Jumat, 27 Oktober 2023

Pentingnya Pemikiran Kritis Mahasiswa Jelang Pemilu 2024: Memahami Peran Media dalam Kampanye Politik

(Pembicara dalam Obral Himasos part 2 di Hutan FISIP UNS, Kamis (26/10)/Dok. Nabila) 

Lpmvisi.com, Solo – Dosen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (UNS), Theofilus Apolinaris Suryadinata, S.Fil., M.A. berkesempatan menjadi narasumber dalam acara Obral Himasos part 2. Acara ini diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Sosiologi (Himasos) di Hutan FISIP UNS pada Kamis, 26 Oktober 2023. 

Obral Himasos sendiri merupakan sebuah kegiatan diskusi santai dan forum bertukar pandangan untuk membahas isu-isu yang relevan saat ini. Dalam pertemuan itu, tema yang diangkat kali ini adalah “Peran Media Sosial dalam Kampanye Pemilu: Pengaruh dan Tantangan”. 

Diskusi berjalan dengan kondusif dan interaktif. Theofilus memaparkan realitas kondisi media saat ini menjelang masa-masa Pemilu 2024. Ia juga mengingatkan agar para mahasiswa berpikir kritis terhadap terpaan pemberitaan dan isu yang diangkat oleh media massa maupun media sosial. 

“Ingat bahwa media sosial atau media massa itu dimiliki oleh partai politik, dimana mereka punya kepentingan. Jadi pemerintah, partai politik, dan kolega dari media bersatu untuk menyusun agenda publik. Kemudian agenda publik itu didistribusikan kepada orang-orang yang dianggap kurang kritis untuk dipengaruhi,” ujar Theofilus.

Banyaknya informasi yang bertebaran di media massa maupun media sosial, memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap perubahan sikap dan pandangan masyarakat. Menjelang masa kampanye Pemilu 2024, media semakin masif menunjukkan dukungannya terhadap kandidat tertentu dan mengabaikan kandidat yang lain untuk menggiring opini publik. 

“Dalam media sosial, banyak pemberitaan yang menarasikan dukungan kepada satu kandidat dan mendiskriminasikan kandidat yang lain. Poinnya adalah baik media massa atau media sosial, dapat menciptakan dua hal yaitu polarisasi dan kebencian,” tambahnya. 


Tantangan Menjelang Pemilu 2024

Indonesia merupakan negara demokrasi. Meskipun sejatinya, demokrasi tidak bisa lepas dari proses-proses transaksi atau pertukaran dari satu pihak kepada pihak lainnya. Proses transaksi dalam demokrasi bisa berjalan dengan sehat apabila mengambil wujud pertukaran visi, misi, ideologi, program, dan platform kontestan politik. Nyatanya, demokrasi transaksional justru menjadi ajang dan ruang bagi beberapa orang untuk memiliki uang dan kekuasaan. 

Hal tersebut disinggung oleh pemantik acara diskusi, Prama Aditya Graha selaku Presiden BEM FISIP UNS 2023. Prama menyebut terjebaknya Indonesia dalam demokrasi transaksional, mendorong para elit politik untuk melahirkan oligarki. Dengan begitu, mereka bisa dengan mudah menguasai media-media tertentu agar berjalan sesuai dengan kepentingan pengusungnya. 

“Media itu sudah disusun untuk pengkondisian massa dan pembentukan opini publik. Secara tidak langsung media juga dapat membaca pikiran kita. Makanya ada algoritma media, ketika kita sering melihat tayangan tertentu dan tertarik terhadap kelompok sosial tertentu, maka kita cenderung untuk mengikutinya terus menerus tanpa melihat media dari sisi lain. Hal itu sangat mudah dimainkan oleh elit politik untuk menyampaikan pesan politik, baik pesan yang baik atau buruk,” ujar Prama. 

Selain terjebak dalam demokrasi transaksional, Pemilu 2024 juga dihadapkan pada permasalahan polarisasi. Polarisasi politik mengakibatkan masyarakat terpecah menjadi beberapa kubu yang saling berseberangan terhadap pandangan dan kebijakan politik. Theofilus mengungkapkan terdapat setidaknya dua syarat terjadinya polarisasi. Pertama, ketika orang tidak mampu untuk mengamati, mengumpulkan data, dan menyimpulkan berbagai macam terpaan informasi yang dibagikan oleh media. Kedua, kecenderungan meyakini informasi yang sudah ada dan menolak fakta buruk yang berlawanan dengan keyakinan sebelumnya. 

Bukan hanya itu, kurangnya pemahaman dan kepercayaan terhadap politik juga dapat mendorong masyarakat untuk melakukan golput. Permasalahan ini sering kali timbul karena keputusasaan seseorang terhadap kebijakan pemerintah. 

“Orang itu putus asa karena datang dari harapan bahwa saya memilih pemimpin karena itulah yang terbaik. Maka harus dibalik, kita memilih pemimpin bukan memilih yang terbaik dari yang baik, tapi memilih dari yang kurang buruknya dari semua yang buruk,” lontar Theofilus disambut tepukan tangan meriah dari para mahasiswa. 

Tantangan lain yang tidak terlepas dari pemilu adalah munculnya politik identitas. Kerap dijumpai beberapa kandidat yang mengusung identitas kelompok tertentu untuk meraih suara. Theofilus menjelaskan mengusung politik identitas bisa menjadi hal yang positif ketika bertujuan untuk mengadvokasi hak asasi manusia, seperti yang dilakukan Amerika Serikat pada tahun 1970-an untuk menuntut perjuangan minoritas, gender, dan ras yang terpinggirkan. Namun, politik identitas juga bisa negatif ketika bertujuan untuk menjual elektabilitas semata dan menjatuhkan lawan. 

Meski demikian, di balik isu-isu yang menyerang pandangan publik saat ini, masyarakat perlu melihat gagasan, inovasi, dan gebrakan apa yang ditawarkan dari para kandidat tersebut. Peran dan pemikiran kritis mahasiswa juga menjadi salah satu solusi untuk menciptakan bangsa yang lebih baik kedepannya. 

“Yang paling ditakutkan dalam oligarki adalah ketika kesadaran kritis dari massa itu tumbuh. Sehingga, oligarki bisa dilawan kalau kita punya pikiran kritis dan suka berorganisasi untuk mengadvokasi kelasnya,” pungkasnya. (Novema, Nabila,  dan Asyahra)



SHARE THIS

0 Comments: