(Mbah Min Semprong berkeliling menjajakan mainan di area UNS pada Sabtu (27/09) / Dok. Tania) |
Lpmvisi.com, Solo - Di usia 92 tahun, Ngadimin Citro Wiyono yang kini akrab disapa Mbah Min Semprong masih mengingat jelas bagaimana ayahnya ditembak Belanda. Dari peristiwa itulah, tekad seorang anak muda untuk ikut berjuang lahir, meski nyawa menjadi taruhannya.
Saat itu Mbah Min baru berusia 15 tahun. Kehilangan ayah membuat hatinya terbakar. Ia memberanikan diri mendatangi seorang komandan Angkatan Darat dan menyatakan ingin ikut berjuang. Niat itu diterima dan sejak itu, ia mulai terlibat dalam perlawanan bersenjata. “Dalam hati saya hanya ada satu pikiran; balas dendam pada Belanda. Saya tidak takut mati,” ujarnya mengenang. Ia kemudian ikut menjaga gudang senjata, membantu pasukan yang terkepung, serta mengamankan jalannya penyerangan. Mbah Min masih mengingat salah satu pertempuran di Lapangan Panasan, yang kini menjadi Bandara Adi Soemarmo. Pukul 10.00 WIB, pasukan bersiap dengan senjata tajam. Saat tengah hari, Belanda biasanya lengah. “Mata mereka silau, tidak kuat menahan panas,” katanya.
Bahaya tidak hanya datang dari tentara Belanda. Banyak pengkhianat bangsa yang ikut menjadi antek Belanda. Mereka memakai cermin kecil di telapak tangan untuk memantulkan cahaya matahari sebagai kode kepada Belanda. Dengan cara itu, keberadaan pasukan Indonesia bisa diketahui.
Mbah Min juga pernah diminta komandannya menyamar sebagai orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) untuk memata-matai pasukan Belanda. Dengan cara itu, ia bisa mendekati pos Belanda tanpa menimbulkan kecurigaan. “Kalau ketahuan, pasti mati,” ucapnya lirih.
Usai perang, kehidupannya tidak serta-merta membaik. Bahan makanan sangat sulit ditemukan. “Makan saya cuma daun-daun mentah seadanya. Daun apa saja saya makan,” katanya. Pemerintah tidak mengetahui kiprahnya dalam perjuangan. Bahkan keluarganya pun tidak tahu, karena mereka terpisah akibat pengungsian.
Ketika situasi mulai pulih, Mbah Min kembali menekuni sekolah dan berhasil lulus Sekolah Teknik Bangunan pada 1959. Ia lalu merantau sebagai kontraktor ke berbagai daerah dan sempat dipercaya membangun pondok pesantren di Pacitan. Setelah menikah, ia memilih menetap di sekitar Pasar Gede, Solo. Hidupnya dijalani dengan kerja keras dan kesabaran untuk menghidupi keluarga. Dari usaha itu, kelima anaknya akhirnya bisa menempuh pendidikan.
Pada masa mudanya, ia sempat merintis beberapa usaha. Namun, seiring usia, tenaganya semakin terbatas. Kini, ia memilih untuk berjualan mainan keliling. “Kalau tidak jalan, badan saya malah sakit. Jadi, jualan itu sekaligus olahraga,” ujarnya sambil tersenyum.
Anak-anaknya kerap melarang, tetapi ia tetap bersikeras. Baginya, berdagang bukan hanya soal keuntungan, melainkan cara menjaga tubuh tetap sehat. Meski kadang dagangannya tidak laku, ia tetap merasa lebih bugar.
Apa yang dialami Mbah Min memperlihatkan bagaimana sejarah membentuk pribadi yang tabah. Usia 15 tahun ia sudah merasakan pahitnya kehilangan, tetapi pengalaman itu membuatnya menjadi sosok tegar. Perjalanan dari masa remaja yang penuh bahaya hingga usia senja yang sederhana menjadikan hidupnya sebagai cermin keteguhan seorang pejuang.
Namanya memang tidak tercatat sebagai pahlawan resmi. Namun, keberanian dan kesederhanaannya meninggalkan teladan berharga. Kisah Mbah Min membuktikan bahwa semangat perjuangan bisa terus hidup, bahkan setelah peperangan usai. (Tania)
0 Komentar