(Sampul buku Satine oleh Ika Natassa / Dok. Auerella)
Judul : Satine
Tahun terbit : 2024
Penulis : Ika Natassa
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Jumlah halaman: 336 halaman
Lpmvisi.com, Solo — Novel Satine karya Ika Natassa merupakan salah satu karya terbaru dari penulis yang dikenal dengan gaya penulisan lugas, emosional, dan dekat dengan realitas kehidupan urban kelas menengah ini. Setelah sukses dengan novel-novelnya seperti Critical Eleven dan The Architecture of Love, Ika kembali menghadirkan kisah perempuan karier yang tampak memiliki segalanya, tetapi menyimpan kehampaan di balik kesuksesannya.
Melalui tokoh utama bernama Satine Muchlis, seorang direktur bank muda berusia akhir 30-an, novel ini menggali tema kesepian, trauma masa lalu, dan pencarian makna kebahagiaan di usia dewasa. Dengan gaya penceritaan dua sudut pandang (Satine dan Ash) serta struktur waktu yang maju-mundur, Ika mengajak pembaca untuk menyelami dinamika batin dua jiwa yang sama-sama terluka tetapi berusaha saling menemukan.
Novel ini tidak hanya menawarkan kisah romansa, tetapi juga refleksi mendalam tentang harga diri, relasi dengan orang tua, dan pilihan hidup perempuan modern. Novel ini mengangkat sebuah tema yang terasa relevan bagi pembaca usia 30-an yang tengah menimbang keseimbangan antara karier, cinta, dan kebahagiaan pribadi.
Satine Muchlis adalah sosok perempuan sukses: cerdas, mandiri, dan kariernya melesat pesat hingga menjadi direktur termuda di bank tempatnya bekerja. Namun di balik pencapaian itu, ia menyimpan kehampaan yang tak pernah bisa diakui. Hidupnya yang tampak tertata ternyata rapuh di dalam. Ia bekerja tanpa henti untuk membuktikan diri pada ibunya, yang disapa Maman, yang seolah tak pernah puas dengan apapun yang Satine capai.
Dalam salah satu momen terendahnya, Satine mendaftar ke sebuah agensi kencan bernama BeSpoke. Hal ini mempertemukannya dengan Ash Risjad, seorang konsultan yang sama-sama kesepian. Pertemuan mereka diawali dengan kesepakatan sederhana: Ash butuh teman bicara, Satine butuh proper date. Hubungan mereka diatur dalam kontrak tanpa ikatan emosional atau populer dikenal dengan istilah no strings attached. Namun seiring waktu, aturan-aturan itu perlahan luntur oleh perasaan yang tumbuh di antara keduanya.
Ash memperkenalkan Satine pada dunia seni dan lukisan, membawanya mengunjungi galeri dan berbincang tentang makna di balik setiap karya. Satine menemukan kehangatan baru, sementara Ash perlahan belajar menata kembali dirinya yang terbelenggu trauma masa lalu akibat ayah yang kasar. Keduanya saling menjadi tempat berlabuh, meski sama-sama tahu luka dalam diri mereka belum sembuh.
Konflik muncul ketika Satine mengalami stroke ringan akibat tekanan kerja berlebih, sementara Ash kehilangan pekerjaan setelah terlibat pertikaian fisik demi membela Satine. Keadaan itu memaksa mereka berjarak. Di tengah kehilangan dan kebisuan, keduanya dipaksa untuk menata ulang prioritas dan menyembuhkan diri masing-masing sebelum berani mencintai kembali.
Hubungan Satine dengan ibunya yang dingin, serta trauma Ash terhadap sosok ayahnya, menjadi inti dari perjalanan emosional novel ini. Ika Natassa menghadirkan keduanya sebagai dua pribadi yang harus berdamai dengan masa lalu agar bisa menatap masa depan bersama.
Ika Natassa dalam Satine tampak ingin melangkah lebih jauh. Ia tidak lagi hanya menulis kisah cinta antara dua insan, melainkan kisah pencarian makna hidup di tengah kesepian dan kesempurnaan yang semu. Novel ini menelusuri perasaan kosong yang sering dialami oleh generasi 30-an ke atas, mereka yang secara karier mapan, tetapi secara emosional justru kehilangan arah.
Tokoh utamanya, Satine Muchlis, menjadi representasi nyata perempuan modern yang “punya segalanya kecuali ketenangan batin.” Di sisi lain, Ash Risjad, laki-laki dengan trauma masa kecil, menjadi sosok yang sama rapuhnya. Pertemuan mereka melalui agensi kencan menjadi titik balik, bukan karena cinta pada pandangan pertama, tetapi karena dua jiwa yang sama-sama mencari tempat untuk pulang.
Ika Natassa tetap memancarkan kekuatannya dalam menulis dialog tajam, narasi introspektif, dan atmosfer urban yang kuat. Ia piawai membuat pembaca tenggelam dalam monolog batin Satine, yang terasa sangat manusiawi dan penuh logika, tapi juga dipenuhi luka lama yang tak selesai. Gaya bahasanya tetap khas: elegan, dengan campuran bahasa Inggris yang terasa natural bagi karakter-karakternya.
Struktur alur maju-mundur (non-linear) juga menjadi ciri khas Ika yang tetap efektif di sini. Pembaca diajak melintasi waktu dari masa kini yang sunyi, menuju masa lalu penuh konflik antara Satine dan ibunya, atau masa-masa ketika Ash masih berjuang melawan trauma ayahnya. Teknik ini memberi kedalaman emosional, membuat kisah mereka terasa lebih berlapis dan reflektif.
Namun, di balik kekuatan tersebut, Satine juga memiliki beberapa kelemahan yang cukup mencolok, terutama dari segi ritme dan eksekusi emosional. Paruh pertama novel berjalan lambat dan cenderung repetitif, dengan monolog yang terlalu panjang dan refleksi filosofis yang kadang berputar di tempat. Akibatnya, intensitas emosional yang seharusnya meningkat justru menurun di beberapa bagian.
Selain itu, meskipun Ika menggunakan dua sudut pandang. Satine dengan gaya “aku-kamu” dan Ash dengan “gue-lo”, perbedaan nuansa naratif di antara keduanya belum terasa kuat. Suara Ash terkadang tidak cukup khas untuk menegaskan perbedaan karakter, bahkan beberapa pembaca menilai bahwa jatuh cintanya Ash terasa seperti didikte alur, bukan tumbuh secara organik.
Alur maju-mundur yang menjadi kekuatan di awal, pada titik tertentu justru membuat pembaca kehilangan ritme. Transisi antar waktu dan suasana kadang terlalu cepat, menyebabkan emosi yang seharusnya mengendap menjadi terpotong. Di sisi lain, beberapa konflik besar, seperti trauma Ash, penyakit Satine, dan rekonsiliasi dengan Maman yang terasa diselesaikan dengan terburu-buru di bagian akhir. Penutupnya manis, tapi tidak sepenuhnya memberikan katarsis setelah perjalanan panjang yang penuh gejolak.
Secara keseluruhan, Satine adalah sebuah novel yang menawarkan perjalanan batin yang jujur dan emosional tentang arti kehilangan, pencarian jati diri, dan keberanian untuk memulai kembali setelah hidup terasa hancur. Ika Natassa berhasil membawa pembaca untuk masuk ke dalam ruang sunyi seorang perempuan karier yang tampak sempurna di luar, namun rapuh di dalam. Melalui karakter Satine dan Ash, ia menyoroti sisi manusiawi dari cinta dewasa, cinta yang tidak hanya berbicara tentang siapa yang kita cintai, tetapi juga bagaimana kita belajar mencintai diri sendiri.
Buku ini cocok dibaca oleh pembaca dewasa muda hingga dewasa yang menyukai cerita dengan nuansa introspektif dan reflektif, bukan sekadar kisah romantis yang manis dan ringan. Bahasa yang digunakan mudah dicerna tetapi tetap elegan, dengan sisipan istilah modern yang membuatnya terasa relevan dengan kehidupan urban masa kini. Meski terdapat beberapa bagian yang terasa lambat dan repetitif, pesan moral serta kedalaman emosi yang dihadirkan membuat Satine tetap layak diapresiasi. Novel ini memberikan pengalaman membaca yang menenangkan sekaligus menggugah, terutama bagi siapa pun yang pernah berada di titik kehilangan arah dan berusaha menemukan kembali makna hidup.
Dengan gaya penceritaan yang matang, puitis, dan berani mengulik sisi gelap jiwa manusia, Satine menegaskan posisi Ika Natassa bukan hanya sebagai penulis kisah cinta, melainkan sebagai pengisah perjalanan emosional perempuan modern yang kompleks dan penuh lapisan makna. (Auerella)
0 Komentar