(Pedagang Jadah Bakar yang sedang menyajikan dagangannya/ Dok. Fifi) |
Lpmvisi.com, Solo — Saat berkunjung ke pasar, rasanya kurang lengkap jika tidak mencicipi jajanan tradisional yang menggoda selera. Di tengah deretan penjual sayur dan buah, aroma ketan dengan campuran kelapa yang dibakar seolah-olah memanggil dari kejauhan. Jadah, jajanan tradisional ini masih menjadi primadona bagi para pengunjung pasar.
Jadah bukan hanya makanan ringan yang nikmat saat disantap selagi hangat saja, tetapi jadah juga merupakan makanan tradisional yang masih dipertahankan untuk beberapa acara adat di Jawa, seperti mantenan. Jadah terbuat dari ketan yang dimasak dengan santan, lalu disajikan dengan kelapa parut yang direbus bersama garam. Proses ini membuat jadah memiliki cita rasa gurih yang khas dan tekstur yang kenyal.
Ramdhani, seorang pria berusia 30 tahun, mengaku telah menjual jadah sejak tahun 2022. Setiap pagi, tepat pukul 06.00 WIB, ia sudah mulai menggelar dagangannya di salah satu sudut Pasar Gede. Ia akan tetap berada di tempat yang sama hingga dagangannya habis, biasanya menjelang siang.
Berjualan jadah bukan sekadar usaha bagi Ramdhani. Ia menyebut bahwa ini adalah bentuk pelestarian dari warisan keluarga yang sudah turun-temurun. “Resep jadah ini dari keluarga saya sendiri,” ujarnya singkat namun mantap. Ia membuat semua jadahnya sendiri sebelum berangkat ke pasar, menjaga rasa dan kualitas agar tetap sesuai dengan cita rasa yang diwariskan oleh leluhurnya.
Di Pasar Gede, bukan hanya Ramdhani yang menjual jadah. Ada penjual lain yang menawarkan jajanan serupa, baik di tempat yang sama maupun di lokasi berbeda dalam area pasar. Meski begitu, Ramdhani tetap memiliki pelanggannya sendiri. Dengan harga satuan Rp 2.500, jadah bakar buatannya tetap diminati. Mungkin karena sejak awal ia tak hanya berjualan, tetapi merawat rasa dan kenangan lewat setiap jadah yang dibakar.
Salah satu momen yang paling berkesan bagi Ramdhani adalah ketika dagangannya ramai diburu pembeli. “Peminatnya masih banyak,” katanya. Senyum tipis menyertai pengakuannya, seolah menegaskan bahwa jadah, meski sederhana, masih punya tempat tersendiri di hati para pengunjung pasar. Baginya, setiap jadah yang terjual bukan hanya sekadar makanan, tetapi bagian dari warisan lama yang tetap bertahan di tengah arus modernitas.
Di kala banyak orang tergiur menjual makanan viral demi mengejar cuan semata, Ramdhani percaya bahwa kekuatan utama dari dagangannya bukanlah tren tetapi sebuah kisah dari warisan leluhur yang harus dilestarikan. Terungkap bahwa pembelinya masih banyak dan ini hal yang berarti bagi mereka. Membeli jadah bukan hanya tujuan utamanya, tetapi lebih kepada perasaan nostalgia dan rasa autentik yang dibawakan. Penjual jadah bakar bertopi ini menjadi seolah memberikan pengingat bahwa segala hal tradisional tak lekang oleh waktu. Justru, dalam kesederhanaan itu, terdapat bibit ketulusan, kisah turun temurun, serta rasa nostalgia mendalam.
Sebagai generasi muda, kita harus menjaga dan melestarikan kuliner tradisional. Dari kuliner tradisional diharapkan dapat memperkenalkan kuliner asli Indonesia yang tidak kalah lezat dibandingkan kuliner asing. Diperlukan sinergi dari semua pihak, baik dari Pemerintah Kota Surakarta, pelaku usaha/UMKM, maupun masyarakat secara umum. Dengan demikian, kita menghasilkan produk kuliner UMKM yang unggul, khususnya di Kota Surakarta. (Mayang, Fifi, Mohan, Reva, Indah, Natya, Alya)
0 Komentar