Rabu, 14 Juni 2023

Hadirkan Pembicara Politik Terkemuka, Kolaborasi Tiga BEM di UNS Gaet Hingga 1.600 Hadirin

 

(Para pembicara dan moderator yang melihat penonton dari panggung diskusi/Dok. BEM UNS/Panita)

Lpmvisi.com, Solo - Kolaborasi antara Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Sebelas Maret UNS (BEM UNS), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (BEM FH UNS), dan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sebelas Maret (BEM FISIP UNS), kegiatan diskusi publik bertajuk “Quo Vadis Demokrasi” sukses diselenggarakan di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS pada Rabu (14/6/2023). Panitia berharap diskusi tersebut dapat menjadi pemantik iklim diskusi di UNS maupun secara umum mengingat kondisi demokrasi yang kini semakin terpinggirkan.

Walaupun terkesan mendadak dalam persiapan penyelenggaraan acara ini, tepatnya kurang dari satu minggu, panitia berhasil menghadirkan tiga pembicara politik ternama, yaitu Aris Arif Mundayat, Ph.D, Dosen Sosiologi UNS, Rocky Gerung, Pengamat Politik, dan Saut Situmorang, Pimpinan KPK 2015-2019. Dengan melihat animo peserta yang sangat tinggi, dalam waktu kurang dari tiga jam panitia akhirnya mengubah tempat acara yang sebelumnya akan dilaksanakan di Agrobudaya UNS menjadi di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS. “Walaupun demikian, acara ini melebihi ekspektasi apa yang kita bayangkan dari segi peserta ataupun kondisi forum, itu artinya memang banyak yang resah terhadap demokrasi yang sedang berjalan.”, ungkap Prama, Presiden BEM FISIP UNS 2023.

Kondisi politik di Indonesia saat ini dan ketertarikan mahasiswa pada dunia politik tentu menjadi alasan lain bagaimana acara ini bisa berjalan dengan cukup sukses. Banyak mahasiswa yang ingin tahu tentang bagaimana pandangan para pengamat tokoh politik ini dalam menanggapi situasi politik yang ada saat ini. Kemudian dengan adanya forum ini seolah menjadi kesempatan bagi mereka untuk mendapatkan informasi dan pengetahuan lebih terkait dengan dunia politik di Indonesia saat ini.

          “Betulkah Patron-Klien Dan Populisme Penyakit Sistem Politik Indonesia” menjadi topik bahasan yang diangkat dalam diskusi publik. Diskusi dimoderatori oleh M. Khairil Ibadu Rahman sebagai moderator, Presiden BEM FMIPA UNS 2022. Dilarang dungu menjadi aturan awal dalam kegiatan diskusi tersebut. “Persoalan patron-klien sudah menjadi permasalahan klasik yang tumbuh dalam ruang politik demokrasi”, ungkap Aris Arif Mundayat. Patron dimaknai sebagai para pelaku oligarki dan para pengikutnya disebut sebagai klien. Dalam konteks Indonesia terdapat dua patron besar yang terjadi, yaitu oligark politik dan oligark bisnis.

Aris Arif Mundayat juga menjelaskan bahwa politic business alliance terjadi di Indonesia dengan menyertakan data dari detik.com bahwa sebanyak 55% anggota DPR berasal dari kalangan pebisnis. Ketika para oligark politik dan oligark ekonomi berselingkuh, maka akan terjadi oligarki dan menjadi masalah serius. Dalam menanggapi banyaknya korupsi yang dilakukan para pejabat negara, beliau memahami bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat feodal sehingga beliau mengusulkan hu kuman berupa penurunan hierarki terhadap koruptor.

Sesi diskusi dilanjutkan oleh Saut Situmorang yang menanggapi kondisi quo vadis demokrasi Indonesia dan sistem perpolitikan Indonesia. “Dalam berada di antara patron dan klien, Anda harus pragmatism, Anda harus berada di ujung-ujung bahaya”, ucap Saut Situmorang. Jujur, peduli, mandiri, tanggung jawab, berani, sederhana, dan adil dapat menjadi integritas yang harus dimunculkan.

Senior pengamat politik yang sering dijuluki sebagai Presiden Akal Sehat, Rocky Gerung, turut memberikan insight mengenai fenomena politik terkait dengan sistem politik tertutup dan terbuka.  Sistem politik tertutup dapat diibaratkan seperti memilih kucing dalam karung. Sistem politik terbuka cenderung lebih transparan. Meskipun demikian, memasukkan surat suara pada tempat yang kotak  suara yang dikunci menandakan ketidakpercayaan yang muncul.

Hambatan demokrasi yaitu tidak dapat ditentukannya locus dari demos. Demokrasi dapat diakui sebagai pemerintahan dari rakyat kembali ke rakyat, namun di Indonesia kata rakyat tidak memiliki makna atau artian yang sama seperti kata rakyat di Prancis. “Rakyat nrimo”, begitulah ucap Bung Rocky dalam menggambarkan kondisi di Indonesia. Menurutnya, pada masa-masa ini kita perlu berbicara dengan argumentasi yang kuat. Langkah yang perlu dilakukan, yaitu langkah keluar dari otoriter dan langkah masuk ke demokrasi. Beliau memandang Indonesia masih berada di proses keluar dari otoriter belum sampai masuk ke demokrasi.

Usai sesi diskusi, panitia memberikan termin sesi bertanya bagi para peserta. Antusias peserta sangat tinggi untuk bertanya kepada para pembicara. Hadirnya para pembicara hebat dalam diskusi publik tersebut mampu memberikan pemahaman bagi para peserta mengenai quo vadis demokrasi Indonesia. Vika (19), salah satu peserta kegiatan mengakui bahwa ia mendapatkan pandangan untuk memilih pemimpin kedepannya, mengingat 2024 menjadi kesempatan pertamanya untuk ikut mencoblos dalam Pilpres 2024. Menurut Zia (21), gebrakan diskusi ini diharapkan mampu untuk merangsang diskusi lain sehingga iklim diskusi di perguruan tinggi dapat berkembang.

Kesuksesan acara diskusi ini dapat dijadikan sinyal atau representasi dari bentuk antusiasme mahasiswa terhadap kondisi politik saat ini. Situasi tersebut tentu merupakan hal bagus sebab sudah tugas mahasiswa untuk lebih peduli kepada kondisi negara saat ini. Hal ini juga dapat dijadikan penunjang bagi pihak kampus untuk lebih terbuka dalam mengadakan forum-forum diskusi seperti ini agar mahasiswa dapat lebih mudah dalam mendapatkan informasi dan pengetahuan terkait dengan dunia politik Indonesia. (Lia, Windy, dan Azra)



SHARE THIS

0 Comments: