Sabtu, 10 September 2022

Perkara Hak Cipta Yang Masih Dipandang Sebelah Mata

Dok. Internet (Pinterest)


    Oleh: Maulidina Zahra Nabila

    Seringkali, ketika melihat sesuatu yang indah dan menarik tentang sebuah seni, rasa kagum akan muncul dalam benak. Karena yang dapat mengukir sebuah karya secara lihai hanya segelintir saja. Mungkin memang banyak yang tertarik pada ranah seni, khususnya dalam bidang seni rupa dan desain, baik itu secara konvensional menggunakan tangan maupun digital. Namun dalam pengimplementasiannya, tak banyak yang mengerti tentang bagaimana memadukan gradasi berbagai warna maupun menciptakan suatu pesan pada sebuah karya. Oleh karena itu, seni mahal harganya. Karena yang dijual adalah buah dari kreativitas dan ide milik sang empunya.

    Di zaman dengan teknologi yang sedemikian canggih, unjuk kebolehan dalam rangka menarik minat para investor maupun pujian dari khalayak dapat menggunakan media apa saja. Tak hanya pameran di ruang terbuka, seseorang dengan ide yang luar biasa namun memiliki keterbatasan biaya pun dapat ikut menunjukkan kebolehannya melalui media yang saat ini tengah digandrungi masyarakat, yakni media online. Biasanya, para penggiat seni menggunakan perantara media sosial untuk menyebarluaskan karya yang dimilikinya. Hal ini karena dalam media sosial, banyak populasi yang hidup dengan berbagai gaya dan budaya. Terdapat juga komunitas pecinta seni yang berburu hasil karya disana. Bukan berarti cakupannya sebatas itu saja, masyarakat awam seni pun dapat turut menikmati dan menilai sebuah hasil karya yang diunggah disana.

    Namun, banyak yang tidak mengetahui serta tak acuh terhadap masalah hak cipta. Padahal, pengguna media sosial seharusnya memperhatikan adanya simbol-simbol yang tertera dalam suatu karya. Secara internasional, lambang © atau hak cipta (copyright) menunjukkan bahwa konten atau semua yang ada di media sosial dan internet merupakan hak cipta yang dilindungi. Sehingga, pengguna konten harus memiliki izin atau sepengetahuan dari pengguna. Adapun definisi dari hak cipta sendiri menurut Pasal 1 ayat 3 UU Hak Cipta adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata (Nasrullah, 2016)

    Perkara hak cipta sejatinya merupakan hal yang sangat serius untuk diperbincangkan. Banyaknya kasus plagiarisme di media sosial yang mana merupakan sebuah pembajakan dari hak cipta mengindikasikan bahwa kesadaran masyarakat tergolong masih rendah. Saat ini, Fenomena plagiarisme sering dijumpai dalam bentuk penyebaran ide-ide, kata-kata atau bentuk karya tanpa persetujuan. Untuk melindungi hak intelektual sang pemilik karya, Indonesia telah mengatur sebuah undang-undang yang berisi tentang hak cipta di dunia maya dalam UU No. 12 tahun 1997 pasal 11 ayat satu yang menyebutkan bahwa program komputer merupakan ciptaan yang dilindungi dengan jangka waktu perlindungan selama 50 tahun sejak pertama kali diumumkan, termasuk di dalamnya web content (teks, grafik, gambar, video, dan audio yang terdapat pada halaman web). Selain itu, kode etik tentang hak cipta dalam dunia maya juga terdapat dalam Nettique yang melarang pengguna internet untuk melakukan penyalinan atau penjiplakan atas hasil karya orang lain. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) juga telah mengatur Hak Kekayaan Intelektual dalam pasal 25 yang menyatakan bahwa informasi elektronik dan /atau dokumen elektronik yang disusun dan didaftarkan sebagai karya intelektual, hak cipta, paten, merek, rahasia dagang, desain industri, dan sejenisnya wajib dilindungi oleh UU ITE dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan.

    Selain media sosial, beberapa media online sering mengambil karya dari media sosial tanpa izin dari sang pemilik. Padahal, karya-karya yang ada dalam media sosial tetap saja dilindungi dan tidak dapat digunakan untuk keperluan komersil tanpa ada izin dari pihak yang bersangkutan. Media online tetap harus berpegang pada pedomannya, yakni pemberitaan media siber yang dikeluarkan oleh Dewan Pers. Pada poin 7 di pedoman media siber menyebutkan bahwa media siber wajib menghormati hak cipta sebagaimana yang diatur dalam perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta.

    Walaupun dapat dengan bebas bermain dan mencurahkan apa saja melalui media sosial, kita juga harus memperhatikan hukum dan etika yang diterapkan disana. Layaknya di dunia nyata, ketika berinteraksi dalam dunia maya, pengguna internet, yang dalam hal ini khususnya pengguna media sosial, juga harus mengikuti etika dan hukum yang ada. Contoh media sosial yang menerapkan hukum dan etika terhadap hak cipta adalah instagram. Instagram sebagai platform yang sering digunakan untuk mempublikasikan lukisan, foto, video, maupun karya seni lainnya mempunyai peraturan yang cukup ketat mengenai hak cipta. Jika pengguna instagram ingin mempublikasikan konten orang lain, pihak instagram telah menyarankan agar terlebih dahulu pengguna memastikan hak cipta atas karya tersebut. Instagram juga menekankan bahwa akun yang terdeteksi mengambil orang lain secara tidak sengaja akan tetap dinilai telah melakukan pelanggaran, apalagi yang murni hanya mengambil tanpa mencantumkan nama sang pembuat karya. Media sosial lainnya seperti Youtube juga mempunyai peraturan terkait hak cipta. Dalam menggunakan Youtube, seseorang hanya dapat mempublikasikan karya yang mereka garap sendiri atau memang telah mendapat persetujuan dari pihak yang memiliki hak cipta untuk mempublikasikannya ke Youtube. Apabila melanggar hal tersebut, Youtube akan menghapus konten si pelanggar dan memberikan surat peringatan. Jika telah mendapatkan surat peringatan sebanyak 3 kali, maka akun Youtube tersebut akan di nonaktifkan dan royalti dari konten yang terindikasi melakukan pelanggaran hak cipta akan dialihkan kepada sang pemilik hak cipta. Pinterest pun turut melakukan upaya untuk melindungi hak cipta sang pembuat konten dengan menyiapkan formulir pengaduan yang dapat diisi oleh korban pelanggaran hak cipta. Pihak yang terbukti melakukan pelanggaran akan mendapatkan peringatan, mencabut kemampuan akun untuk menyimpan pin, bahkan menonaktifkan akun.

    Kesadaran mengenai hak cipta di Indonesia memang belum merata. Oleh karena itu, perlu adanya perhatian dan kerjasama antara masyarakat, swasta dan pemerintah. Dalam sisi masyarakat dan swasta, apabila ingin menggunakan karya orang lain, hendaknya meminta izin terlebih dahulu dari sang pencipta atau pemegang hak ciptanya, baik untuk kegiatan komersil maupun nonkomersil. Sedangkan dari sisi pemerintah, perlu adanya sosialisasi dan memperketat hukum yang mengatur tentang hak cipta agar menimbulkan daya cegah yang kuat serta efek jera bagi si pelanggar hak cipta.


SHARE THIS

0 Comments: