Selasa, 12 November 2013

Kapitalisme Industri Media: Permainan Modal Media Besar

Oleh: Ilham Fariq Maulana


Modernisasi telah membawa gaya baru dalam hidup hingga menyangkut pada ekonomi, politik, sosial, bahkan media. Gaya baru ini merupakan cetakan kapitalisme industri negara barat. Bahkan gaya baru ini direplikasikan dalam tatanan atau sistem di negara-negara berkembang. Dimana masyarakat paradigma kehidupannya mulai dialihkan menuju kapitalisme industri secara besar-besaran.
Sistem ini meletakkan media sebagai sebuah alat penting di dalam mempromosikan pembangunan ekonomi, karena media dianggap mampu mempengaruhi perubahan sikap dan memacu sikap inovatif (Reeves, 1993). Utamanya adalah media besar yang notabene secara tertutup maupun terbuka, sesuai sistem di negara masing-masing, mampu memonopoli media lain.
Hal itu ditunjukkan dengan dilebarkannya usaha-usaha dari media besar untuk mengambil alih media kecil lain. Dalam hal ini termasuk perluasan bidang media besar itu sendiri. Media cetak, radio, televisi, dan new media (internet) menjadi pangsa strategis untuk melebarkan sayap media besar di masyarakat.
Fenomena inilah yang disebut imperialisasi media. Media besar melakukan industrialisasi bisnis media dengan menguasai beberapa media kecil serta mempengaruhi masyarakat. Media besar tidak hanya melihat pentingnya untuk membuka pasar baru lewat bentuk media lain. Namun, bagaimana mereka memonopoli bisnis ini. Memunculkan suatu “politik” di kalangan media melalui bisnis tampil sebagai bentuk modenisasi dan kapitalisasi.
Imperialisasi media seakan menjadi gaya baru dalam persaingan bisnis media saat ini. Kapitalisme turun tangan dalam mencampuri hadirnya penguasaan suatu bisnis oleh kalangan besar. Media menjadi salah satu bisnis yang paling disoroti dalam kapitalisme. Karena pengaruhnya yang bersifat persuasif serta produknya yang dirasakan oleh masyarakat luas. Ekspansi media menghasilkan kekuatan yang lebih besar lagi dalam mengendalikan masyarakat melalui sumber-sumber produksi media berupa teknologi, jaringan dan lainnya. Selain itu tentunya profit bagi pengusaha (Dewi, 2007).
Dengan kekuatan modal besar untuk berinvestasi pada teknologi komunikasi, pengusaha media Jakarta akan melibas pengusaha media kota-kota lain yang kemungkinan memiliki modal lebih kecil. Dengan demikian, semua kegiatan yang ada dalam sebuah negara, akan diliput oleh orang-orang yang sama (Dewi, 2007).
Singkatnya imperialisme media oleh media besar terlahir oleh adanya kapitalisme media. Pemilik media menjadi pelaku besar di dalamnya. Adanya monopoli bisnis media secara tidak langsung mampu memunculkan ‘politik’ di dalam media. Dampaknya tidak hanya dirasakan institusi media sendiri juga ke kultur masyarakat.
Adapun dari Mosco terdapat korelasi kekuasaan antara penguasa sumberdaya (dalam hal ini pemilik media) dengan sumber ekonomi produksi yang dapat mereka gunakan. Pemilik media di dalam penggunaan dengan power yang dimilikinya untuk bisa menaikkan produksi yang dikeluarkan medianya. Selain itu bagaimana pemilik media memasang strategi pemasaran produknya melalui peluasan pangsa pasarnya. Bagaimana produk media mereka dapat terdistribusikan secara luas dan diminati oleh konsumen.  
Masalah yang ditampilkan oleh kapitalisme media tidak hanya melalui ekonomi media itu sendiri tetapi juga berdampak pada efek kerja media dan kultur masyarakat. Kapitalisme bertujuan untuk meningkatkan modal sebesar-besarnya dimana pelaku kapitalisme media menggunakan sebaik mungkin sumber yang dapat mereka gunakan. Terutama karyawan media, wartawan, hingga institusi media sendiri.
Sehingga tidak dinafikkan media yang terpengaruh oleh kapitalisme mulai condong ke arah privatisasi ekonomi penguasa media. Apalagi abila media besar mulai memonopoli pasaran hingga media-media kecil. Sehingga efek yang ditimbulkan dapat bersifat terpusat. Politik media pun dapat muncul dengan adanya monopoli tersebut. Pencitraan pemilik media pun dapat terjadi dengan memanfaatkan media-media yang dimilikinya.


SHARE THIS

0 Comments: