Minggu, 17 Desember 2023

Marginalisasi Anak Berkebutuhan Khusus di Solo

(Ilustrasi/ Dok. GTK Dikmendiksus Kemdikbud)


    
Anak berkebutuhan khusus di Kota Solo menghadapi berbagai tantangan dalam mengakses pendidikan, perawatan kesehatan, dan dukungan sosial dengan berbagai bentuk marginalisasi terhadap anak berkebutuhan khusus yang seharusnya tidak dilakukan dan dinormalisasikan. Penting bagi pemerintah serta masyarakat bekerja sama guna mengurangi marginalisasi anak berkebutuhan khusus di Kota Solo. Apalagi Kota Solo dijuluki sebagai Kota Layak Anak. Maka, dibutuhkan peran dari pihak Pemerintah dan LSM untuk bekerja sama dalam menghadapi persoalan anak berkebutuhan khusus lewat kebijakan dan programnya.

    Langkah yang diberikan Dinas Sosial secara rutin yaitu seminar edukasi di lingkungan pendidikan mulai dari pendidikan usia dini mengenai apa, bentuk, akibat, sanksi hukum dan pencegahan tindakan bullying . Selain itu terdapat program rutin setiap bulannya salah satunya permakanan disabilitas untuk pertumbuhan gizi anak berkebutuhan khusus. Lalu DP3AP2KB Kota Solo juga berperan dalam memberdayakan anak bersama dengan FAS (Forum Anak Surakarta) untuk mencegah marginalisasi anak berkebutuhan khusus.  Mereka juga mengadakan pentas seni dan program pusat pembelajaran keluarga untuk memberikan pengajaran terhadap pola asuh anak berkebutuhan khusus. Dinas Pendidikan Kota Solo turut berpartisipasi dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas. Pada Peraturan Walikota Kota Surakarta No 25-A Tahun 2014 tentang penyelenggaraan pendidikan inklusi menaungi PAUD, TK, SD, dan SMP. Sekolah inklusi Kota Surakarta terdiri dari 32 PAUD, 19 SD, dan 10 SMP. 

Dinas Pendidikan Kota Surakarta juga menjalankan tugas sesuai Peraturan Walikota, dimana perlu asesmen bagi anak berkebutuhan khusus apabila ingin menuju sekolah inklusi. Peran Dinas Pendidikan juga memonitoring sekolah inklusi dan SLB. Dinas Pendidikan bersama PLDPI pun memfasilitasi pengajaran guru pendamping khusus yang akan dipekerjakan di sekolah inklusi negeri maupun swasta.  Terdapat total 167 GPK dimana 62 mendampingi di PAUD, 91 di SD, dan 14 di SMP. PLDPI sendiri berkaitan dengan teknis operasional dan penunjang serta urusan pemerintahan yang bersifat pelaksanaan di wilayah kerjanya dalam memberikan layanan anak penyandang disabilitas guna mendukung pendidikan inklusif usia dini, pendidikan dasar, dan non formal oleh Kepala Dinas Pendidikan. 

Adapun LSM PPRBM yang bergerak pada rehabilitas penyandang difabel yang bersumberdaya masyarakat. Dalam pelaksanaannya PPRBM bersama Dinas Pendidikan berupaya meningkatkan kualitas SDM guru pendamping khusus. Dalam pelaksanaanya PPRBM juga mengajak Japan International Cooperation Agency (JICA) dan Children Empowerment Resource Center (CERC) untuk peningkatan kompetensi dengan menghadirkan tenaga pendidik dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif bagi Anak Berkebutuhan Khusus.

Dari berbagai program yang dicanangkan oleh pemerintah dalam penanganan anak berkebutuhan khusus, ternyata kurang sesuai dengan kondisi senyatanya. Terdapat pula ketidaksesuaian terhadap program yang dicanangkan pemerintah untuk tidak membedakan anak berkebutuhan khusus. Hal ini dilihat dari adanya pihak pemerintah yaitu dinas yang bekerja tidak sesuai hingga tidak dapat dipercaya oleh masyarakat. Selain itu, program dinilai tidak maksimal dan kurang sosialisasi. Selain itu LSM PPRBM dirasa kurang mengakomodasi kebutuhan penyandang difabel karena jangkauan yang kurang efektif karena dalam melakukan program kurang dinamis. Hal itu dikarenakan program hanya bersama dengan Dinas Pendidikan lewat program peningkatan kualitas guru pendamping khusus yang bekerja sama dengan Jepang. 

Bentuk marginalisasi juga masih sering ditemukan di sekolah sendiri, yang seharusnya menjadi tempat belajar justru terjadi marginalisasi. Salah satunya yaitu ketika anak berkebutuhan khusus mengalami keterlambatan dalam belajar, guru tersebut mengatakan dia ini anak bodoh dan menunjukkan jari kepada anak tersebut di ruang publik yang menjadi bentuk marginalisasi guru terhadap anak berkebutuhan khusus. Selain itu, orang tua dalam mendidik dinilai kurang sabar maka anak berkebutuhan khusus dipukul oleh orang tuanya. Ditambah lagi, masih ada marginalisasi di lingkungan sekitar, misalnya anak berkebutuhan khusus keluar rumah temannya justru mengejek, menjauhi, hingga kekerasan fisik karena dianggap berbeda dengan lainnya. Pada kasus lain, anak berkebutuhan khusus yang berada di tempat umum dipandang dengan kesan mengintimidasi oleh sekitarnya dan ditolak lingkungannya. (Ardhini Oktavianingtyas, Indyra Bernice Azhary, Maestu Kunma Kukuh, Tatiana Pramudya R, Wahyu Tri Utomo)


SHARE THIS

0 Comments: