(Poster Film Payung Dara / Dok. Payung Dara) |
Lpmvisi.com, Solo - Jumat (26/09) lalu, halaman Hutan FISIP UNS disulap menjadi ruang sinema alternatif melalui acara Kine Gelar Layar Vol. 3: Where Story Begins. Sebanyak kurang lebih 150 mahasiswa memenuhi tribun, menghadap layar putih besar yang berdiri di tengah helipad. Mengusung tajuk “Autobiogenesphere”, Kine Gelar Layar Vol. 3 ingin menunjukkan bagaimana cerita-cerita personal bisa tumbuh dari ruang-ruang biasa.
Salah satu dari keempat film yang ditunggu adalah Payung Dara, sebuah film pendek yang disutradarai oleh Reni Apriliana serta diproduseri oleh Fanny Chotimah. Payung Dara sendiri berkisah tentang Dara, seorang anak perempuan yang tengah menghadapi masa pubertas serta tantangan-tantangan baru yang dibawanya. Dara berusaha menelaah kejadian-kejadian pelik yang terjadi padanya sebelum dan sesudah memakai kutang untuk memahami tubuhnya sebagai perempuan di usia remaja.
(Dok. Payung Dara) |
Premis ini bisa dibilang cukup berani mengingat di banyak keluarga Indonesia, bahkan hingga detik ini, masih melihat percakapan tentang tubuh perempuan sebagai hal yang tabu. Perubahan payudara, terutama, seringkali dibiarkan menjadi urusan pribadi seorang anak. Banyak gadis muda yang kebingungan dengan pengalaman pertama akan perubahan-perubahan di tubuhnya, terutama apabila mereka tumbuh dalam lingkungan yang konservatif.
Di sini lah Payung Dara terasa dekat dengan beberapa penonton perempuan yang mungkin merasa relate dengan tokoh Dara. Banyak remaja perempuan yang melewati masa-masa pubertas yang penuh tantangan itu sendirian tanpa bimbingan orang terdekat. Bukan karena mereka tidak memiliki siapapun, tetapi karena pembicaraan mendalam akan hal tersebut mungkin dianggap tidak begitu penting. ‘Toh, nanti juga mereka paham sendiri’. Pertanyaannya; apakah seharusnya memang seperti itu?
Kita hidup dalam masyarakat yang melihat perubahan tubuh perempuan sebagai urusan yang privat, mereka memilih untuk diam dan membiarkan anak-anak perempuan mereka belajar sendiri. Akan tetapi di saat yang sama, perempuan dituntut untuk “tahu diri” dan “menjaga diri”. Ironisnya, kebungkaman ini acapkali menjadi cikal-bakal kekerasan seksual. Banyak kasus pelecehan di usia sekolah terjadi karena korban tidak tahu cara untuk merespons, tidak berani untuk bertanya, apalagi melapor. Isu ini pun ditunjukkan secara eksplisit di beberapa adegan dalam film, baik itu pelecehan verbal, non fisik, ataupun fisik.
(Dok. Payung Dara) |
Payung Dara seolah membuka kembali fakta yang sering terabaikan: pendidikan seksual bukan soal “mendewasakan” anak lebih cepat, tetapi memberi mereka pemahaman dasar agar tidak terjebak dalam ketidaktahuan. Pun bagi anak laki-laki, supaya mereka mengetahui perilaku seperti apa yang sebenarnya tidak etis, pendidikan seksual perlu diberi sejak dini karena beberapa dari mereka mungkin juga tidak pernah diajarkan terkait hal tersebut.
“Makanya itu kami merasa pentingnya edukasi. Bahwa masih ada yang masih belum bisa membedakan bentuk-bentuk pelecehan itu seperti apa. Itu ada 13 jenis loh, dan itu enggak semua orang tahu kan? Kemudian apa yang membedakan kekerasan seksual dengan pelecehan seksual, itu aja kita enggak pernah tahu,” ungkap Fanny Chotimah (41) dalam sesi talkshow Kine Gelar Layar Vol. 3 ketika ditanyai perihal adegan pelecehan dalam film.
Acara Kine Gelar Layar malam itu seolah mencungkil kembali memori kolektif: bahwa banyak dari kita yang pernah menjadi Dara. entah dalam bentuk ketidaktahuan, kebingungan, maupun rasa takut yang disembunyikan. Sebagian perempuan mengingat bagaimana mereka tidak “dirangkul” ketika mereka belajar memakai kutang atau bahkan menstruasi pertama. Masih banyak keluarga yang menganggap itu sebagai hal yang lumrah, padahal tidak.
Dalam ending scene film Payung Dara tidak ada resolusi yang membahagiakan, seolah ingin mengatakan bahwa isu ini masih berkepanjangan, belum ada solusi yang permanen. Setelah menonton film ini, beberapa orang mungkin terpikirkan refleksi yang jarang diucap; kenapa sampai hari ini, tubuh perempuan masih dianggap rahasia yang harus dirawat dalam diam? Pertanyaan itu tidak dijawab oleh film. Tapi mungkin, memang bukan tugas film untuk memberi jawaban. Ia hadir untuk menunjukkan bahwa ada sesuatu yang keliru dari cara keluarga membesarkan anak-anaknya. Kalau sebuah film pendek bisa mengusik hal-hal yang selama ini kita anggap wajar, mungkin sudah saatnya kita mengoreksi apa yang salah dalam masyarakat kita dan mulai menciptakan ruang yang nyaman dan aman bagi anak untuk tumbuh. (Ifa)
0 Komentar