POSTINGAN TERKINI

6/recent/LPM VISI

Tuan dan Nona, Orasi Kawanan Semut

 Tuan dan Nona, Orasi Kawanan Semut

Oleh: Silfyani Chandra


Kerap kali saya melewati hari Senin dengan degup jantung yang jauh lebih cepat. Senin dan pagi, huuuh. Apakah kamu juga seperti saya? Langkah kaki-kaki dan kaki-kaki itu berayun sama cepatnya. Detik jarum jam yang terus berputar tidak memberi kami kesempatan untuk sekadar menenggak sebotol air dingin di pinggiran halte. Saya mesti bergegas agar kereta yang saya tumpangi tidak meninggalkan saya di peron yang sesak oleh banyak langkah kaki-kaki manusia yang tengah mengusahakan apa-apa saja, sebagaimana mestinya.


Tuan-tuan, nona-nona, serta para semut sekalian, hidup seperti apa yang kiranya layak dielu-elukan hingga semua alien di angkasa berebut ingin mendapatkannya? Tidak bisakah kami berjalan lambat layaknya kura-kura? Omong kosong tentang segala hal yang rasa-rasanya mesti dikejar dan dipenuhi itu. Saya rasa, para semut sekalian lelah dan jenuh. Tapi, mau tidak mau harus menuntut dan memaksa diri untuk bekerja keras. Berlari, berlari, dan berlari. Tanpa tahu bahwa bisa saja para semut sekalian diinjak lalu mati.


Sebab, satu yang saya pahami dari para semut sekalian. Mereka berseru, “Kami cuma ingin memperjuangkan hidup agar tetap hidup, selayaknya!”


Bahkan untuk melanjutkan hidup pun kami kepayahan. Bukan, ini bukan sirkus yang penuh akan ragam akrobatik menakjubkan. Ini tentang ‘hidup’. Ini tentang bagaimana kami mengupayakannya. Demi hidup, agar tidak berakhir diinjak mati sia-sia. Para semut sekalian, benarlah jika kamu-kamu ini meneriakannya secara lantang sembari terus berupaya, untuk ada, walau hanya begini adanya. Tidak apa. Walau nanti, kamu-kamu sekalian memang akan mati, setidaknya tidak dengan sia-sia.


Tuan, jika memang benar menyayanginya, temanilah ia, ke mana pun dan di mana pun. Nona, jika kamu betulan mengasihinya, kasihilah ia dengan kasih yang cukup. Saling bertaut, dengan erat dan rekat. Bukan hanya tentang ia tapi segala hal yang melekat padanya. Ucap saya pada tuan dan nona, “Mari merayakan hidup dengan sorak sorai yang riuh redam, saling meneriaki, saling memaki-maki, lalu tertawalah dengan lantang. Tidurlah tanpa tahu kapan akan bangun atau pura-pura tidur sampai lupa bahwa sebenarnya sedang pura-pura tidur. Maka sudah, tidurmu benar-benar lelap.”


Si petualang kehilangan petanya, ia berlari ke mana-mana saja, ke arah barat daya, kadang-kadang ke utara, dan akan menetap lama di timur laut, singgah di tenggara, lantas berakhir terpekur di rumahnya. Ia sudah pulang.


Tertanda,

para semut yang bermukim dan berdesakan di celah-celah rumah tak bertuan, ditinggal pergi pemiliknya, nonanya.


Posting Komentar

0 Komentar