Jumat, 18 Oktober 2019

Kompleksitas Kisah Kolosan Berbalur Komedi yang Menawan

Judul: Raden Mandasia Si Pencuri Daging Sapi | Penulis: Yusi Avianto Pareanom  | Penerbit: Banana Publishing  | Cetakan: Pertama, Maret 2016 | Halaman: 468 halaman  | ISBN : 9789791079525
(Dok. Internet)

oleh: Rachma Dania 

"Aku memang belum pernah mendengar atau membaca syair tentang Watugunung, tapi aku yakin isinya pasti pujian murahan. Pada saat yang bersamaan, aku harus mengakui bahwa Gilingwesi memang makmur. Orang melamun saja dibayar mahal. Anjing betul."--- Sungu Lembu takjub juga sekaligus mengumpat.


Buku yang berlatar belakang zaman lampau atau yang kental dengan nuansa kolosal ini menceritakan tentang Sungu Lembu yang membawa misi pembalasan dendam atas masa lalunya. Dalam misinya tersebut ia merantau menuju kerajaan yang telah menjajah negeri kecilnya, yakni Gilingwesi.

Sekilas pandang memang plot terlihat sederhana, akan tetapi kompleksitas yang terkandung di dalamnya bisa jadi lebih dari yang dibayangkan. Dalam perjalanannya menuju Gilingwesi, Sungu lembu melewati berbagai peristiwa dan pelaku di dalamnya. Salah satu pertemuan yang cukup penting yakni pertemuannya dengan Nyai Manggis, perempuan pemiliki rumah judi yang ternyata sekampung halaman dengannya. Tanpa diduga ternyata Nyai Manggis juga memiliki sekelompok pemberontak dari Banjaran Waru yang juga ingin melawan Gilingwesi.

Melalui pertemuan tersebut, tanpa sengaja Sungu bertemu dengan Raden Mandasia, yakni anak kembar ke 7 dari 13 pasang anak kembar Watugunung, penguasa Gilingwesi. Melalui pertemuan inilah akhirnya Sungu mulai menjalankan misi dengan ditemani dengan Raden Mandasia yang memiliki kebiasaan aneh mencuri daging sapi, menyembekih dan meracik sediri bagian yang ia sukai. Kebiasaan ini juga yang kadang membawa mereka ke dalam peristiwa mara bahaya.

Mereka berdua melakukan perjalanan hebat, petualangan yang tak tanggung-tanggung membuat pembaca terkesima. Jika Sungu Lembu membawa dendam kepada ayah Mandasia selama perjalanannya, Mandasia justru membawa keinginan untuk menghentikan perang yang akan dilakukan Gilingwesi ke Kerajaan Gerbang Agung.   

Berbicara mengenai kompleksitas di bahas di atas, maka kompleksitas dan kebergaman cerita itu sendiri muncul saat petualangan dimulai. Bukan hanya perkara balas dendam namun juga diselipkan keseruan, komedi, dan tak jarang juga terdapat alur membawa pesan yang membuat hati tersentuh.

“Menulislah, agar hidupmu tak seperti hewan ternak, sekadar makan dan minum sebelum disembelih,"- Loki Tua

"Aku tak paham pikirannya. Aku tak akan pernah paham pemikiran perempuan. Kalau aku bisa membaca hati perempuan, barangkali aku bisa jadi penguasa dunia." -- Sungu Lembu.

Tak jarang juga kita bisa menemukan banyaknya cerita yang nampaknya serupa dengan cerita dongen zaman dahulu sebut saja kisah bapak tua yang mirip Gepetto, kisah Sangkuriang, kisah Nabi Yunus, dan lain sebagainya.

Yusi menyajikan kompleksitas cerita dengan bahasa yang seolah menawan para pembacanya, tak hanya itu penulis juga turut menampilkan cerita dengan latar belakang yang terperinci dan jelas sehingga bisa membantu pembaca untuk memvisualisasikan peristiwa yang sedang dialami oleh tokoh. Detail cerita ini nampaknya baik untuk dinikmati secara cermat tak heran ketika pembaca perlu memberikan sedikit waktu lebih banyak untuk memahami dan menikmak alur yang disajikan oleh penulis ini.

Buku ini memiliki label dewasa dan nampaknya pembaca memang harus bijaksana akan hal tersebut.  Petualangan dari dua bujangan ini memang banyak menggunakan bahasa-bahasa umpatan untuk mengekpresikan perasaan yang mereka rasakan. Adegan intim yang sarat akan hubungan seksual juga turut disertakan dalam buku ini.

Secara keseluruhan buku ini memang layak dan patut untuk dibaca, buku ini bisa menambah wawasan dan kekritisan pikiran bagi orang yang membacanya. Tak mengherankan apabila buku ini berhasil memenangkan penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2016 untuk kategori Prosa.


SHARE THIS

0 Comments: