(Ilustrasi Nasi Goreng / Dok. Unsplash) |
Dari “Global Thai” hingga “Gastrodiplomasi” Amerika Serikat: Studi Kasus yang Sukses
Berbagai negara telah berhasil menggunakan diplomasi kuliner untuk memperkuat posisi mereka di panggung global. Salah satu contoh paling ikonik adalah program “Global Thai” yang diluncurkan oleh pemerintah Thailand pada awal tahun 2000-an. Inisiatif ini bukan sekadar tren sesaat, melainkan strategi yang direncanakan dengan matang. Pemerintah Thailand secara proaktif mendukung pembukaan restoran Thailand di seluruh dunia dengan memberikan pinjaman, pelatihan, dan bantuan promosi. Tujuannya sederhana namun cerdas. Jika orang di seluruh dunia menikmati masakan Thailand, mereka akan lebih tertarik untuk mengunjungi Thailand dan menjelajahi budayanya lebih lanjut. Akibatnya, restoran Thailand kini mudah ditemukan di hampir setiap kota besar, dan popularitasnya telah menjadi pilar utama industri pariwisata negara tersebut. Menurut studi yang dilakukan oleh Universitas Chulalongkorn (Connell, 2018), restoran Thailand di luar negeri berfungsi sebagai “duta kecil” yang efektif dalam mempromosikan budaya dan ekonomi negara.
Bukan hanya Thailand, negara adidaya seperti Amerika Serikat juga menggunakan pendekatan serupa. Pada tahun 2012, Departemen Luar Negeri Amerika Serikat meluncurkan program “Gastrodiplomacy” yang dipimpin oleh mantan Menteri Luar Negeri Hillary Clinton. Program ini melibatkan koki Amerika terkenal yang berkeliling dunia, memperkenalkan masakan Amerika, dan berinteraksi dengan komunitas lokal. Tujuannya adalah untuk menghilangkan stereotip tentang Amerika Serikat dan menampilkan keragaman budaya kuliner negaranya. Di sisi lain, fenomena budaya pop seperti demam K-Pop dan drama Korea telah menjadi pendorong utama diplomasi kuliner Korea Selatan. Bersamaan dengan popularitas global “Hallyu” atau Gelombang Korea, pemerintah Korea Selatan secara aktif mempromosikan kimchi, tteokbokki, dan hidangan Korea lainnya melalui festival makanan internasional dan program pertukaran chef. Upaya ini tidak hanya meningkatkan ekspor produk makanan mereka tetapi juga memperkuat citra Korea Selatan sebagai negara modern dan dinamis (Kim, 2011). Fenomena ini menunjukkan bagaimana budaya pop dan kuliner dapat saling melengkapi untuk menciptakan “soft power” yang kuat, mampu mempengaruhi persepsi dan preferensi global.
Potensi Kuliner Indonesia yang Tak Terbatas di Panggung Dunia
Dalam persaingan diplomasi kuliner global, Indonesia memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya dieksplorasi. Dengan kekayaan kuliner yang luar biasa, mulai dari rendang yang dinobatkan sebagai makanan terenak di dunia oleh CNN (CNN Travel, 2017), hingga nasi goreng yang terkenal di seluruh dunia, Indonesia dapat memanfaatkan aset-aset ini sebagai senjata diplomasi. Kita memiliki modal yang sangat kuat. Misalnya, program “Indonesia Spice Up the World”, yang bertujuan untuk meningkatkan ekspor rempah-rempah dan produk makanan olahan Indonesia ke pasar global merupakan langkah yang tepat. Program ini berupaya meningkatkan nilai ekspor rempah-rempah dan produk makanan olahan menjadi $2 miliar dan membuka 4.000 restoran Indonesia di luar negeri hingga tahun 2024 (Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, 2023).
Namun, untuk berhasil diperlukan upaya yang lebih terstruktur dan masif. Dukungan tidak hanya harus datang dari pemerintah, tetapi juga dari sektor swasta dan diaspora Indonesia di seluruh dunia. Pentingnya standarisasi kualitas, sertifikasi halal internasional, dan branding yang kuat sangat krusial untuk membuat makanan Indonesia lebih mudah diterima di pasar global. Koki dan pengusaha kuliner Indonesia yang membuka restoran di luar negeri dapat menjadi garda terdepan dalam upaya diplomatik ini. Mereka adalah duta budaya yang memperkenalkan cita rasa dan cerita Indonesia ke dunia, satu piring demi satu piring. Dengan demikian, setiap suapan masakan Indonesia dapat menjadi jembatan yang menghubungkan budaya dan hati, memperkuat pemahaman, dan mempererat hubungan internasional. (Natya)
0 Komentar