Kamis, 06 Oktober 2022

Bencana Kanjuruhan, Bisakah Jadi yang Terakhir?

(Potret para supporter di Kanjuruhan/Dok. Yudha Prabowo/AP/picture alliance)


Oleh: Dila Septi Asrining Kanastren

Duka mendalam kita rasakan pasca terjadinya tragedi Kanjuruhan yang memakan lebih dari seratus korban jiwa yang terdiri dari suporter Arema FC dan dua personel kepolisian. Tragedi memilukan ini tengah menjadi sorotan pecinta sepak bola di seluruh penjuru dunia. Pasalnya, sepak bola masih harus merenggut nyawa manusia di tengah perkembangan sepak bola modern. Menilik dari sejarah yang ada, tragedi yang memakan hingga ratusan jiwa terakhir kali terjadi sudah 21 tahun yang lalu di Stadion Accra, Ghana. Bencana Kanjuruhan ini pun berhasil menyalip Ghana dan menduduki posisi kedua di dunia sebagai pertandingan yang paling banyak memakan korban. Bukan sebuah prestasi yang patut dibanggakan, miris! Lantas, mengapa di era sepak bola modern masih bisa pertandingan sepak bola merenggut nyawa sebanyak ini?

Sebelum tragedi Kanjuruhan, pertandingan sepak bola di Indonesia sudah merenggut dua nyawa di tahun yang sama. Lebih tepatnya ketika pertandingan Persib Bandung kontra Persebaya Surabaya yang dilaksanakan di kandang Persib. Penyebabnya adalah karena kapasitas yang berlebih, kedua korban harus berdesak-desakkan dengan suporter lain untuk keluar dari stadion. Akan tetapi, seolah satu dua nyawa tidak cukup, perlu ratusan nyawa berkorban agar para pemangku kebijakan sepak bola ‘tertampar’ mengenai kebijakan-kebijakan yang dinilai merugikan bagi suporter yang menonton langsung ke stadion.


Yang lebih ‘lucunya’ lagi, kejadian ini hangat diperbincangkan seminggu hingga paling lama dua minggu. Selepasnya? Tidak ada perubahan!


Tiket yang dijual di berbagai stadion dan berbagai pertandingan masih melampaui kapasitas. Jam kick off yang dinilai terlalu malam menjadi tuntutan utama pun juga masih dihiraukan oleh PT.LIB selaku pelaksana pertandingan liga sepak bola Indonesia. Pengendalian massa yang dilakukan oleh aparat dengan menggunakan gas air mata menjadi sorotan utama sebagai penyebab banyaknya korban berjatuhan. Padahal, penggunaan gas air mata sudah jelas diatur dalam peraturan FIFA pasal 19 b yang berbunyi, “Senjata api atau 'gas pengendali massa' tidak boleh dibawa atau digunakan,”. Perlu dipertanyakan pula mengapa hal ini masih dilakukan ketika peraturan sudah jelas tertera?


Hal-hal seperti ini sudah menjadi ‘penyakit’ bagi sepak bola kita. Sulit untuk disembuhkan, perlu merasakan sakit yang lebih parah untuk bisa segera diobati. Perlu tragedi yang memakan korban lebih banyak untuk segera saling berbenah.


Tanggal 7 Oktober 2022, Presiden RI Joko Widodo mengumumkan keputusan FIFA atas tragedi ini. "Berdasarkan surat tersebut, alhamdulillah sepak bola Indonesia tidak dikenakan sanksi oleh FIFA," tutur Jokowi pada pernyataan persnya melalui akun resmi Instagram @jokowi. Tentunya kabar ini adalah angin segar bagi kita semua. Jika FIFA mengenakan sanksi, maka yang paling terkena imbasnya adalah Tim Nasional kita. Padahal, seperti yang kita ketahui, performa pemain timnas kita di semua kelompok umur sedang berada di puncaknya. 


Sebelumnya terlihat pula Menteri BUMN, Erick Thohir menemui Presiden FIFA Gianni Infantino di Qatar pada Rabu, 5 Oktober 2022. Pertemuan ini membahas mengenai tragedi Kanjuruhan dan penyampaian surat oleh Presiden Jokowi kepada Presiden FIFA Gianni Infantino. Perlu diapresiasi ketika pemerintah menunjukkan komitmennya dengan berhasil merangkul FIFA untuk bersama-sama membenahi sepak bola kita. Namun, yang menjadi pertanyaan kita semua, di mana PSSI dan Menpora? Mengapa Menteri BUMN justru yang banyak terlibat dalam menyelesaikan masalah ini? Lucu, bukan?


Intinya, di antara beribu pertanyaan di benak kita mengenai bencana ini, bisa kita singkirkan sejenak rasa bingung dan amarah itu. Sekarang adalah momen paling tepat untuk semuanya intropeksi diri. Berhenti saling menyalahkan, berhenti saling memojokkan, berhenti saling menuduh. Bencana ini terjadi bukan karena kesalahan satu dua orang. Bencana ini kesalahan kita semua yang menghiraukan satu dua nyawa melayang. Semua perlu saling berbenah. Sekarang pula momen paling baik bagi para suporter bersatu untuk memperbaiki sepak bola Indonesia. Percuma bila semua pemangku kebijakan berbenah tetapi suporter juga tidak berubah.


Karena dengan menyalahkan, memojokkan, dan menuduh pihak-pihak tertentu tidak akan menyelesaikan masalah sepak bola kita.



SHARE THIS

0 Comments: