(Ilustrasi toko dengan ornamen model kucing yang dipersonifikasi / Dok. Internet) |
Salah satu karya populer akhir-akhir ini adalah Uma Musume: Pretty Derby. Game garapan Cygames ini mengambil inspirasi dari pacuan kuda yang melegenda di Jepang. Semua karakter yang ada dalam game ini didasarkan pada kuda-kuda terkenal seperti Special Week, Haru Urara, dan Mejiro McQueen. Kepopuleran game ini mendorong banyak orang untuk mengenal sosok asli dari karakter-karakter di balik Uma Musume, membuat pacuan kuda, yang dulunya dianggap kuno, kembali naik ke permukaan.
Tak berhenti di sana, ada pula Touken Ranbu, franchise terkenal yang memperkenalkan pedang bersejarah menjadi sosok pemuda dengan visual memikat. Namun di balik desain tersebut, setiap karakter juga membawa latar belakang sejarah yang kuat, misalnya Mikazuki Munechika, salah satu dari Tenka-Goken (“five greatest swords under heaven”), yang digunakan oleh banyak tokoh penting Jepang. Selain memiliki animasi, komik, dan game, kini Touken Ranbu memiliki idol project yang dinamakan Pure Cool Touken Danshi dengan grup Ghostella.
Dari kedua contoh di atas, dapat dikatakan bahwa personifikasi dalam pop culture Jepang tidak hanya tercipta dari kreativitas, tetapi juga sejarah dan identitas. Jepang, yang dikenal sebagai tanah seribu dewa, memiliki kepercayaan akan adanya roh dalam benda ataupun lingkungan sekitar. Konsep tsukumogami, kepercayaan terhadap benda yang berumur satu abad yang lantas menjadi makhluk spiritual, merupakan salah satu faktor yang membuat masyarakat Jepang melihat bagaimana segala sesuatu mempunyai ‘jiwa’.
Personifikasi Jepang terhadap benda ataupun hewan yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari bukan hanya demi menarik perhatian penggemar, tetapi juga menciptakan rasa kedekatan dengan karakter. Budaya personifikasi bahkan dapat dikatakan sebagai wahana dalam promosi sejarah dan budaya setempat, melihat dari bagaimana mereka merancang sebuah karakter dengan latar belakang dan cerita yang berakar kuat dari dunia nyata.
Seiring dengan berjalannya waktu, muncul sejumlah kritik terhadap tren ini. Misalnya, seberapa jauh kita dapat mendasarkan seorang karakter dari entitas di dunia nyata? Atau, kapan karakter ini menjadi sasaran objektifikasi? Hampir semua karakter ini dikemas dalam bentuk yang terkena idealisasi, terutama secara fisik, yang kerap tercermin dari karakter perempuan yang fokus pada daya tarik sensual. Hal ini menimbulkan perdebatan baru; apakah etis bagi kita untuk menggambarkan objek sejarah sesuai imajinasi yang terbatas dan bias?
Pada akhirnya, personifikasi adalah hasil pemikiran mengenai bagaimana manusia melihat dunianya—pemberian wajah dan suara pada hal yang tak bicara. Melalui personifikasi, Jepang menyatukan aspek budaya, spiritualitas, dan kreativitas untuk menciptakan karya yang berkesan di hati para penggemarnya. Karakter yang hidup dari benda mati menjadi jalan bagi Jepang dalam mencintai dan melestarikan sejarahnya. (Ela)
0 Komentar