Sabtu, 30 April 2022

Ajining Dhiri Gumantung Saka Lathi

 

(Dok. Pinterest)

Oleh: Royhan Anwar

     Lathi atau yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai lidah memiliki peranan penting sebagai media komunal. Tiap huruf yang kita ucapkan terbentuk melalui lidah. Kata-kata yang kita rangkai juga tercipta di sana. Untaian kata yang keluar tentunya tak lepas dari keinginan manusia dalam menyampaikan pikiran dan perasaannya. Hal ini sejatinya mengandung arti bahwa tiap insan memiliki kendali dan tanggung jawab penuh terhadap lidahnya. Jangan sampai apa yang mereka lontarkan merugikan dirinya sendiri dan orang lain.

     Selain berperan sebagai alat komunikasi, lathi juga diyakini sebagai barometer baik-buruknya tabiat seseorang. Pandangan ini telah berkembang sejak lama dan diwariskan secara turun-temurun, terutama dalam komunitas suku Jawa. Tak heran, mereka mampu melahirkan falsafah "ajining dhiri gumantung saka lathi" yang berarti bahwa harga diri dan martabat seseorang tergantung dari bagaimana mereka menjaga lisannya. Terciptanya falsafah tersebut juga tak lepas dari karakter bahasa Jawa sendiri yang memiliki keunikan.

     Bahasa Jawa memiliki bentuk tingkat tutur bahasa atau level of speech yang khas. Penggunaan kata-katanya disesuaikan dengan kondisi sang penutur dengan mitra tutur, seperti penggunaan bahasa Jawa Krama bagi kawula muda untuk berbicara dengan orang yang lebih tua. Hal ini secara tidak langsung menumbuhkan karakter empan papan dan sopan santun bagi masyarakat Jawa. Berkomunikasi menggunakan diksi Jawa yang tepat adalah hal vital dalam masyarakat Jawa. Seseorang yang tak mampu menempatkan level berbahasa dengan kondisi diri dan mitra tutur akan dianggap sebagai orang yang tak tahu diri dan lancang.

     Implementasi dari falsafah ini makin meluas seiring dengan perkembangan zaman. Tidak hanya berkutat dalam hal yang telah disebutkan, melainkan juga bagaimana cara kita mengontrol jari jemari dalam berjejaring sosial. Ia dituntut untuk senantiasa berhati-hati ketika menggantikan peran lidah dalam bermedia sosial. Kalimat-kalimat vulgar, kasar, apalagi menyinggung SARA tidaklah pantas dipublikasikan dalam ranah digital. Seseorang yang melanggar etika dalam dunia maya sering mendapat konsekuensi berupa hujatan para netizen. Selain itu, menerapkan falsafah ajining dhiri gumantung saka lathi berarti menjaga lidah maupun jari dari menyebarkan fitnah atau hoax yang berpotensi menimbulkan perpecahan dalam masyarakat.

     Eksistensi falsafah "ajining dhiri gumantung saka lathi" sejatinya semakin menegaskan bahwa lidah merupakan anggota tubuh yang vital. Bahkan, lidah menjadi indikator tinggi rendahnya harga diri seseorang. Oleh sebab itu, penting sekali bagi suatu insan untuk berusaha mengontrol lisannya baik di dunia nyata maupun dunia maya.


SHARE THIS

0 Comments: