Kamis, 28 Juli 2016

Mempolitisasi Diri

Ilustrasi. (Dok. Internet)
Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan

             Soe Hok Gie, baik dalam catatan ataupun di setiap pernyataannya sering sekali berpandangan bahwa politik itu ibarat lumpur. Lumpur ia artikan dengan maksud sesuatu yang tak akan pernah bisa bersih sampai kapapun. Dan orator idealis ini mengambil lumpur sebagai perumpamaan karena lumpur identik dengan sesuatu yang selalu berusaha dihindari sekaligus tak akan pernah bisa dihindari oleh siapapun. Hidup ibarat menyusuri jalan setapak di pematang sawah, sepintar apapun pada akhirnya tidak ada yang bisa terbebas dari noda (lumpur).

            Mengingat periode karirnya yang berada di era persinggungan orde lama dan orde baru, saya tidak merasa pendapat Gie adalah hal yang salah. Pada era tersebut memang sejatinya politik merupakan “barang” yang selalu coba dihindari, dan politik pula yang pada akhirnya tak bisa dihindari hingga kemudian mengotori karir hampir semua orang penting di negeri ini. Bahkan orang paling murni sekelas Mohammad Hatta yang di awal karirnya sering memisahkan diri dari panggung politik pun mengakhiri masa kegemilangannya dengan noda-noda politik.

            Namun, menurut saya di era setelah reformasi ini sudah waktunya ungkapan Gie diralat dan disempurnakan. Zaman terus bergerak, begitupun dengan peradaban dan kecenderungan hidup orang-orang yang menempatinya. Realita-realita dan dinamika bangsa di abad ke-21 ini sudah berbeda dengan apa yang ada di zaman semasa Gie masih  hidup.

            Jika kita amati, belakangan politik bukan lagi sesuatu yang berusaha sebisa mungkin dihindari oleh kebanyakan orang. Justru sebaliknya, kini politik semakin digemari oleh sebagian besar penghuni Indonesia. Masyarakat kini semakin antusias berlomba-lomba untuk terjun ke kancah politik. Yang memiliki latar belakang kurang memadai pun seolah tak mau tahu diri. Dari mulai artis, penyanyi dangdut, hingga juragan daging, satu per satu turun ke arena politik.

            Efeknya tentu bisa ditebak. Panggung politik seolah semakin mendramatisasi diri. Banyak hal-hal yang sejatinya sepele justru digodok secara berlebihan hingga berujung pada permasalahan baru yang sukar dicari jalan keluarnya. Pada kasus pencatutan nama Jokowi misalnya, ketika kemudian kasus ini justru bergeser ke jalur politisasi hingga mengakibatkan terjadinya perombakakn komposisi Makhkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sejatinya tak perlu dilakukan. Atau yang masih hangat adalah pada kasus vaksin palsu, yang justru terhambat jalannya menuju penegakan hukum menyusul politisasi berlebihan oleh para petinggi negara.

            Memang tak ada ketentuan bahwa setiap orang yang ingin terjun ke dunia politik terutama di pemerintahan harus berasal dari latar belakang searah dengan bidang yang ingin didudukinya. Yang saya tekanakan dalam pembahasan ini adalah “kompetensi diri”. Masyarakat seharusnya terlebih dahulu memahami kompetensi dirinya sebelum memutuskan untuk terjun ke kancah politik.

             Bagaimanapun politik di pemerintahan negara tak seremeh politik di sekolah ataupun kampus yang siapapun bebas masuk dan mengacaukan segalanya. Nasib dan masa depan bangsa ini perlu dijaga dengan baik. Jika negara adalah perahu, maka para pejabat dan pelaku panggung politik adalah nahkoda dan para awak kapal di dalamnya. Satu saja dari mereka melalaikan tugasnya maka dipastikan akan muncul ancaman bagi seluruh penumpang kapal.

            Kembali lagi ke maksud awal tulisan ini. Berkaca dari realita-realita di atas, menurut saya politik bukan lagi lumpur kotor seperti halnya yang Gie bilang. Kini politik adalah permata. Permata yang setiap orang ingin memilikinya. Asal punya uang, siapapun boleh memiliki dan mengeksploitasinya.

SHARE THIS

0 Comments: