(Suasana Demonstrasi di Manahan, Kota Surakarta pada (29/8) / Dok. Mohan) |
Lpmvisi.com, Solo – Dinamika perpolitikan Indonesia kian meresahkan. Rakyat seakan terhimpit oleh berbagai konflik sosial yang terjadi di negara ini. Nyawa manusia rasanya tidak lagi berharga, hal ini juga diperparah dengan penerapan asas trias politica yang tidak berjalan dengan baik. Lantas apakah kita masih bisa bertahan hidup dalam bangsa yang sudah sakit menahun selama bertahun-tahun. Sepertinya, situasi ini sudah dapat digambarkan dengan quote dari founding father yaitu Ir. Soekarno yang berbunyi, “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah, namun perjuangan kalian akan lebih sulit karena melawan bangsa sendiri.” Kutipan ini terasa begitu relatable dengan kondisi bangsa Indonesia sekarang.
Sudah banyak aksi represif yang terjadi di Jakarta, Surakarta, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Medan, dan kota-kota lainnya. Pasukan gabungan dari Polri maupun TNI pun ikut mengamankan lokasi demonstrasi. Dalam pelaksanaan pengamanan, sering kali para demonstran mengalami tindakan represif yang tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, bahkan banyak terjadi penangkapan orang secara paksa. Aksi-aksi represif tersebut berdampak bukan hanya pada demonstran saja, tetapi juga pada warga yang tinggal sekitar area demonstrasi. Situasi panik karena menyebarnya gas air mata yang masuk ke rumah warga diperparah oleh temuan bahwa sebagian besar gas air mata sudah kedaluwarsa—jelas-jelas tidak sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Menurut Komisi untuk Orang Hilang & Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sepuluh orang dinyatakan hilang dengan beberapanya menjadi korban dari penghilangan secara paksa dalam jangka pendek (short-term enforced disappearances). Mereka kemudian ditemukan berada dalam tahanan aparat kepolisian. Hal tersebut tidak sesuai dengan syarat-syarat penangkapan dalam hukum yang berlaku sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Operasi penangkapan baru dapat dilakukan apabila terdapat dugaan keras melakukan tindak pidana yang didasari bukti permulaan yang cukup. Hal tersebut yang kini sering ditrabas dan berdampak terhadap penegakan hukum serta psikis masyarakat Indonesia.
Hal tersebut diperparah oleh aksi demonstrasi besar-besaran di Jakarta pada (28/8) yang menewaskan seorang pengemudi ojek daring bernama Affan Kurniawan (21). Almarhum dilindas oleh kendaraan taktis dari Satuan Brigade Mobil (Brimob) ketika ia sedang mengantarkan pesanan makanan layanan antar. Ketika teman-teman sebayanya masih memperjuangkan skripsi atau menikmati hidup layaknya chill guy, ia sudah harus berjibaku dengan kerasnya dunia untuk menafkahi keluarga dan mengejar mimpi—membelikan rumah bagi sang ibunda. Sayangnya, impian mulia tersebut baru terwujud ketika ia sudah tiada karena pemerintah, melalui menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, memberikan rumah subsidi bagi keluarganya. Bagi orang tua khususnya ibu, kehadiran sang anak terasa sangatlah penting serta berharga. “Anak saya sudah ga ada ini,” ungkap Erlina, ibunda dari Affan Kurniawan, dengan suara bergetar dan air mata yang mengalir.
(Suasana Gedung DPRD Kota Surakarta yang habis dilalap api pada (31/8) / Dok. Istimewa) |
Amarah lantas diluapkan melalui berbagai aksi demonstrasi yang berlangsung secara serentak di beberapa kota Indonesia. Suasana berubah haluan—chaos—dengan banyaknya gas air mata di bawah langit bangsa. Berbagai lapisan masyarakat bersatu meluapkan ekspresinya kala kondisi demokrasi simpang siur. Apalagi dalam pelaksanaannya, aksi demonstrasi tidak semuanya merupakan aksi murni yang disampaikan oleh masyarakat. Terdapat beberapa oknum provokator memperkeruh keadaan. Belum lagi di beberapa kota, gedung-gedung pemerintahan serta sarana transportasi publik dibakar dalam sekejap mata. Kerugian baik materiil maupun immateriil tak terhindarkan.
Banyak korban jiwa tidak bersalah dalam peristiwa ini. Mereka bahkan tidak terlibat aksi demonstrasi sama sekali, mereka hanya sekadar berjuang mencari nafkah. Salah satunya ialah Pak Sumari (60), seorang tukang becak, yang menjadi korban dari gas air mata ketika sedang terjadi kericuhan di Pasar Gedhe, Surakarta. Selain itu, ada pula Rheza Sendy Pratama (21), mahasiswa Universitas Amikom Yogyakarta, yang gugur ketika menyampaikan orasi pendapat di Polda DIY pada (31/8). Dirinya mengalami pemukulan hingga koma. Jenazahnya bahkan diseret dengan sangat tidak layak. Dengan kenyataan seperti ini, apakah kita hanya bisa berdiam saja atas tindakan represif yang dilakukan oleh oknum-oknum polisi itu?
Belum lagi media pers pun dibungkam, jurnalis mengalami tekanan luar biasa dari aparat ketika sedang melakukan siaran langsung seperti yang dialami oleh berbagai media baik dari media arus utama maupun media pers mahasiswa. Tindakan represif yang dilakukan oleh pasukan Polri dan TNI jelas-jelas melanggar ketentuan yang terdapat pada peraturan dari Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, petugas paramedis serta ambulans juga ikut menjadi sasaran perusakan oleh oknum polisi selaku aparat penegak hukum yang tak mengerti kalau mereka dilindungi secara profesi dan Hak Asasi Manusia (HAM).
Semua hal yang terjadi merupakan akumulasi rangkaian kejadian yang tidak terjadi secara instan. Tumpukan amarah bagaikan api yang membara sampai meledak. Banyaknya pejabat pemerintahan yang memiliki sifat tone deaf alias sangat tidak peka dengan situasi kisruh dengan kondisi kabinet pemerintahan yang kian boros dalam penggunaan anggaran negara juga menimbulkan amarah masyarakat yang sering kali masih kesulitan untuk merencanakan makan esok hari. Ketika peraturan-peraturan konstitusi serta prinsip asas trias politica diterobos demi menaikkan Gibran Rakabuming Raka menjadi Wakil Presiden RI, apakah bisa negara dapat menerapkan prinsip-prinsip demokrasi dengan baik? Lama-lama, kondisi perut yang lapar akan membuat rakyat kian marah dengan melemahnya perekonomian yang cukup terasa pada saat ini.
Para civitas akademika tentu tidak diam atas kejadian ini. Berbagai kampus pun ikut menyuarakan sikap pernyataan atas situasi yang terjadi, dari Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) hingga Universitas Sebelas Maret (UNS). Hal tersebut juga didukung dengan gerakan dari para mahasiswa untuk menyampaikan isu-isu terkini melalui aksi demonstrasi yang dilaksanakan pada berbagai kota di Indonesia. Sayangnya, para pejabat cenderung acuh tak acuh (cuek) dengan penyampaian dari para akademisi. Kalau suara dari para akademisi saja dicuekin, bagaimana dengan suara rakyat jelata yang nyaring aspirasinya tidak menembus hati pejabat Indonesia? Sepertinya para anggota DPR yang merupakan wakil rakyat belum benar-benar mewakili rakyat Indonesia secara umum.
Apabila bangsa Indonesia ingin memulihkan situasi ini, diperlukan penerapan demokrasi serta penerapan asas trias politica yang lebih baik. Transformasi birokrasi perlu dilakukan secara menyeluruh dari tingkat pusat hingga daerah yang menjadi landasan penting dalam perubahan ini serta melakukan pembersihan sistem pemerintahan bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Selain itu, dibutuhkan juga pembangunan pemerintahan berbasis fokus pemanfaatan teknologi digital dengan sistem yang baik (good governance), diiringi dengan transparansi anggaran serta laporan pertanggungjawaban yang bisa diperlihatkan serta dipantau oleh masyarakat secara terbuka. Tidak lupa, perbaikan serta pembinaan dari pegawai pemerintahan khususnya para pegawai Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam menjalankan perannya sebagai pelayan masyarakat publik dapat menjadi poin penting dalam proses perbaikan birokrasi secara menyeluruh. Ketika birokrasi sudah diperbaiki sistematikanya maka diharapkan pelayanan kepada masyarakat dapat berjalan dengan lebih optimal.
Memang, jalan dalam memperbaiki keadaan tampak panjang serta diperlukan hati legawa dari semua pihak. Semua hal tersebut tidak bisa dilakukan jika ada pihak yang masih mementingkan egonya sendiri daripada kepentingan umum. Pada akhirnya, jika kita dapat bersatu, maka Indonesia bisa pulih seperti sedia kala, bahkan bisa mewujudkan cita-cita bangsa ini, yaitu Indonesia Emas 2045. Semoga saja suatu saat nanti, kita akan merasakan negara Indonesia tercinta yang aman, tenteram, damai, dan makmur. (Mohan)
0 Komentar