peran perempuan yang melayani tamu, hingga alunan musik tradisional yang samar-samar terdengar di latar, semuanya memperlihatkan bagaimana film ini berdiri kuat di atas fondasi kehidupan masyarakat Jawa. Bahkan bencana zombie yang menjadi inti cerita pun lahir dari praktik jamu, warisan budaya yang dipercaya membawa kesehatan dan keseimbangan tubuh. Jamu “Abadi Nan Jaya” ciptaan Sadimin menjadi simbol modernisasi yang keliru. Menjelaskan ketika tradisi yang sakral digoyahkan oleh ambisi manusia, bencana kemudian muncul sebagai konsekuensi. Di sinilah film menegaskan pesan besar bahwa kearifan lokal bukan sekadar estetika, tetapi nilai moral yang seharusnya dijaga.
Kentalnya budaya Jawa juga hadir dalam konflik keluarga yang menjadi pusat emosional film. Relasi ayah dan anak, hierarki keluarga, rasa unggah-ungguh, dan tekanan sosial terlihat jelas dalam setiap dialog dan gestur para tokohnya. Ketika Sadimin menikahi Karina yang merupakan sahabat anaknya sendiri. Ketegangan tidak hanya bersifat personal, tetapi juga menggambarkan benturan nilai sosial yang lazim berlaku di masyarakat Jawa. Tradisi, tata krama, dan rasa sungkan menjadi lapisan yang memperdalam konflik, membuat horor yang muncul bukan hanya berasal dari teror zombie, tetapi juga dari retakan budaya yang perlahan pecah.
Walau sarat budaya, Abadi Nan Jaya tetap tampil sebagai film zombie modern. Riasan praktikal para zombie didesain detail dan inovatif, terinspirasi dari bentuk organik tanaman kantong semar, memperlihatkan keberanian eksplorasi visual yang segar. Teknik sinematografi yang memadukan pencahayaan natural desa dengan atmosfer muram khas horor kontemporer menciptakan jembatan halus antara tradisi dan modernitas. Bahkan penggunaan efek suara teriakan zombie, suara hujan yang menjadi kelemahan mereka, hingga ambiance pedesaan menambah lapisan realisme yang membuat film ini terasa global tanpa meninggalkan akarnya.
Pada akhirnya, Abadi Nan Jaya bukan sekadar film zombie. Ia adalah representasi bagaimana budaya Jawa dapat berdiri sejajar dengan genre-genre modern dalam sinema. Dengan memadukan horor, kritik sosial, dan nilai tradisi, film ini menghadirkan pengalaman menonton yang tidak hanya menegangkan tetapi juga mengingatkan penonton pada kekuatan identitas lokal. Sebuah karya yang menegaskan bahwa globalisasi dalam film tidak selalu berarti meninggalkan budaya justru budaya dapat menjadi kekuatan paling menarik dalam menghadapi zaman. (Nafara)
0 Komentar