Jumat, 01 Mei 2015

Lokananta, Berjuang di Tengah Perubahan Masa

Dok.VISI/Astini
Ada banyak hal yang terbersit dalam pikiran seseorang saat mendengar kota ‘Solo’ disebut. Beberapa orang  akan berpikir tentang batik, beberapa langsung terpikirkan sang Presiden, Joko Widodo, ada juga yang kemudian mengingat Pasar Klewer. Namun, mungkin hanya ada segelintir orang yang berpikir tentang Lokananta ketika mendengar nama ‘Solo’ disebutkan. Lokananta ternyata kurang moncer dibanding dengan ikon-ikon kota Solo yang lain. Masih banyak wisatawan dari luar Solo dan bahkan orang Solo sendiri yang tak tahu keberadaan Lokananta.
Terletak di Jl. Jend. A. Yani No. 379 Solo, bangunan yang merupakan studio rekaman pertama Indonesia yang juga pernah memproduksi piringan hitam itu didirikan sejak 29 Oktober 1956. Tempat ini menyimpan master asli rekaman berusia puluhan tahun dengan total koleksi piringan hitam dan kaset pita yang mencapai ribuan. “Kami punya rekaman Asian Games pertama Part 1, rekaman asli Indonesia Raja 3 stanza, dan rekaman dari banyak penyanyi legendaris seperti Waldjinah, Titiek Puspa, Bing Slamet, Lilis Suryani, dan banyak lagi,” tutur Bimo Prasetyojati (24), Bagian Produksi Lokananta, saat ditanyai Senin (30/03/2015).
Namun sayang, kucuran dana untuk Lokananta ternyata tak sebanyak jumlah koleksinya. Lokananta yang sebenarnya sangat berpotensi sebagai ikon wisata Solo itu ternyata kurang mendapat perhatian dari pemerintah. “Untuk dana, kami mendapat bantuan untuk pengelolaan dari Perum Percetakan Negara RI (PNRI) selaku instansi yang mengambil alih Lokananta sejak lepas dari Departemen Penerangan. Selan itu kami juga mendapatkan dana dari studio rekaman yang per enam jamnya kami patok harga 1,5 juta rupiah. Selain itu, kami juga melakukan penjualan kaset-kaset pita dan CD ke toko-toko kaset di wilayah Solo, Semarang, dan Surabaya. Biasanya kaset yang paling banyak dipesan adalah gendhing-gendhing Jawa dan Waldjinah,” lanjut Bimo.
Kurangnya dukungan finansial kemudian berimbas pada terbengkalainya koleksi piringan hitam di Lokananta. Pernah Lokananta mencetak piringan hitam tapi kemudian belum bisa mencetak cover hingga akhirnya banyak piringan hitam yang berjamur, terbaret-baret, dan rusak. Padahal piringan hitam yang terbaret sudah tidak bisa lagi diputar. Hingga kemudian banyak kalangan yang menyumbang cover, salah satunya adalah Galeri Malang Bernyanyi. Tak hanya itu, dana juga menjadi kendala bagi Lokananta untuk mengupdate peralatan mereka dengan teknologi yang lebih baru.



Masalah lainnya yang juga krusial selain masalah dana adalah masalah eksistensi Lokananta di masyarakat. Sebagai studio rekaman pertama di Indonesia, Lokananta memegang peran penting dalam melahirkan musisi-musisi legendaris Indonesia. Satu sejarah gemilang yang kemudian lapuk dimakan zaman. Banyak hal diupayakan, mulai dari upaya menjadikan Lokananta sebagai Museum Musik yang ternyata gagal, hingga upaya dari sedert musisi Ibukota yang diantaranya adalah Glenn Fredly dan Naif, untuk mempopulerkan kembali Lokananta dengan acara bertajuk #SaveLokananta pada November 2012.
Penjagaan eksistensi ini juga dilakukan pihak Lokananta dengan merekam ulang dan mengganti media piringan hitam ke kaset pita. Dari kaset pita kemudian menjadi kepingan CD dan zaman yang terus berubah membuat Lokananta mentransfer semua koleksinya dalam bentuk digital. Semua koleksi dari piringan hitam hingga digital yang masih ada di Lokananta itu dilakukan demi mempertahankan warisan era terdahulu ke generasi muda sekarang. Tuti Yuniarti (20) salah satu pengunjung di Lokananta mengatakan bahwa kunjungannya kali ini baru yang pertama kali. “Saya sering lewat jalan di depan. Tapi yang menarik perhatian ya cuma The Sunan Hotel. Datang kesini juga karena rekomendasi teman dan baru nyadar kalau ternyata di seberang The Sunan Hotel ada Lokananta yang ternyata juga adalah studio rekaman pertama di Indonesia,” ungkapnya dengan senyum sopan.

Ketidaktahuan masyarakat sekitar dan wisatawan luar kota mengenai Lokananta ternyata tak menjadikan pihak Lokananta patah arang. “Selama ini banyak pemberitaan sedih tentang Lokananta. Bahwa Lokananta adalah studio rekaman pertama di Indonesia yang bersejarah tapi mulai ditinggalkan. Kami tidak memungkiri itu, tapi kami ingin bangkit untuk bisa lebih eksis lagi. Kami ingin agar orang-orang tidak lagi membaca berita sedih tentang Lokananta tapi berita baik. Makanya sekarang kami secara bertahap mulai melakukan pembenahan,” pungkas Bimo dengan senyum yang masih tersungging hingga akhir wawancara. Memang tak mudah menjaga suatu warisan budaya, apalagi ditengah zaman yang terus maju dan peradaban modern yang mulai memberikan jarak antara generasi baru dengan yang lama. Seperti halnya menjaga Lokananta agar terus eksis tentunya bukan perkara mudah, tapi dengan menjaga setidaknya Lokananta akan selalu menjadi bagian penting dalam sejarah musik Indonesia. (Astini)

SHARE THIS

0 Comments: