Sabtu, 09 Maret 2024

Antara Bintang dan Kupu-Kupu

(Seorang atlet lari perempuan/Dok. Pinterest)

Oleh: Niken Ayu M.

    Harapan, satu kata dengan makna yang luar biasa. Mampu dirasa setiap orang, diyakini dalam hati, tersemat dalam logika, serta bergantung kepada Rabb pemilik semesta. Definisi harapan menurutku adalah suatu hal yang harus dikejar saat kita di dunia hingga bertemu Pencipta kelak di akhir masa.

    "Selalu ada cahaya bagi mereka yang penuh harap."

    Suatu untaian kata yang sangat kupercaya, karenanya aku mengerti arti kerja keras tak lupa menepis putus asa yang sempat hadir ke dalam jiwa. Aku sempat ragu dan tak lagi percaya tentang sebuah pengharapan di kala waktu merenggut semua. Ketika aku terpuruk dalam suatu kondisi di mana aku merasa semesta mengambil permata yang aku banggakan di pelosok dunia.

    Kala waktu itu menemani hariku, aku merasa Tuhan sangat tidak adil kepadaku. Aku marah kepada Tuhan. Karena-Nya, duniaku terlihat gelap tertutup butiran keruh yang sangat aku benci. Sebab ulahnya mahkotaku teriris, menyisihkan sisa yang tiada guna.

    Namaku Rara, anak kedua dari pasangan suami istri yang aku panggil dengan sebutan papa dan mama. Aku tinggal bersama mereka di sebuah perumahan, selain memiliki mereka aku juga memiliki seorang kakak yang cukup dekat denganku.

    Sedari kecil, aku sangat suka untuk berolahraga. Salah satu cabang olahraga yang kusuka adalah lari. Cita-cita ku kelak suatu hari ingin menjadi seorang atlet yang mampu membanggakan nama negaraku. Aku telah menggeluti dunia lari sejak aku duduk di bangku Sekolah Dasar.

    Berbagai perlombaan pun banyak yang telah aku coba, lebih beruntungnya sudah lebih dari dua puluh perlombaan yang berhasil aku menangkan. Deretan trofi serta sertifikat tersimpan rapi di rak kaca di ruang tamuku, sebagian lagi ada di dalam kamar sebagai kehormatan yang tak akan pernah aku lupakan hingga aku bahagia bersama anak dan cucuku kelak. Saat dimana aku bisa menceritakan bagaimana pengalamanku dalam dunia lari dulu.

    Papa dan mama serta kak Juan juga sangat mendukungku dalam minatku ini. Kegemaranku dalam dunia lari dimulai saat aku sering menonton kak Juan ikut berbagai macam perlombaan. Prestasinya pun juga tak kalah hebat dariku, sejak itulah aku mulai suka dan akhirnya dengan lari aku bisa menghasilkan suatu prestasi.

    “Mah, Pah, Rara ada kabar gembira untuk kalian semua,” kataku ketika kami tengah makan malam di meja makan.

    “Mau lomba lagi?” tanya kak Juan tepat sasaran.

    “Kakak nih nggak asyik, kok bisa nebak sih?” gerutuku dengan raut sebal.

    Mereka terkekeh, “Kakak juga ikut, makanya kakak tau. Lomba tingkat nasional itu kan?”

    Aku mengangguk, “Wah, seriusan? Kita rival nih ya jadinya?”

  Kakak menunjukkan kedua jarinya dari matanya menuju mataku, seperti orang yang hendak mengancam.

    “Lombanya random?” tanya Papa.                                        

    “Iya pa, minimal umur 13 maksimal 18 gitu doang kata coach Rafi”

    “Seru dong kalian bisa latihan bareng,” ujar Mama. Kami tersenyum.

    Setiap hari Sabtu dan Minggu aku dan Kak Juan berlatih bersama di lapangan kota. Sedangkan pada hari Senin hingga Jumat, aku ada jadwal latihan bersama guru olahragaku di sekolah. Meski hampir setiap hari aku latihan, tapi aku tak pernah mengeluh sedikitpun karena di depan sana telah tersemat bahwa aku harus bisa memborong semua piala.

    Terlebih lagi, lomba kali ini akan mengantarkanku pada cita-citaku, yaitu menjadi atlet nasional yang membawa harga diri bangsa di kancah nasional.

    Hingga tiba suatu hari, ketika aku tengah berangkat menuju lapangan mobil yang dikendarai kakak mengalami kecelakaan.

   “Kak, nyetirnya pelan-pelan aja, Rara takut.” Aku waswas sembari memegangi seatbelt dengan sangat erat.

    “Payah, santai aja kali,” kata Kak Juan menyetir mobil dengan kecepatan diatas rata-rata.

