Jumat, 18 November 2022

Arunika

Ilustrasi (Dok. Internet/Pinterest)

 

Oleh: Gita Alya


Jogja di kala senja memang indah adanya, semburat warna jingga kemerahan di langit barat, ramainya lalu lalang kendaraan hendak menuju berbagai tujuan, dan para pedagang di pinggir jalan. Namun, ramainya Jogja sore ini tak ada artinya bagi seorang gadis muda yang tengah menyusuri jalan menuju pulang. masih mengenakan seragam putih abu-abu, ia berjalan dengan malas dan hati yang berat. Shanin Arunika namanya, biasa disapa Anin, atau mungkin tidak, ada satu orang yang memanggilnya.


"ARUUUUUU!" nah itu dia, Azka namanya. satu-satunya sahabat Aru semenjak sekolah menengah pertama.

    

Azka yang entah dari mana, kini sudah berdiri di samping Anin, Aru maksudnya. "Aruuuuu, tungguinnn!" napas pemuda itu masih terengah-engah, sementara Aru hanya menatapnya malas.


"Berisik. Lagain kamu tuh dari mana? Jam segini masih keluyuran." 


Azka memandang Aru sinis. "Ngaca, mbak. Situ juga kemana aja jam segini baru mau pulang??" 

 

"Bukan urusanmu," tukas Aru cepat. Satu helaan nafas keluar dari mulut Azka, sudah dapat  dipastikan jika sahabatnya kini dalam keadaan tidak baik baik saja. 


"Aku tahu kamu belum makan, ayo makan dulu." Tanpa seizin sang empunya, Azka sudah menautkan tangannya dengan tangan mungil Aru, membawanya ke warung pojok, tempat dimana mereka biasa makan.


Makanan sudah habis beberapa menit lalu, namun nampaknya kedua manusia itu masih enggan untuk beranjak. Mereka kini tengah duduk berhadapan hanya dibatasi meja sebagai sekat. Untuk kali ini Aru inisiatif bertanya pada pemuda di depannya


"Kamu tadi dari mana, ka?" 


"Habis nganterin Wina." Iya, Wina. Pacar Azka.


Aru berdecak "Kamu itu lho, pacaran teroooosss." 


"Ya suka suka aku lah, kan aku punya pacar, emang kamu?? Jomblo."  Seketika tawa Azka pecah, sementara Aru sudah enggan menanggapi.


"Nggak lucu," batinnya.


Azka merasa tak enak hati, ia ingin meminta maaf tapi sangsi. Lalu ia teringat satu hal, ditatapnya Aru dengan ragu-ragu.


"Aru, dua hari lagi ulang tahunmu, kan?" 


Aru balas menatap sahabatnya. "Hmmm, lebih tepatnya peringatan meninggalnya bunda, Jaka susena." 


"Namaku Azka Mahendra, ya. Bukan Jaka susena." ia mendengus lalu melanjutkan kalimatnya. "Mau kutemani mengunjungi bunda?" 


Aru menggeleng dengan senyum getir di bibirnya "Ndak usah, ka. Aku mau ajak ayah aja." 


Seketika Azka menatap Aru iba.


"Tapi Aru, ayahmu…"


Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Aru sudah memotong. "Ndak apa-apa. Ka. Ini terakhir kali aku bujuk ayah. Kalau memang ayah masih ndak mau, aku sendiri aja." Lalu, keduanya diam.


"Ayo pulang." Final Aru. Ia beranjak terlebih dahulu meninggalkan Azka, kini Azka tahu apa penyebab sahabatnya berbeda akhir-akhir ini.


Pagi harinya, seperti biasa Aru akan duduk di ruang makan rumahnya, menunggu sang ayah untuk sarapan bersama-sama. Sebenarnya, jika dilihat-lihat Aru adalah gadis dari kalangan berada, namun apa artinya ia memiliki segalanya tapi masih merasakan kesepian? Kalau bisa memilih, ia ingin hidup seperti Azka, sederhana namun mendapatkan kasih sayang keluarga. Ditengah-tengah menyantap sarapan, Aru memberanikan diri menatap pria paruh baya di depannya.


"Ayah, mau ikut Anin? kita kunjungi bunda bersama-sama." 


Ayah hanya memandangnya jengah. "Saya sibuk."


Bukan Aru namanya jika menyerah. "Sekali saja ayah, untuk yang terakhir kali."


"Saya bilang sibuk ya sibuk!!! Kamu ngerti nggak??!!" Nada suara ayah mulai meninggi, seketika Aru menundukkan kepala takut


"Maaf ayah." Suaranya bergetar.


"Ah sudahlah, buat saya nggak nafsu makan aja, dasar anak nggak berguna." Ayah beranjak meninggalkan Aru yang menangis dalam diam seorang diri.


Di Hari berikutnya, jam sudah menunjukkan pukul tiga. Bel tanda berakhirnya aktivitas belajar pun telah menggema. Seperti rencana, Aru akan mengunjungi sang bunda seorang diri. Disinilah Aru, duduk di samping pusara sang bunda. Walau Aru belum pernah bertemu sang ibunda, Aru yakin bunda adalah wanita yang cantik dan berhati mulia. Seusai meletakkan bunga Lily dan memanjatkan doa, Aru menatap pusara sang bunda


"Bunda…. Aru datang lagi, maaf belum bisa bawa ayah kesini."  Ia tersenyum kecil.


"Bunda tau? Aru sekarang sudah besar, lho! Aru tahun depan sudah masuk kuliah. Aru bisa bertahan sejauh ini juga karena bunda. Aru mau bunda bahagia melihat Aru dari atas sana."


Aru terus bercerita seakan akan sang bunda memang ada disana. Tapi di akhir cerita, Aru menundukkan kepalanya, rasa sesak di dadanya kini kian terasa.


"Bunda, maafin Aru. Maafin Aru sampai sekarang belum bisa bahagiain ayah sama bunda. Aru belum bisa jadi yang ayah mau, maaf Aru masih sering nangisin bunda" 


Air mata mulai jatuh dari mata indah Aru.


"Aru sayang bunda."


Detik berikutnya, air mata yang mati-matian ia cegah kini tumpah tanpa celah. Bertepatan dengan itu, seorang laki-laki yang sedari tadi mengawasi Aru mulai mendekat, lalu mendekap perlahan tubuh Aru, seolah tubuh Aru adalah gerabah yang mudah pecah.


"Nangis aja, ru. Tumpahkan semua sampai hati kamu lega." Tangis Aru semakin menjadi-jadi.


"Aku kangen bunda, ka. Aku pingin meluk bunda." Azka tetap setia mendengarkan.


"Tapi aku nggak bisa." Suara Aru mulai melemah.


"Aku cuma mau bikin bunda sama ayah bahagia, tapi sampai sekarang belum bisa. Aku ngerasa nggak berguna, ka"


Tanpa Aru sadari, Azka juga ikut menangis dibalik pelukannya. Dengan tangan yang masih setia mengusap bahu Aru, Azka berkata "Aru, jangan pernah bilang kayak gitu. Jangan pernah menganggap dirimu nggak berguna. Dengan kamu ngomong gitu, apa bundamu bakal bahagia diatas sana? Ndak, ru. Bundamu bakal sedih. Kalau kamu memang ingin bundamu bahagia, cukup jalani hidupmu sebagai dirimu sendiri, hidup dengan baik. Dan selalu doakan bundamu."


Azka lalu membisikkan sebuah kalimat di telinga Aru "Selamat ulang tahun, Arunika". 


Aru tiba di rumah pukul 8 malam. Dengan perasaan tenang, ia membuka pintu depan. Tapi sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padanya. Ayahnya ada disana, duduk di sofa ruang tamu sambil menatapnya nyalang.


"Perempuan macam apa kamu jam segini baru pulang?" Aru mencoba mengabaikan sang ayah, kakinya terus berjalan menuju arah tangga.


"KALAU DITANYA TUH DIJAWAB, KAMU DENGER NGGAK?!"


Kaki Aru berhenti tepat di anak tangga pertama. "Aku habis mengunjungi bunda."


Ayah memandang Aru remeh.


"Alah, alasan aja kamu."


Aru berbalik menatap ayahnya dengan penuh keberanian.


"Aku salah apa sama ayah??? kenapa ayah selalu seperti ini sama Aruu?"


"Kesalahan kamu? kamu masih belum sadar?" Ayah menatap Aru tak percaya.


"Kesalahan kamu, kenapa kamu harus lahir ke dunia? Kenapa? Karena kamu, istri saya meninggal"


Bagai disambar petir disiang bolong Aru hanya bisa mematung di tempat ia berdiri, tubuhnya lemas seketika, bahkan untuk menangis pun Aru sudah tidak sanggup.


"Kalau saja istri saya nggak memilih mempertahankan kamu, dia pasti masih disini sekarang. DASAR PEMBUNUH!! SEHARUSNYA KAMU YANG MATI 17 TAHUN YANG LALU!!"  Tanpa sadar, emosi yang dari dulu selalu ia tahan kini ikut meledak.


"Jadi aku pembunuh? Aku yang seharusnya mati? Baik kalau itu kemauan ayah. Aru bakal pergi dari sini, biar ayah puas, biar ayah nggak perlu hidup sama pembunuh kayak Aru lagi" 


Kaki kecilnya terus membawa ia berkelana, menyusuri jalan yang sepi nan gelap dengan penuh nestapa. Air mata sudah mengalir dari pelupuk mata, sementara pikiran dan hatinya masih saja mengingat setiap kata yang keluar dari mulut  sang ayahanda.


'Pembunuh'


Lantas untuk apa ia hidup selama ini? Hidupnya terasa sia-sia, tiada bahagia yang ia rasa. Lelah rasanya, tapi bisa apa? Hingga tanpa Aru sadari, kaki kecilnya telah menuntunnya ke tengah jalan penuh lalu lalang kendaraan. Deru klakson yang bersahutan tak dihiraukan. Lantas, dari arah berlawanan, mobil sedan menghantam tubuh mungilnya. Sakit, remuk, perih, untuk saat ini hanya itu yang bisa Aru rasakan. Badannya masih tergeletak di tanah, tak terhitung berapa banyak darah yang keluar dari tubuhnya. Matanya mulai mengabur. Sebelum benar-benar kehilangan kesadaran, satu kalimat lolos dari bibirnya.


"Bunda, tunggu Aru".


Azka, lelaki itu tengah terduduk di depan ruangan yang tak pernah ia duga sebelumnya. Tadi, ketika ia selesai membersihkan diri, ia mendapat panggilan telepon yang membuat tubuhnya lemas seketika. sahabatnya kini sedang terbaring tak berdaya di dalam sana. Mulutnya tak henti merapalkan doa untuk keselamatan sang sahabat. Di tengah kekhawatiran yang belum usai, Indera pendengarnya menangkap suara langkah kaki yang mendekat. Melihat siapa orang yang datang, emosi Azka kini tak bisa terbendung. Ia berdiri dan berjalan mendekat pada pria paruh baya yang tengah berdiri depan ruang rawat.


"Puas Anda?! Anda puas melihat sahabat saya meregang nyawa?!"


"Maksud kamu apa?" Mendengar pertanyaan yang tak masuk akal itu emosinya kian meledak-ledak.


"Anda pikir saya nggak tahu kalau Anda yang sudah membuang Aru!?"


"Tahu apa kamu tentang keluarga saya?" Lagi lagi pertanyaan bodoh yang Azka dapatkan, dengan air mata yang kembali menetes ia menjawab pria dihadapannya.


"Seharusnya saya yang tanya, tahu apa Anda tentang anak Anda?! Apa Anda tahu, Aru selalu menangis kala mengunjungi bundanya?! Aru selama ini depresi, bahkan dia pergi ke psikolog hampir tiap Minggu, dan itu semua karna ulah Anda!! Anda tahu?!"


Azka diam sejenak, ditengah tangisnya ia melempar senyum sinisnya.


"Aru bahkan belum pernah merasa bahagia, kasih sayang yang seharusnya Aru rasakan nggak pernah dia dapat. Itu semua karena keegoisan Anda, Anda yang masih belum berdamai dengan masa lalu, dan Anda yang selalu mengacuhkan Aru. Itu yang selama ini menyiksa Aru. Saya mohon untuk kali ini saja, turunkan ego Anda, Aru butuh Anda." suara Azka melemah di akhir kalimat. 


Mendengar penuturan Azka, dadanya bagai dihujam ribuan anak panah. Penyesalan demi penyesalan kini hinggap di hatinya. Hanya karena masa lalu, ia tega mengorbankan perasaan putri satu-satunya yang seharusnya ia jaga. 


"Maaf, maaf kan saya," ucapnya penuh sesal


"Minta maaf sama Aru, om. Dan satu lagi, saya mohon jika setelah ini Aru masih diberi kesempatan oleh tuhan, tolong jaga Aru dengan baik. Aru hanya punya Anda sekarang."


Tepat setelah Azka menyelesaikan kalimat, dokter keluar dari ruangan tempat Aru diperiksa.


"Apa Anda wali saudari Shanin Arunika?" Ayah Aru dengan segera menganggukkan kepala. satu hembusan napas berat terdengar.


"Mohon maaf, pukul 21.13 saudari shanin Arunika dinyatakan meninggal dunia"


Hanya dengan begitu, runtuh sudah dunia dua lelaki berbeda usia itu. Azka hanya bisa terduduk lemas di lantai dengan tatapan kosong dan rasa sakit luar biasa yang menyayat hatinya. Sementara ayah, ia kini hanya bisa menangis menyesali perbuatannya, putrinya kini juga ikut meninggalkannya. 


Shanin Arunika, gadis cantik yang ingin hidup sederhana dan merasakan bahagia, kini telah tiada, kembali ke pangkuan sang Pencipta dan menyambut pelukan sang ibunda.



SHARE THIS

0 Comments: