Kamis, 10 April 2008

Spesialisasi Menuntut Kompetensi

Program mata kuliah spesialisasi di Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sebalas Maret (UNS) Surakarta menuntut kompetensi dosen dan mahasiswa dalam menguasai materi spesialisasi. Namun, kurangnya dosen praktisi dan kekurangan dalam hal pengevaluasian tugas dikeluhkan oleh beberapa mahasiswa.

Program mata kuliah spesialisasi di Jurusan Ilmu Komunikasi sudah berlangsung sejak tahun 2001. Seperti dijelaskan oleh mantan Ketua Jurusan (Kajur) Ilmu Komunikasi Dra. Hj. Sofiah, M.Si, “Sebelum tahun 2001 kurikulum yang dipakai masih belum fokus dan tidak ada pembagian spesialisasi.” Menurut Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2), kelemahan kurikulum tersebut materi yang diterima mahasiswa masih secara umum saja.


Karena ada beberapa kelemahan di kurikulum yang terdahulu maka diadakan pembaharuan kurikulum yaitu memfokuskan mata kuliah dengan program spesialisasi. ”Mengingat konsentrasi Jurusan Ilmu Komunikasi adalah komunikasi massa, maka mahasiswa diharapkan memiliki fokus kompetensi untuk menguasai tiga hal yaitu audio, visual, dan audio visual,” tutur Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Video Drs. Ariyanto Budi S., M.Si. 

Untuk itu dipilih mata kuliah spesialisasi yang fokus pada tiga hal tersebut. Aryanto menambahkan, mata kuliah spesialisasi tersebut yaitu Radio yang mewakili audio, Jurnalistik dan Desain grafis (desgraf) yang mewakili visual, serta Public Relation (PR)/periklanan dan Video yang mewakili audio visual. 

Kompetensi Dosen Spesialisasi
Berdasarkan data di Buku Pedoman FISIP 2006/2007, klasifikasi tingkat pendidikan ilmu komunikasi adalah Strata 1 (S1) delapan orang, Strata 2 (S2) 22 orang, dan Stata 3 (S3) tiga orang. Dari 23 dosen yang dimiliki Jurusan Ilmu Komunikasi, sekitar 18 dosen mengampu mata kuliah spesialisasi. “Untuk dosen mata kuliah spesialisasi, kita memakai dosen spesialisasi intern jurusan, yang telah difasilitasi dari pihak jurusan sebagai bekal mengajar,” ungkap Sofiah. Dia menjelaskan bentuk pembekalan tersebut misalnya dikursuskan di Pusat Pengembangan dan Pelatihan (Puskat) audio visual, diikutkan trainning, atau diikutkan seminar-seminar. 

Sedangkan pembagian tim dosen spesialisasi Kajur Ilmu Komunikasi Prahastiwi mengungkapkan mereka dipilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki dosen dalam teori dan terapan. Dosen Pengampu mata kuliah spesialisasi Jurnalistik Drs. Sri Hartjarjo Ph.D menambahkan, dalam proses rekomendasi dosen spesialisasi tidak terdapat proses pengangkatan. “Semua sudah terplotkan. Siapa dosen yang sering mengikuti training, punya track record, atau suka menulis di koran, itu yang diutamakan,” tambah Hartjarjo saat diwawancarai di Lobi Depan FISIP, Jumat (18/01). Selain itu latar belakang dosen tersebut juga mempengaruhi, salah satu contohnya penempatan Dra. Sri Urip, M.Si sebagai dosen radio karena ia pernah menjadi penyiar radio.

Namun ada beberapa mahasiswa yang menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, khususnya dalam praktek. Seperti diungkapkan oleh mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi angkatan 2006 Dian Kukuh Purnandi, “Dulu Himpunan Mahasiswa Komunikasi (Himakom) pernah mengadakan polling. Dan terungkap bahwa mahasiswa menilai kompetensi dosen spesialisasi masih kurang, karena proporsional prosentase teori dan praktek yang kurang.”

Menaggapi hal itu Prahastiwi menjelaskan, untuk mengimbangi kompetensi dosen intern yang kurang dalam masalah praktek, pihak jurusan juga mendatangkan dosen tamu dari luar sebagai praktisi. Hartjarjo menambahkan, pihak jurusan tak jarang mengambil dosen tamu praktisi seperti Mulyanto Utomo yang aktif sebagai Pemimpin Redaksi Solopos.

Mahasiswa juga setuju apabila dosen spesialisasi lebih banyak yang telah berkecimpung dalam dunia media. Seperti yang diungkapkan oleh mahasiswa Komunikasi angkatan 2004 Bagus Sandi Tratama, “Dosen yang akademisi secara teoritis mampu dalam hal etika dan filsafat media. Tetapi, dosen praktisi aktif akan lebih mengerti kesulitan yang ada pada dunia kerja.” Namun kurang intensnya dosen praktisi tersebut untuk mengajar di kelas juga menjadi kendala. Seperti yang diungkapkan mahasiswa Komunikasi angkatan 2005 Eko Setiawan, ”Meskipun terdapat beberapa dosen praktisi aktif, tetapi mereka tidak intens dalam memberikan kuliah.” Harapan Eko, dengan adanya dosen praktisi yang lebih berkompeten, mahasiswa dapat mengetahui perkembangan terbaru di dunia kerja yang sebenarnya.

Menanggapi keluhan mahasiswa mengenai kurangnya dosen praktisi, Sofiah mengakui terdapat kendala dalam pencarian praktisi aktif sebagai dosen tamu. “Dosen tamu tidak bisa berpartisipasi aktif dalam mengajar, karena mereka juga memiliki job lain. Padahal, spesialisasi sendiri memerlukan loyalitas dan dedikasi dosen yang tinggi dalam mengajar,” jelas Sofiah. Selain itu, dari pihak jurusan sendiri hanya bisa memberikan kompensasi yang sangat sedikit dan tidak memadai kepada dosen tamu.

“Permasalahan apakah dosen spesialisasi praktisi maupun bukan praktisi bukanlah masalah besar, asal dosen tersebut benar-benar menguasai bidang yang diajarkan,” tutur mahasiswa Ilmu Komunikasi 2002 Liestria Permana. Pendapat senada juga diungkapkan Harstjarjo, “Dengan adanya dosen praktisi, belum menjamin kualitas belajar mengajar,” tegas Hastjarjo yang pernah magang di Pikiran Rakyat dan Bernas. Sofiah menambahkan “Insyaallah dengan basic spesialisasi yang diberikan di kampus, mahasiswa sudah bisa menyesuaikan dengan dunia kerja,” tandas Sofiah saat ditemui di ruang kerjanya Selasa (19/2).

Pembelajaran dan Pengevaluasian
Untuk proporsi pembelajaran di Jurusan Ilmu Komunikasi sekarang ditingkatkan menjadi 60% teori dan 40% praktek, dibandingkan dulu yang 70% teori dan sisanya praktek. ”Hal ini sudah ideal, karena jika praktek lebih tinggi lagi, sama saja dengan Diploma,” ujar Sofiah.

Dengan proporsi seperti itu, sistem pembelajaran yang dilakukan tiap dosen mata kuliah spesialisasi berbeda-beda. Liestria selaku Asisten Dosen Desgraf menuturkan metode yang diterapkan dalam mata kuliah Desain Grafis seperti klien dan desainer. ”Dosen memposisikan dirinya sebagai klien dan mahasiswa sebagai pihak yang harus memuaskan desain pesanan klien. Jadi, diposisikan seperti dalam dunia kerja yang sesungguhnya.” ungkapnya.

Dalam penyampaian materi Sri Urip selaku dosen radio cenderung menghidupkan kondisi pembelajaran dengan sistem sharing. ”Dimana dalam sharing tersebut metode tanya jawab lebih dikondusifkan,” tambahnya.

Dalam hal praktek, mata kuliah seperti radio, video dan juranlistik menggunakan metode learning by doing. Metode ini menekankan pada evaluasi untuk mengetahui kekurangan yang dilakukan mahasiswa. Namun menurut Sandi proses pengevaluasian tugas oleh beberapa dosen mata kuliah spesialisasi dirasa kurang maksimal. “Kita sudah membuat tugas berat-berat, tetapi pengevaluasian saya rasa kurang efektif,” tambahnya. Keluhan yang sama diungkapkan Eko pada mata kuliah jurnalistik 1, ”Sepertinya dosen kualahan mengevaluasi tugas mahasiswa yang terlalu banyak di Jurnalistik Media Cetak (JMC) Online.”

Pernyataan lain datang dari Ekanada Shofa Al-Khajar, Alumni Jurusan Ilmu Komunikasi, “Mungkin yang perlu diperbaiki adalah tingkat apresiasi dan evaluasi hasil karya mahasiswa secara komprehensif.” Eka menambahkan, untuk itu perlu adanya formula pengevaluasian yang efektif dan efisien baik dariu dosen dan mahasiswa itu sendiri.
Dari pihak dosen juga menginginkan mahasiswa juga mencari ilmu diluar perkuliahan salah satunya membaca buku referensi. Seperti yang diungkapkan Prahastiwi, ”Tapi mahasiswa terkadang enggan membaca buku referensi terutama yang berbahasa Inggris, padahal buku di perpustakaan menunjang perkuliahan.” Selain itu mengingat intensitas tatap muka di kelas yang terbatas, maka mahasiswa harus lebih aktif di dalam maupun di luar perkuliahan. “Misalnya mahasiswa berkonsultasi dengan dosen spesialisasi di luar kelas,” saran Bagus Sandi. (Imas, Putri, Bhimo, Nosi)

SHARE THIS

0 Comments: