Senin, 22 Juni 2020

Aspirasi dan Diskusi Mahasiswa: Semua Elemen Harus Bijak!

Dok.Internet/Wendy Keningsberg
      

 Oleh: Stella Maris M.R

Istilah "Mahasiswa sebagai Penyambung Lidah Rakyat", nampaknya tepat digunakan untuk mewakili keterlibatan mahasiswa sebagai penyalur aspirasi rakyat. Mengapa demikian? Mahasiswa bisa dikatakan sebagai garda terdepan dari “masyarakat” itu sendiri. Contoh sederhananya semisal bila terjadi ketidakselarasan kebijakan atau aturan dari pemerintah kepada masyarakat, biasanya pihak yang maju terlebih dahulu untuk mengkritik bahkan menentang adalah mahasiswa. Mulai dari mengadakan mimbar diskusi terbuka hingga menggerakan massa untuk berdemo. Semua itu dilakukan untuk mencapai puncak keadilan baik untuk masyarakat maupun pihak pemerintah

Namun belakangan ini, acara dialog atau diskusi seakan menjadi mimpi buruk bagi mahasiswa. Hal ini dikarenakan adanya intimidasi dari pihak yang tidak bertanggung jawab. Kasus yang terkait dengan hal tersebut adalah aksi teror terhadap "Diskusi Fakultas Hukum UGM” pada 29 Mei 2020. Diskusi tersebut dinilai memiliki judul yang mengandung unsur makar. Pihak panitia diskusi yaitu mahasiswa Constitutional Law Society (CLS) mengalami intimidasi melalui pesan yang berisi ancaman pemanggilan polisi hingga ancaman pembunuhan dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Hal ini kemudian menjadi viral di masyarakat dikarenakan judul acara diskusi yang dinilai “terlalu berani”. Selain itu, tertulis juga bahwa instansi perguruan tinggi negeri, Universitas Gadjah Mada (UGM), turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Tak hanya itu saja, panitia hingga pembicara pun tak luput dari terror ancaman melalui pesan singkat. Kasus ini kemudian memancing sekelompok orang untuk turut berkomentar di kanal media sosial mereka. Sudah bukan barang baru jika muncul pro dan kontra terhadap suatu kasus, tak terkecuali dengan masalah ini. Berada di pihak pro maupun kontra tentu sah-sah saja. Turut berkomentar atas masalah ini pun juga tidak menjadi masalah asalkan kita dapat mempertanggungjawabkan pernyataan kita.

Kebebasan berpendapat, berdiskusi, ataupun berdialog, khususnya yang dilakukan oleh para mahasiswa seharusnya tidak menjadi masalah. Kegiatan tersebut seharusnya bisa berjalan dengan lancar. Hal ini dikarenakan semua elemen bebas berekspresi, bebas menyalurkan aspirasinya. Namun perlu diingat bahwa apa yang kita lakukan harus tetap berada di jalur yang tepat. Jangan sampai tindakan kita menjadi celah bagi oknum tak bertanggung jawab. Selain itu, bagi pihak yang menjadi topik utama dalam diskusi, alangkah lebih bijak jika menyikapinya dengan arif. Sebab segala sesuatu bisa mencapai mufakat bila semua pihak dapat menurunkan ego masing-masing. Selain itu, diharapkan agar kasus ancaman tersebut dapat diusut tuntas oleh pihak kepolisian agar tidak menjadi celah konfrontasi ataupun menimbulkan trauma ketakutan berdialog di masa mendatang.

Terlepas dari masalah “Kasus Diskusi Fakultas Hukum UGM”, saat ini Indonesia tengah berjuang melawan pandemi virus corona atau COVID-19. Akibat pandemi ini, semua elemen dan sektor kehidupan terkena imbasnya. Salah satu sektor yang terkena imbasnya yakni sektor pendidikan. Pandemi telah membuat pelajar hingga tenaga pendidik “dirumahkan” yang kemudian sistem pembelajaran diubah menjadi sistem daring. Banyak kegiatan pendidikan yang diganti menjadi daring. Banyak kegiatan mahasiswa yang terganggu seperti perkuliahan, penelitian, Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, konsultasi skripsi, bahkan wisuda menjadi terhambat. 

Sejak awal pandemi hingga saat ini, kebijakan perubahan sistem pendidikan menjadi sistem daring telah banyak menuai pro kontra di kalangan pelajar khususnya mahasiswa. Bagi pendukung sistem ini, mereka menilai bahwa sistem ini sebagai salah satu cara untuk meminimalisir penyebaran virus corona. Mereka beralasan bahwa cara ini dianggap dapat mengurangi kemungkinan orang untuk berkumpul di satu wilayah dalam jumlah banyak. Bagi mereka yang kontra, mereka beralasan bahwa mahasiswa mengalami banyak kerugian. Beberapa contoh kerugian tersebut adalah tagihan paket kuota internet yang membengkak, jangkauan sinyal internet yang kurang merata, beban tugas mata kuliah yang semakin menumpuk, janji subsidi pihak kampus kepada mahasiswa yang tidak terpenuhi seluruhnya, tuntutan bebas UKT (Uang Kuliah Tunggal) untuk semester berikutnya, hingga bantuan logistik bagi mahasiswa yang tidak dapat pulang ke kampung halaman.

Tuntutan yang digaungkan mahasiswa bukan tanpa alasan. Faktor ekonomi akibat pandemi dinilai sebagai latar belakang merebaknya aksi tuntutan mahasiswa kepada pihak rektorat. Beberapa kendala umum yang dialami mahasiswa adalah tagihan internet yang membengkak, koneksi jaringan internet yang tidak merata hingga ke pelosok, dan lain sebagainya. Tuntutan mahasiswa tentunya tdak lepas dari masalah UKT. Mulai dari tuntutan keringanan hingga pengembalian atau pembebasan UKT, pemberian pulsa atau kuota, hingga bantuan sembako bagi mahasiswa yang tidak dapat pulang ke kampung halamannya. Semua pemohonan tersebut tentu harus dikaji secara lebih mendalam agar tidak ada pihak yang dirugikan. Untungnya, masih banyak kampus yang memberikan berbagai bantuan dan kebijakan yang cukup meringankan beban mahasiswa, walaupun hal tersebut tidak dapat menutup segala kendala dan kerugian yang dihadapi mahasiswa itu sendiri.



SHARE THIS

0 Comments: