(Barisan obor menyala dalam prosesi Kirab Pusaka 1 Suro di Kota Solo, Kamis malam (26/6) / Dok. Yohana) |
Lpmvisi.com, Solo — Malam terasa lebih hangat dari biasanya meskipun angin malam menyusup pelan di antara tubuh-tubuh yang berdiri berdesakan. Mulai kawasan Keraton, Jalan Supit Urang, Pagelaran Alun-Alun Utara, sisi timur Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Dr. Radjiman, Jalan Slamet Riyadi, hingga kembali masuk ke kawasan Keraton, lautan manusia memadati area. Waktu sudah melewati pukul sebelas malam, tapi tidak ada tanda-tanda orang akan beranjak pulang. Semua mata tertuju pada satu titik, yaitu gerbang Keraton.
Tepat di balik gerbang itu, Kirab Pusaka Malam 1 Suro bersiap memulai prosesi sakral yang menandai pergantian tahun dalam penanggalan Jawa. Arak-arakan 11 pusaka warisan kerajaan, dari mulai keris, tombak, dan pusaka lainnya, membawa filosofi tentang kehidupan, kesucian, dan penghormatan pada leluhur.
Namun, pada tahun ini, hening yang dulu menyelimuti malam Suro tak lagi terasa. Langkah sunyi para abdi dalem diiringi oleh suara-suara penonton terdengar jelas dari bisik-bisik sampai denting notifikasi ponsel yang menyala. Sebagian lampu jalan tak lagi dimatikan seluruhnya. Sorot sorai kamera lebih kuat dari temaram obor yang menyala.
“Tahun lalu itu benar-benar sakral. Jalanan gelap total, semua orang diam, dan cuma suara gamelan pelan yang terdengar. Saya sampai merinding,” ujar Wisdhani (20) pada (26/6). “Tahun ini terasa agak kehilangan kesakralannya. Lampu-lampu masih nyala, penonton ramai. Jadi lebih terasa seperti tontonan daripada prosesi sakral,” lanjutnya.
Kirab Pusaka merupakan warisan tak benda yang telah dijaga selama ratusan tahun. Dalam prosesi ini, pusaka kerajaan diarak mengelilingi Keraton, dibawa oleh abdi dalem dengan pakaian adat lengkap. Mereka berjalan kaki tanpa alas, dalam diam yang penuh makna, hanya ditemani gamelan dan derap kaki pelan. Tradisi ini bukan sekadar seremoni, melainkan merupakan simbol spiritual.
Kirab berpesan bahwa setiap manusia juga sedang “berkirab” dalam hidupnya, berjalan sunyi membawa beban dan warisan, menuju perenungan dan pembersihan batin di awal tahun baru Jawa. Akan tetapi, pada tahun ini, nuansa sakral itu mulai terkikis oleh suasana yang hiruk-pikuk. Jumlah penonton semakin banyak dan sebagian datang hanya untuk “menonton”, bukan “merasakan.” Ponsel menjadi pengganti penghormatan. Kamera menggantikan kontemplasi.
Kota Solo memang tengah gencar mendorong pariwisata berbasis budaya. Pemerintah kota dan Keraton kerap bekerja sama menjaga agar tradisi tetap relevan dan menarik bagi generasi muda. Hanya saja, dalam proses “pengemasan”, seringkali makna terdalam ikut larut dalam euforia. Bahkan pada tahun ini, obor tak lagi menjadi cahaya utama. Penerangan jalan tidak sepenuhnya dipadamkan.
Saya berdiri di antara kerumunan itu, mencoba memejamkan mata dan mengingat suasana tahun lalu sunyi, gelap, hanya suara kaki tanpa alas dan aroma wewangian yang khas. Malam ini, meski obor masih menyala, bahkan masih banyak yang kelepasan menggunakan flash saat merekam, saya tahu sesuatu yang dulu ada, kini telah padam.
Kirab tetap berjalan. Pusaka tetap diarak. Akan tetapi, apakah esensinya masih menyentuh hati? Kirab Pusaka Malam 1 Suro seharusnya menjadi ruang hening untuk merenung, bukan tempat ramai untuk merekam. Mungkin, saat kita lupa bagaimana cara diam, kita juga lupa bagaimana cara menghormati. (Yohana)
0 Komentar