    Tiba-tiba datang sebuah truk dari arah kiri, hingga menabrak mobil yang aku tumpangi. Mobil ayah terlempar cukup jauh kira-kira sekitar dua meter dari tempat kejadian. Kecelakaan itu begitu dahsyat hingga menimbulkan suara ledakan pada mobil kami. Kak Juan kehilangan keseimbangan membuat mobil kami menabrak sebuah pohon besar di tepi jalan.

    Selepas kejadian itu aku dan Kak Juan tak sadarkan diri. Warga membawa kami menuju rumah sakit. Ketika aku membuka mataku, aku melihat seisi ruangan berwarna putih dengan selang infus yang menempel pada tubuhku.

    “Ma-ma.” Aku memanggil mama dengan nada sangat lemah.

  “Rara, kamu dah sadar, Nak?” tanya mama sembari mencium keningku dengan air mata yang membasahi kedua pipi tirusnya.

    Aku berusaha bangun, membenarkan posisi ku lebih tegak. Papa membantuku dengan manarik bantal yang aku tiduri.

    “Pah, mah, kenapa kaki ku terasa ringan banget?” tanyaku saat aku mencoba menggerakan kaki ku. Tapi aku tak bisa merasakan apapun, lalu aku buka selimut itu dan mendapati kaki kanan ku telah tiada.

    Dengan nada terkejut aku bertanya kepada Mama, “Mama, kaki kanan Rara dimana? Ini hanya mimpi kan? Mah jawab Rara!” kataku, Mama justru menangis tak sanggup mengatakan apa yang terjadi.

    Mama menenangkanku tapi aku semakin menangis sejadi-jadinya disana .“Pah, kenapa kaki Rara cuma ada satu? Kenapa kalian diem aja? Jawab Rara!”

    “Rara harus ikhlas ya, Nak. Ini semua demi Rara."

    “Pah, Mah, Rara sebentar lagi mau lomba, Tuhan hanya sedang nge-prank Rara kan?” kataku mirip orang depresi.

    “Rara mamah mohon kamu harus kuat, ya? Rara nggak boleh sedih. Tuhan tau yang terbaik untuk Rara.” Aku menangis, air mata ku enggan berhenti.

   “Ini semua gara-gara Kak Juan, andai saat itu kakak nggak nyetir mobil dengan ngebut nggak mungkin ini semua terjadi, Mah.”

    “Maafin kakak, Ra,” ujar kak Juan yang berdiri disamping brankar dengan perban di kepala serta tangan kanannya.

    “Kakak sekarang puas? Bisa melihat Rara nggak berdaya seperti ini? Sekarang kesempatan kakak buat menang lebih mudah kan? Kak Juan nggak perlu lagi bersaing sama Rara!”

     Aku menyalahkan Kak Juan atas semua ini, hari-hariku yang berwarna pudar seketika. Yang bisa aku lakukan setiap hari hanya duduk diatas kursi roda. Tak ada hari dimana aku berhenti menangis. Meski Papa dan Mama selalu memperhatikanku, mereka tidak mampu mengembalikan mahkota yang aku banggakan itu. Sejak hari itu, aku sudah tak menganggap kak Juan sebagai saudaraku. Aku menganggapnya sebagai musuh terbesar dalam hidupku. Dia telah merusak semuanya, merusak cita-cita yang ingin aku harap selama ini.

    Mama duduk di sebelahku ketika aku tengah berada di taman belakang. Aku menatap kupu-kupu yang dengan bebas bisa terbang kemanapun mereka suka, mereka sangat gesit saat terbang, bebas berjalan dimana mereka mau serta menebar keindahan bagi sekitarnya, layaknya aku dulu. Namun nyatanya, sekarang aku hanya seperti seekor ulat yang merugikan orang lain tak memiliki kemampuan untuk melakukan suatu hal apapun.

    “Rara sedang ngapain di sini sendirian? Mama temenin, ya?”

   “Rara pengen jadi kupu-kupu, Ma, yang bisa terbang kemanapun mereka mau. Tapi kenyataanya Rara layaknya ulat yang hanya bisa menebar luka. Maafin Rara ya selama ini Rara hanya bisa menyusahkan kalian.” Perlahan butiran bening pun membanjiri pelupuk mata.

  “Bukannya seekor kupu-kupu tercipta dari seekor ulat? Rara, dalam kehidupan ini nggak semua tentang keindahan. Terkadang kita harus merasakan kepahitan hidup guna membangun mental, semesta punya pilihan dan kita sendiri lah yang memilih opsi tersebut. Apakah kita ingin bahagia atau memilih diam dan bertahan dalam keterpurukan. Tuhan percaya Rara kuat, makanya Tuhan ngasih kamu ujian seperti ini.” Dengan bijaksana, mama menyemangatiku. Mama memelukku dan mengelus kepalaku, kehangatan menjalar ke setiap organ. Terasa sedikit demi sedikit bebanku terbantu berjatuhan.

    “Sekarang apa lagi yang bisa Rara banggakan? Kaki Rara sudah nggak sempurna, Ma,”

    “Tidak sempurna bukan berarti tidak bisa melakukan apapun. Kamu masih punya yang lain, tangan kamu lengkap. Indera kamu yang lain masih berfungsi dengan sangat baik. Bagaimana cara menjadi sempurna itu pun kamu yang menentukan. Mama bangga banget sama Rara. Rara Mama kuat. Mama bakal terus mendukung apapun yang terbaik buat kamu. Because you are my life,” kata Mama. Mama mengelus tanganku sembari tersenyum menunjukkan ketulusan seorang ibu.

    Papa dan Kak Juan datang di sebelahku, Papa mengecup keningku “Papa bangga punya Rara, jadikan ini sebagai motivasi untuk kamu lebih kuat lagi, oke? Ada Papa, Mama, dan Kak Juan yang akan selalu ada untuk Rara.” Aku tersenyum, sedangkan Kak Juan sekarang lebih pendiam. Khawatir emosiku tak terkontrol, ia memilih diam dan sangat sabar menerima makian dariku setiap hari.

   “Kakak, maafin Rara ya. Omongan Rara selama ini nyakitin hati kakak. Rara selalu menyudutkan kakak, Tentang kecelakaan itu sebenarnya itu bukan salah kakak, tapi Rara terlalu maksain ego Rara. Rara masih belum bisa menerima ini semua. Rara mohon maafin Rara bantu Rara untuk bangkit dari semua ini, ya?”

    “Kalo kakak nggak mau gimana?” Tanya kakak, aku mengernyitkan dahiku terkejut.

    Kak Juan pun terkekeh “Bercanda.” Aku menghembuskan nafasku lega, lalu kami terkekeh.

   “Membuat kamu selalu tersenyum itu sudah menjadi tanggung jawab kakak sebagai kakak kamu. Tugas kakak melindungi kamu, pastinya juga kakak harus buat kamu tersenyum. Kakak juga minta maaf udah sempat buat kamu hampir menyerah.” Kami berpelukan setelah itu.

    Keluarga yang memberiku kenyamanan, semua mereka berikan kepadaku secara cuma-cuma. Aku bangga memiliki mereka, mereka yang menerima segala kekuranganku ketika semesta tak lagi mengizinkanku menggapai cita. Hari itu dorongan semangat kembali hadir ke dalam jiwa.

    Malamnya aku menatap bintang dari balkon kamarku, kupandang bintang-bintang itu. Meski cahaya bintang itu tak sempurna layaknya purnama, ia mampu memancarkan keindahan kerlipnya bagi semesta. Darinya aku belajar bahwa aku juga harus menjadi seperti bintang. Menjadi bersinar dengan caraku sendiri, mencipta sebuah karya dengan sesuatu yang aku punya.

    Kuambil laptop ku dari atas meja berwarna krem itu, kubuka lalu kutuliskan sebuah sajak disana. Berharap karya ku mampu tergantung diatas langit impian, menjadi salah satu dari ribuan bintang.

    Dear semesta,

    Pelajaran yang kau berikan begitu mengesankan

    Meninggalkan goresan luka, menghilangkan seribu tawa

    Dalam sekejap mampu merubah suasana

    Yang semula berseri kini terlihat kosong dalam tatapan

    Dibalik itu, kau sangat adil

    Memberiku kekuatan melalui kehangatan

    Keluarga yang sempurna

    Mengalirkan kekuatan dalam setiap doa

    Ketika aku tak sanggup lagi menjadi purnama

    Aku ingin menjadi bintang

    Yang menerangi semesta dengan kemerlipnya

    Kutulis bait demi bait, bersama harapan aku sematkan. Aku yakinkan hati bahwa ada pelangi indah setelah batuan terjal. Memang benar hidup adalah sebuah pilihan, kita lah yang menjadi pemeran utama dalam setiap skenario Tuhan yang telah ditetapkan.

    Tugasku sekarang tak lain merelakan dunia lariku, mencoba beralih menuju sebuah karya. Bukankah semua justru terlihat lebih lengkap dan sempurna? Aku dengan dunia karya dan kakak dalam dunia olahraga. Terlihat serasi bersama angan yang menjadi padu. Membanggakan orang yang terkasih dengan purnama dan bintang yang saling memberi kasih.

Tamat.


SHARE THIS

0 Comments: