(Suasana Sekaten yang disambut gemerlap malam pasar malam dan semarak pengunjung Kamis (28/8)/ Dok. Dhona) |
Lpmvisi.com, Solo - Sekaten, sebuah ritual keagamaan sekaligus budaya tradisi Jawa yang kaya akan nilai-nilai spiritual, kembali digelar. Perayaan ini dilaksanakan setiap 5–11 Rabiulawal dan ditutup dengan prosesi keluarnya Gunungan Maulid yang menjadi puncak dari rangkaian acara Grebeg Sekaten pada tanggal 12 Rabiulawal.
Sebagai acara tahunan yang telah menjadi tradisi masyarakat Jawa, Sekaten mengandung filosofi mendalam. Beberapa simbol penting seperti telur asin, pecut, kinang, dan lainnya selalu hadir sebagai bagian dari nilai historis yang memperkuat identitas acara ini. Hal tersebut menjadi pengingat akan pentingnya pelestarian budaya agar Sekaten tidak punah ditelan zaman.
Secara etimologis, kata “Sekaten” diyakini berasal dari kata “sekat” yang berarti batas. Maknanya, manusia perlu memiliki batas dalam bersikap mengetahui mana yang baik dan yang buruk, serta mampu menahan diri dari perbuatan tidak terpuji.
Dahulu, Sekaten juga menjadi media dakwah Walisongo. Mereka menggunakan gamelan pusaka baik warisan kerajaan maupun buatan mereka sendiri untuk menarik perhatian masyarakat. Gamelan tersebut dibunyikan di serambi Masjid Agung, diiringi ceramah keagamaan serta berbagai kegiatan dan lomba bernuansa Islami. Upacara ini hanya digelar satu kali dalam setahun dan menjadi momentum syiar Islam yang kuat dalam bingkai tradisi lokal.
Menurut Rokhman (52), seorang pedagang asal Kulon Progo yang rutin mengikuti acara ini, Sekaten memiliki daya tarik yang kuat, terutama dari sisi spiritual. “Kalau dulu, jamaah dari berbagai kampung pasti datang. Sekarang ya cuma pasar malam saja. Tradisi Jawa itu sudah mulai hilang,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Debora (27), salah satu panitia acara, pasar malam kini menjadi pelengkap yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman. “Masyarakat tetap antusias menghadiri acara puncak, termasuk dalam tradisi membawa adang sego (menanak nasi) dari pihak keraton untuk dibagikan kepada masyarakat setempat,” jelas Debora.
Panitia berharap agar pelaksanaan Sekaten terus berjalan setiap tahunnya, tetap menjaga esensinya, dan tidak kehilangan makna tradisinya. Elemen-elemen pelengkap momen Sekaten seperti jenang, gerabah, dan berbagai kerajinan tradisional harus terus dilestarikan, serta menjadi panggung promosi bagi para pelaku Usaha Mikro Kecil (UMKM) lokal untuk turut memeriahkan acara yang hanya digelar setahun sekali ini. (Dhona)
0 Komentar