Minggu, 18 Maret 2018

Tetap Berharap




Dok. Internet
           

Oleh: Andi

             Pagi itu, jam menunjuk pukul delapan lebih seperempat. Melihat jam tersebut, Randi bersiap untuk berangkat ke sekolah. Tak lupa ia memakai seragam dan sepatu, karena hari itu adalah hari yang penting di sekolah, karena hari itu adalah hari pembagian rapor. Setelah melakukan ujian akhir semester, waktunya menerima rapor. Persiapan telah selesai, ia lalu menyiapkan sepedanya yang biasa mengantarnya ke sekolah. Sepeda usang, berwarna putih dengan banyak goresan akibat banyak terjatuh ke tanah berbatu di jalan menuju sekolahnya. Meski tampak usang, sepeda dari pemberian orang tuanya itu sangat ia sayangi. Dengan sepeda itulah ia berangkat, sepeda yang mengantarkan Randi menuju sekolah sejak ia berada pada kelas 5 SD. Berdoa dan salam tak lupa ia lakukan sebelum keluar dari rumahnya, yang terletak diantara persawahan dan perkebunan milik para tetangganya. 
            Hawa pagi itu terasa sejuk, meski sang surya sudah menampakkan wajah cerianya di angkasa. Dengan perasaan senang, ia mulai beranjak ke jalanan dengan sepeda usangnya. Asap dari knalpot motor di jalanan serta suara klakson mobil menghiasi perjalanan randi ke sekolah. Tak lupa ia menyapa para tetangga yang berembol ke sebuah sepeda motor yang penuh dengan sayur dan lauk.
                “Pagi. bu” ucap Randi dengan penuh senyum di wajahnya.
                “Eh, Randi” kata salah satu ibu-ibu yang ada digerombolan itu,
“Mau berangkat sekolah? Kok siang berangkatnya?” tanya ibu-ibu tetangga yang lain,
“iya bu, soalnya hari ini Cuma ambil rapor, jadi berangkat siang. Mari bu, mas sayur” Kata Randi sambil beranjak pergi ke arah sekolahnya.
Melewati persawahan yang luas disisi jalan raya yang dipenuhi padi yang hampir siap untuk dipanen, lalu melintas di perumahan yang jalannya tidak terlalu agar lebih aman berkendara dengan sepedanya. Tak terasa, mengalirnya keringat dari dahi randi menuju dagu melewati samping wajah, tetap ia kayuh sepeda itu. Di ujung perumahan tersebut, ada sebuah jalan kecil yang biasa Randi lewati untuk menuju sekolah. Ditambah turunan dan melewati jembatan diatas sungai, jalanan tersebut biasa dilalui oleh Randi. Suara burung berkicau di pagi hari yang entah milik siapa, suara angin di balik dedaunan pohon disamping sungai, dan suara aliran air sungai yang mengalir dengan tenang menjadi senandung yang merdu di telinga Randi disela-sela menghela napas karena telah mengayuh sepedanya sejauh lima kilometer dari rumahnya. Yap, jarak antara rumah Randi dan sekolahnya berkisar lima-enam kilometer, yang ditempuh dengan sepeda.
Setelah melewati Jalan pintas tersebut, ia kembali mengayuh sepedanya sekitar 500 meter dan sampailah pada sekolahnya. Dari jauh terlihat gerbang depan sekolah yang diatasnya bertuliskan “SMPN 24 MALANG”. Sesampainya didepan gerbang sekolahnya, ia disambut oleh seorang satpam yang biasa bertugas menjaga gerbang depan dan kerumunan dari orang tua murid lain yang seangkatan dengan Randi. Berjalan melewati kerumunan para orangtua demi sampai pada parkiran untuk memarkirkan sang punggawanya, membuat Randi mencucurkan keringat. Grak, suara penyangga sepeda milik Randi yang sudah usang, namun tetap tertata rapi meski jumlah sepeda tidak seperti biasa.
Sesak, panas, dan capek. Hal itu yang dirasakan oleh Randi ketika hendak menuju kelasnya, melewati lapangan basket yang penuh dengan motor dan para orang tua yang hendak mengambil rapor anaknya. Terlihat dari lapangan tersebut, ada sebuah papan di atas pintu yang bertuliskan “8 C”, ruang kelas yang selama setahun terakhir, menjadi tempat belajar Randi selama di sekolah. Kursi dan meja kayu  yang telah tertata rapi, serta beberapa hiasan di meja guru, telah nampak dari depan  tersebut. Sembari menunggu hingga pukul Sembilan lewat 30 menit ia berbincang dengan teman sekelas. Laki-laki maupun perempuan ia ajak bicara. Selain itu para orang tua juga sudah masuk satu persatu ke dalam kelas sembari menunggu wali kelas membawa rapor ke dalam kelas.
Tak lama menunggu, wali kelas pun datang sambil membawa tumpukan rapor yang hendak dibagikan. Bu Lina adalah panggilan yang biasanya di lontarkan untuk memanggil nama beliau baik itu dari kalangan guru maupun siswa. Lantas dimulai olehnya, mulai dari penjelasan bagaimana nilai itu diambil, hingga menjelaskan yang masuk rangking 10 besar. Lalu pemanggilan wali murid pun dimulai, mulai dari absen pertama hingga seterusnya. Randi dan teman-temannya pun hanya bisa menunggu di luar kelas dengan sesekali melirik kedalam lewat jendela kelas. Lalu satu persatu wali murid pun keluar membawa rapor milik anaknya, dan salah satu temannya yang merasa itu wali nya mulai menghampiri.
“Randi dan lainnya, aku duluan ya, ayahku udah keluar” Kata salah satu teman Randi yang orang tuanya meninggalkan ruangan itu pertama kali.
“Aku juga ya, itu orang tuaku juga udah mau keluar” Kata temannya yang hendak menyusul orang tuanya.
Berbagai respon dari orang tua yang menerima rapor dari teman-teman Randi. Ada yang marah, diam, senang, bangga dan lain-lain. Hal itu membuat tawa kecil di wajah Randi yang biasa disembunyikan.  Randi pun menunggu hingga orang tua yang terakhir pun keluar.
“Lha orang tua mu mana. Ran?” Kata teman Randi yang orang tuanya dipanggil terakhir.
“Biasa, mereka kerja” Balas Randi dengan tawa terpaksanya.
“Oalah, ya udah kalau begitu, aku duluan ya, sudah dipanggil sama ayahku.” Pamit temannya.
“Iya, hati-hati dijalan sob” Ucap Randi.
Tak terasa sekolah pun sudah menjadi sepi, yang tadi dipenuhi dengan orang tua dan para siswa, menjadi sepi seperti kuburan sebelah sekolahnya. Hanya terdengar suara bincang dari ruang guru. Tak lama terdengar suara bu Lina, memanggil dari  dalam ruang kelas.
“Seperti tahun lalu dan semester lalu ya Ran?” Tanya bu Lina.
“Iya bu” jawab Randi denga hiasan tawa tak bersalah di bibirnya.
“Yasudah, ini rapornya dan jajannya, Selamat ya, semester ini peringkatmu naik jadi 7 besar, tingkatkan terus ya”. Kata Bu Lina sembari menyemangatinya.
“Iya bu, Makasih banyak ya bu, saya pamit pulang.” Ucap Randi yang hendak meninggalkan ruang kelas.
“Iya, hati-hati dijalan ya”. Ucap Bu Lina.
Pertanyaan yang biasa, ketika rapor sudah dilontarkan oleh Bu Lina kepada Randi. Seperti semester lalu dan tahun lalu saat masih menjadi siswa kelas 7 di sekolah itu. Tiap semester saat rapotan, menurut Randi tidak ada yang spesial. Tidak ada amukan ataupun rasa bangga dari orang tua yang seperti dirasakan oleh teman- temannya. Kedua orangtuanya memutuskan untuk merantau keluar dari pulau Jawa untuk mencari penghidupan yang lebih baik, yang saat itu Randi masih berada di bangku kelas 5 SD. Hanya ada kakaknya yang masih bersekolah dan Randi yang ada di rumahnya, tak ada kerabat. Meski dapat menjalin komunikasi lewat telepon, namun respon orangtuanya tidak seperti yang diharapkannya. Biasa saja. Sedikit menyimpan kesedihan, kekecewaan, kemarahan yang tak dapat diluapkan menjadikan Randi seorang anak yang pendiam. Meski begitu, Randi tetap yakin bahwa dengan keputusan orangtuanya, bisa menjadikan Randi sebagai seseorang yang lebih baik dari yang lain. Dan Randi pun tetap selalu mendoakan orangtuanya agar senantiasa dijaga oleh Tuhan.


SHARE THIS

0 Comments: