Selasa, 01 November 2022

Zonasi, Penentu Pundi Rupiah Pedagang


(Suasana Car Free Day Minggu pagi di kota Solo/Dok. Nur Windy)


Mata itu dengan tenangnya mengawasi kegiatan seorang anak yang sedang duduk dihadapan sebuah papan lukis, sesekali mulutnya ikut memberikan instruksi kepada sang anak tentang warna apa yang seharusnya digunakan. Tak jarang, ia mengalihkan pandangannya pada sederet minuman ringan yang berjejer di atas meja yang berada disampingnya. Gadis itu bernama Fatimah, 18 tahun. Ia seorang pedagang minuman ringan dan juga sering membantu bibinya untuk menjual papan dan tinta lukis. Kegiatan tersebut ia lakukan hanya setiap hari Minggu di event Car Free Day (CFD). “Iya, setiap hari Minggu saja Mbak,” ucapnya saat saya temui di event CFD yang bertempat di depan Balai Kota Surakarta (30/10/2022).


Suasana pagi itu bisa dibilang tidak terlalu ramai, karena memang waktu sudah menunjukkan pukul 08.45 WIB. Para pedagang lainnya pun terlihat sangat santai seolah tidak terganggu dengan teriknya matahari pagi itu. Kegiatan Fatimah pada saat itu hanya mengawasi barang dagangan, meskipun ia sesekali juga berbincang dengan pedagang lainnya. Gadis yang berstatus sebagai mahasiswi di Universitas Setia Budi itu pun hanya duduk di atas sebuah tikar tipis yang berfungsi sebagai alas. Walaupun terlihat baik-baik saja, tetapi jika kita sedikit lebih teliti, maka kita akan melihat sesuatu di matanya. Ya, keprihatinan. Raut wajah itu terlihat kosong, seolah pikirannya pergi entah kemana.

 

Faktor utama penyebab kegundahan hati Fatimah tidak lain karena masalah dagangannya. Ia merasa bahwa pengunjung yang datang untuk membeli dagangannya sangat sedikit, padahal tempat dimana ia berdagang merupakan event CFD yang seharusnya banyak orang yang membutuhkan barang dagangannya yang berupa minuman. Gadis berjilbab itu paham atas akar dari permasalahannya tersebut, yaitu masalah tempat. Titik tempat dimana ia berdagang merupakan area belakang dari CFD diselenggarakan. Ia tidak bisa berpindah tempat karena semua pedagang sudah mendapatkan zonasi dagangnya masing-masing.


Sistem zonasi sendiri adalah peraturan yang dikhususkan bagi para pedagang yang berjualan di tempat CFD. Aturan mengenai penerapan zonasi bagi PKL sebelumnya sudah pernah disinggung oleh Walikota Surakarta, yaitu Gibran Rakabuming Raka. Hal yang menjadi perhatian utama Pemkot Solo adalah adanya larangan berjualan di citywalk. Wakil Walikota, Teguh Prakosa mengatakan bahwa area citywalk dan Jalan Slamet Riyadi akan dikhususkan bagi aktivitas olahraga dan kegiatan selain perdagangan. Area yang disediakan bagi PKL, antara lain, area parkir Galabo, area parkir Benteng Vastenburg, Graha Wisata, Loji Gandrung, dan Sriwedari.


Penerapan sistem zonasi tentu memiliki dampak yang bagus bagi event CFD, sebab tempatnya menjadi lebih tertata. Akan tetapi seperti istilah “Jika ada api, maka ada air,” maka hal tersebut juga berlaku bagi istilah “Jika ada pro, maka ada kontra.” Walaupun kebijakan sistem zonasi ini bagai merupakan angin segar bagi mayoritas orang, tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa ada sekelompok orang yang merasa dirugikan dengan sistem ini, yaitu para pedagang terutama yang menempati zona 1-4. Sebagian besar pengunjung CFD yang hadir berada di zona dagang 5-10, sebab di tempat-tempat itulah pusat CFD berada. “Harapannya sih pindah kesana lagi (CFD pusat), karena kan yang di zona 5-10 diperbolehkan, tapi kenapa hanya zona 1-4 yang disterilkan,” Fatimah yang bertempat dagang di zona 4 merasa cukup dirugikan karena sangat jarang peserta CFD yang datang di area tempat ia berdagang, dimana otomatis peluang terjualnya barang dagangan yang ia punya semakin sedikit.


“Karena disini bukan pusatnya, jadi pengunjung yang kesini jarang” papar gadis yang mulai berdagang sejak pukul 05:00 WIB tersebut. Fatimah merasa sistem zonasi ini sedikit tidak adil karena sistem ini baru diterapkan setelah adanya pandemi COVID-19. Dulu ia bisa berdagang di daerah CFD pusat, sehingga pendapatan yang ia dapatkan juga lumayan banyak. Akan tetapi sekarang semuanya sudah berubah, ia tidak bisa berpindah tempat. “Saya nggak berani protes Mbak, orang disini saja saya hanya menumpang, sudah dibolehkan berdagang saja sudah Alhamdulillah,” jawab Fatimah ketika ditanya kenapa tidak mengajukan pendapat atau usulan kepada Pemkot (Pemerintah Kota) Surakarta.


Jika melihat realita dari keadaan dan kondisi ini, memang terbilang sulit untuk mengajukan pendapat dan usulan kepada pemerintah. Jangankan ditindaklanjuti, didengarkan saja belum tentu. Belum lagi mengenai respon yang diberikan oleh pemerintah, tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Penyebab seperti itulah yang membuat rakyat seperti Fatimah merasa tidak mempunyai cukup nyali untuk sekedar speak up tentang keluh kesahnya pada pemerintah. Fatimah mengatakan bahwa saat ini ia sudah merasa lebih bersyukur atas semua yang terjadi dan ia juga merasa bahwa sudah menjadi kewajiban baginya untuk menaati peraturan yang telah diterapkan oleh pemerintah, walaupun akan butuh usaha yang luar biasa untuk setiap langkah yang ia lewati. (Nur Windy)



SHARE THIS

0 Comments: