Selasa, 28 Juni 2022

Kisah Tania

 

Dok. Pinterest


Oleh: Zahra Nabila

Tania termangu di depan jendela sambil memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menyelinap di sela-sela rambut panjangnya. Wajahnya masih pucat, bibirnya pun kerontang. Perlahan, ia meneguk setengah gelas air putih diatas meja. Kemudian kembali termangu. Tak berselang lama, suara ketukan terdengar lirih di telinganya.

“Siapa disana?”

Hening. Tidak ada jawaban.

“Tolong jangan buat aku marah. Katakan siapa disana?” teriak Tania dengan suara parau.

Pelahan, pintu terbuka. Tampak sosok jangkung dengan ragu melangkah masuk. Ia melayangkan senyum tipis, sembari melambaikan tangan

“Hai, Ta. Sudah lama, ya?”

Tania mematung. Tak berani menatap lama-lama sosok yang sekarang sudah berdiri tepat di depannya. Ia kemudian membuang muka, berusaha mengalihkan pandangan.

“Ta”

Suara lembut ini. Suara sosok yang selalu Tania tunggu kehadirannya, yang selalu Tania tangisi karena terlalu merindukannya, yang selalu Tania tunggu pesannya sampai tak sadar ketika terlelap, yang selalu Tania bayangkan bagaimana jika hidup bersamanya kelak, yang selalu Tania doakan di setiap detiknya, yang paling Tania anggap berharga daripada hal lainnya.

“Aku disini, Ta. Maafin aku ya udah bikin kamu kayak gini. Maaf udah nyia-nyiain keberadaanmu. Aku janji bakal nebus kesalahan aku. Aku mau bahagiain kamu, gabakal ninggalin kamu. Aku mau nemenin kamu pas lagi seneng maupun sedih. Inget kan Ta dulu kita pernah bikin planning buat jalan-jalan berdua di kota lama, ke pantai bareng, beli ikan hias yang warnanya identik biar kita selalu inget satu sama lain. Makan seafood malem-malem di daerah yang banyak bintangnya. Aku pengen dan mau ngewujudin itu semua sama kamu, Ta. Jadi maafin aku, ya?”

Tania tak membalas perkataan itu. Ia membekap mulutnya, sekuat tenaga menahan agar air matanya tak terjatuh. Namun sia-sia. Isakannya semakin keras, menyayat. Langit yang tadinya cerah bahkan turut menjadi kelabu, seolah merasakan sakit yang membekas di hati Tania.

“Ta, jangan pergi dari aku, please

Tania masih tenggelam dalam tangisannya. Beberapa detik kemudian, bunda datang dan memberikan pelukan hangat yang dapat mententramkan hatinya. Bunda mengusap rambut Tania pelan, lalu menggenggam tangannya dengan erat.

“Tama disini bunda. Dia bilang dia gabakal ninggalin aku. Dia mau sama aku terus. Dia mau bahagiain aku. Bunda, aku mau bahagia sama Tama. Aku mau sama Tama terus. Bolehkan?”

Bunda yang melihat anaknya terisak seperti itu hanya mengangguk. Mata Tania terlihat sayu. Tubuhnya kurus, tak berisi seperti dulu. Setiap hari, ia hanya mengurung dirinya di kamar. Bunda sudah mengupayakan segala cara. Namun hingga detik ini, ternyata masih belum membuahkan hasil.

“Tania minum obat dulu, yuk. Biar cepet sembuh dan bisa jalan-jalan sama Tama”

Tania menghentikan tangisnya, kemudian mengangguk pelan. Setelah menelan obat yang diberikan oleh bunda, Tania terlihat lebih tenang, lalu tertidur. Bunda mengecup kening Tania, kemudian memandangnya iba.

“Bunda pengen kamu bahagia, Ta. Kalo kamu bahagia, pasti Tama juga bahagia. Jangan nyusul Tama dulu ya, nak. Bunda masih butuh kamu”

Dengan suara yang getir, bunda menyelimuti tubuh mungil Tania yang masih terbayang-bayang oleh sosok Tama.

Ya, semua yang dilihat Tania tadi hanya ilusi yang diciptakan olehnya sendiri.

Tama sejatinya sudah tiada dari dunia ini. Selama-lamanya.


SHARE THIS

0 Comments: