Senin, 28 Februari 2022

Dua Belas Ribu Rupiah

           

Ilustrasi (Dok. VISI/ Redaksi)

Oleh: Haning Sukma

            Masa pandemi dimanfaatkan sebagian besar orang untuk menghabiskan waktu bersama sanak keluarga di rumah, tertawa bersama di ruang keluarga sembari menikmati makanan enak dan ditemani sejuknya AC rumah mereka. Dan disini lah kami, sebagian kecil lainnya yang harus rela menahan lapar dan lelah demi bisa menyambung hidup.

“Ibu, perutku berbunyi, lapar” Ujarku pada ibu yang tengah melamun, entah memikirkan kapan ada orang yang akan membeli dagangan kamu atau berpikir bagaimana kami akan makan nanti. Bunyi perut sudah tak daapat dihitung lagi, sedaari kemarin ia terus berbunyi minta diisi sehingga kami tak kuasa menghitungnya lagi.

Ibu menoleh untuk menatapku dan berujar, “Sebentar lagi nduk, sebentar lagi pasti ada orang yang dating membeli.” Ibu tersenyum, sedetik kemudian ia menatap dagangan kami, sayur-sayur lusuh dan keriput. Aku sudah hafal di luar kepala, ibu akan mengatakan hal semacam itu, dan entah kapan orang itu akan datang tuk membeli.

“Huh, PPKM itu diperpanjang lagi.” Ah, ayahku rupanya yang berujar seperti itu, baru saja kembali dari mengantar penumpang. Bukan, ayahku bukan tukang ojek, tetapi becak, tukang becak. “Ini, minum dan duduklah dulu.” Ibu memberikan sebotol air putih yang airnya pun tak bisa dibilang putih dan jernih, lewat warna air yang kami minum pun sudah jelas terlihat kondisi ekonomi kami seperti apa.

Ayah meneguk air itu, menyekanya saat selesai dan menatap kami berdua, “Mau pulang saja? Di sini tidak akan ada orang datang tuk membeli sayur- sayur ini, PPKM.” Ujarnya kemudian. Kami berdua terdiam, benar kata ayah, tidak akan ada yang datang karena PPKM.

“Ayah, kita akan makan kan sepulang dari sini?” Tanyaku, ia mengangguk seraya tersenyum. Aku memekik girang, melompat-lompat dan berakhir memeluk ibuku yang sedang menatapku tersenyum.

“Ibu, kita akan makan! Aku senang sekali.” Ujarku kepada ibu, ia mengangguk menanggapi perkataanku. “Iya, kita akan makan, senangnya. Syukurlah ayah membawa uang ya, nduk.” Ucap ibu sembari bergegang merapikan dagangan kami, ia membereskan sayur-sayur . Wortel, bayam, kangkung, dan banyak lagi sayuran hijau yang sebenarnya sudah tak hijau lagi itu ia masukkan dengan semangat ke dalam keranjang tempat kami biasa menyimpan sayuran.

Ayah menatap kami dengan senyum simpul di bibirnya, tangannya meremat lembaran uang lusuh bernilaikan dua ribu rupiah dan lima ribu rupiah, total lembaran itu ada tiga lembar. Aku bertanya padanya, “Ayah punya tiga lembar uang, banyak sekali, itu berapa ribu, yah?” Ayah menatapku lalu berujar, “Dua belas ribu, nduk, cukup untuk beli dua porsi nasi putih dan gorengan.”

Ah, senang mendengarnya, nasi putih dengan lauk gorengan. Itu sudah cukup untuk kami memuaskan rasa lapar, akhirnya perutku bisa segera berhenti berbunyi setelah berbunyi puluhan kali sedari kemarin.

Beberapa saat kemudian ibu menghampiri kami berdua, menenteng keranjang sayuran kami dengan senyuman. Aku menjulurkan tanganku, minta ibuku tuk menggandengnya. Ayah pun menyiapkan kendaraan kami pulang, iya kami pulang dengan becak milik ayah.

Ibu menaruh keranjang sayuran terlebih dahulu, mendudukan aku di jok becak kemudian menyusul tuk menempatkan diri. Ayah sudah siap untuk mengayuh pedal di belakang, rantai, ban, dan kaki ayah pun bekerjasama tuk membuat kami melaju sampai ke rumah.

Sore itu, kami kembali ke rumah dengaan perasaan senang, menenteng plastik berisi nasi putih dan gorengan seperti yang sudah ayah bilang. Terima kasih tuhan, sudah memberi ayahku uang senilai dua belas ribu rupiah.

SHARE THIS

0 Comments: