POSTINGAN TERKINI

6/recent/LPM VISI

Harapan Agar Tiada Sirna, Kontroversi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

(Pernyataan Fadli Zon atas revisi buku sejarah dalam 'Real Talk with Uni Lubis' di saluran YouTube IDN TIMES pada (10/6) / Dok. Youtube)

 Lpmvisi.com, Solo – Dilansir dari Tempo (22/5), Pemerintah yakni Kementerian Kebudayaan menggagas proyek penulisan ulang sejarah Tanah Air dengan melibatkan 113 sejarawan dari perguruan tinggi seluruh Nusantara. Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan mengatakan penulisan akan dilakukan dalam 10 jilid mencakup seluruh periode sejarah sejak masa prasejarah hingga era Presiden Joko Widodo. Tim Penulis terdiri dari akademisi, guru besar, doktor, pakar sejarah, antropologi, arkeologi, hingga arsitek berdasarkan periode keahlian masing-masing. Hal ini dilakukan agar penulisan sejarah lebih objektif dan berbasis perspektif Indonesia, bukan narasi kolonial yang mendominasi. Alasan utama Kementerian Kebudayaan memperbarui sejarah Indonesia yakni penemuan terbaru dari para ahli dan arkeolog yang berfokus pada masa prasejarah.

Namun, penulisan ulang sejarah Indonesia ramai dibicarakan publik setelah adanya kontroversi atas pernyataan Fadli Zon yang menyebutkan peristiwa pemerkosaan massal terhadap perempuan pada kerusuhan Mei 1998 merupakan rumor. Faktanya, Tim Gabungan Pencarian Fakta yang dibentuk Presiden Habibie mengakui secara resmi bahwa terdapat 85 kasus kekerasan seksual, termasuk 52 kasus pemerkosaan dengan sebagian besar korban perempuan Tionghoa. “Internasional telah mengakui adanya kekerasan pada perempuan Tionghoa, namun negara berupaya menghapuskannya. Ini justru menjelekkan Indonesia dan menyesatkan identitas bangsa,” ucap Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Sulistyowati Irianto. Aktivis perempuan, Eva Sundari, dalam diskusi Koalisi Perempuan Indonesia di Jakarta pada Selasa (16/5), menilai penulisan ulang sejarah mengabaikan perspektif korban perempuan dan lebih menonjolkan narasi pelaku sehingga dikhawatirkan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Pernyataan yang disampaikan oleh pejabat publik dengan menyangkal fakta berpotensi memperkuat budaya pengingkaran terhadap kekerasan perempuan. Hilangnya pengakuan atas suara korban yang dibungkam dalam sejarah bangsa tidak mencerminkan keadilan dan kemanusiaan. Negara enggan melindungi penyebaran trauma dan ancaman pada korban serta membiarkan budaya patriarki dan impunitas merajalela. Negara menciptakan ketakutan sistemik agar korban memilih bungkam dengan penulisan ulang sejarah yang menghilangkan pahitnya fakta peristiwa masa lalu negara. Negara yang menghapus berbagai peristiwa krusial masa lampau merupakan gambaran pemutihan dan pengabaian tanggung jawab pemerintah atas penegakan hak asasi manusia. (Yunita)

Posting Komentar

0 Komentar