Rabu, 16 November 2022

Kain Ecoprint, Wastra Kontemporer Ramah Lingkungan



(Potret Susi, pengrajin kain ecoprint, bersama keluarga saat mengenakan pakaian dari kain ecoprint/Dok. Arsip Pribadi Susi)

Tahukah kamu dalam pembuatan batik, limbah cair industri merupakan limbah yang paling banyak dihasilkan? Limbah tersebut berpotensi mencemari lingkungan jika tidak dikelola dengan baik. Padahal permintaan pasar akan batik tiap harinya terus bertambah dan artinya juga berpotensi meningkatkan limbah cair industri batik.

Untungnya, belum lama ini muncul teknik pembuatan kain yang mirip dengan batik namun lebih ramah lingkungan karena menggunakan 100% bahan-bahan alami. Teknik pembuatan wastra nusantara dengan karakteristik kontemporer ini dikenal dengan sebutan ecoprint. Seperti namanya, ecoprint berasal dari kata eco atau ekosistem yang artinya alam atau lingkungan alami dan kata print yang berarti cetak. Sama seperti pembuatan batik yang melalui tahap skoring dan mordanting, proses pembuatan kain ini juga melewati tahap tersebut namun dengan teknik yang berbeda.

Oleh karena itu, kain yang dibuat dengan teknik ecoprint seringkali disebut sebagai batik ecoprint. Bedanya, teknik ecoprint tidak menggunakan canting (alat untuk membatik) dan bahan malam, namun menggunakan bahan yang bisa diperoleh dari lingkungan sekitar yakni dedaunan yang menghasilkan warna alami.


Alternatif Wastra Ramah Lingkungan

Susi, seorang pengrajin kain ecoprint asal Magelang sekaligus pemilik usaha Batik Godhong, mengatakan bahwa dirinya sudah mengenal ecoprint sejak tahun 2016. Butuh waktu yang cukup lama bagi Susi untuk mempelajari teknik ini, sebelum akhirnya mantap mencoba membuat kain ecoprint pertamanya pada tahun 2018.

“Pada dasarnya saya orang yang suka keterampilan, suka sesuatu yang baru dan kreatif. Saat melihat kain ecoprint, kain itu kan tidak bisa diproduksi secara massal dan tidak bisa dibuat seragam karena prosesnya handmade. Jadi berawal dari sana saya tertarik untuk membuat kain ecoprint,” ungkapnya.

Media yang bisa digunakan dalam pembuatan ecoprint antara selain kain, adalah kulit (hewan), kertas, bahkan keramik. Susi sendiri lebih memilih menggunakan media yang nantinya dapat digunakan banyak orang seperti kain dan kulit. Jenis kain pun bermacam macam; ada kain prisima (katun jepang) seperti yang dipakai pada kain batik, kain kanvas, kain rayon, atau sutra jepang. Pemilihan kain ini bebas, tergantung dengan kebutuhan produksi.

“Kalau untuk sepatu atau hiasan bisa pakai kanvas. Untuk mukena atau baju harian bisa dicetak pada kain rayon yang adem di badan. Tapi ada juga kalau mau untuk pakaian resmi biasanya pakai sutra jepang atau katun sutra untuk bapak-bapak,” ujar Susi menambahkan.

Kemudian bahan utama yang dibutuhkan adalah daun-daunan. Perlu teman-teman tahu, kalau hanya daun-daun tertentu loh yang dapat digunakan dalam pembuatan ecoprint karena tidak semua daun mengandung tanin atau zat warna yang berguna untuk mencetak warna pada kain.

Untuk mencetak pola, Susi mengatakan ia biasa menggunakan daun lanang, daun jati, daun kenikir, dan dedaunan lainnya. Tapi yang menarik, ternyata bisa juga pola dicetak dengan menggunakan bunga.

“Kadang saya pengen (mencetak) dengan bermacam-macam daun dan dicampur dengan bunga. Ada beberapa bunga yang bisa kita gunakan. Misalnya bunga kenikir, baik bunga maupun daun bisa kita gunakan dan hasilnya cantik. Kemudian kembang waru ada juga yang saya gunakan,” cetusnya.

Nah, selain daun daunan ada bahan lain yang diperlukan antara lain sabun TRO, krim tartar, tunjung ,atau tawas, bisa juga cuka, dan kulit-kulit pohon, atau dedaunan untuk pewarna alami.


Dari Alam Kembali ke Alam

Proses pembuatan kain dengan teknik ecoprint ini membutuhkan waktu yang panjang untuk menghasilkan satu potong kain yang siap pakai. Susi mengatakan setidaknya perlu satu bulan untuk memproduksi kain yang panjangnya rata-rata 2 meter.

Langkah pertama yang perlu dilakukan oleh Susi saat mengolah kain ecoprint adalah mencuci kain atau skoring. Proses mencuci ini bukan sembarang mencuci loh. Pada proses ini bahan bahan kimia pada kain akan dilarutkan menggunakan sabun TRO dan tidak bisa memakai sabun biasa. Kalaupun terpaksa menggunakan sabun biasa maka harus menggunakan sabun tanpa pemutih.

Selanjutnya, kain yang telah dicuci bersih dengan TRO akan dikeringkan sebelum kemudian dilakukan proses mordanting. Tujuan dari proses mordanting ini adalah agar kain siap untuk mencetak pola dan warna dari daun-daunan. Untuk melakukan mordanting pada kain, umumnya bahan yang dipakai adalah soda abu. Namun, Susi yang berpegang teguh pada prinsip ecoprint ramah lingkungan memilih menggunakan cream of tartar atau krim tartar pada proses ini.

“Saya lebih suka pakai krim tartar karena prinsip ecoprint adalah alami. Jadi, jangan sampai limbah yang kita pakai malah membunuh zat-zat dalam tanah. Kalau krim tartar lebih aman, pakai soda abu resikonya kena tangan panas,” ungkap Susi.

Setelah proses mordanting selesai maka kain siap untuk diberi warna. Pada proses pembuatan ecoprint, Susi menggunakan dua kain yang lebih sering disebut sebagai kain utama (KU) dan kain blanket. KU digunakan sebagai media utama pencetakan motif, sedangkan kain blanket berfungsi untuk menutupi KU pada saat proses pounding atau kukus. Umumnya KU inilah yang akan diberi pewarna sebelum nantinya mencetak motif dedaunan. Pewarnaan KU tetap menggunakan warna alami yang dibuat sendiri dan bisa diperoleh dari kayu tegeran, kayu akasia, kayu secang, kayu nangka, bahkan bubuk daun mangga.

Susi menambahkan, “Untuk menghasilkan warna, harus kita rebus dulu bahan bahan itu paling tidak 2 jam tergantung kepekatan yang ingin kita buat. Warna itu yang akan kita gunakan untuk merendam kain.”

Ketika KU sudah diwarnai, maka tahap selanjutnya adalah proses ecoprint itu sendiri. Terdapat dua teknik yang cukup populer di kalangan pengrajin ecoprint, yakni teknik pounding (pukul) atau kukus. Sebelum mencetak, daun harus dicuci terlebih dahulu dan dikeringkan dengan sempurna.

Jangan sampai ada air yang menetes karena air yang menetes itu bisa menimbulkan cacat pada kain meskipun cacat itu juga bisa menghasilkan seni tersendiri,” ujarnya.

Selanjutnya, daun yang telah dikeringkan akan ditata sedemikian rupa pada KU. “Tidak ada teknik khusus. Hanya selera kita, feeling kita,” ungkap Bu Susi saat menjelaskan cara menata daun pada kain. Daun yang sudah diletakkan pada kain sebisa mungkin jangan sampai bergeser. Terutama daun jati karena sekali bergeser maka akan keluar bayangan atau corak double pada kain. Wah, berarti harus hati-hati banget nih! (Saras)



SHARE THIS

0 Comments: