Senin, 18 Juli 2022

Blue Scarf

 

Ilustrasi (Dok. Internet/Pinterest)


Oleh: Eldiana Irine

Malam yang sendu dan melelahkan, ditemani keriuhan manusia-manusia di sekitarku yang tengah sibuk berlalu-lalang menunggu antrean koper mereka di Bandar Udara Internasional Glasgow. Namun apabila aku bisa berkata jujur, rasa lelah yang tengah kurasakan saat ini tiadalah berarti bagiku, sebab tepat hari ini di tanggal 7 Agustus 2017, aku secara resmi akan memulai petualangan hidupku di negeri yang baru. Sebuah negeri yang sudah lama tertanam di benak dan anganku, serta yang tak lengah kusebut dalam setiap doa-doaku, Glasgow. Rasa lelah yang sedari tadi kurasakan perlahan sirna, ketika aku menyadari bahwa kini aku sudah berpijak di tanah Glasgow, impianku. Jantungku kian berdegup kencang manakala aku keluar dari pintu kedatangan bandara dan menghirup udara segar Glasgow di malam hari. Hawa dingin nan sejuk yang berembus seakan memberikanku ucapan selamat datang untuk mengawali perjalanan studi magister yang akan kutempuh selama satu tahun ke depan di Kota Glasgow. Untunglah saat ini aku ditemani syal biru favoritku, sehingga suhu 14˚C tidak membuatku gentar untuk menyusuri dinginnya malam. Akan tetapi, saat menunggu supir taksi memasukkan semua koperku ke dalam bagasi, aku kehilangan syal biru. Syal tersebut terhempas tertiup angin, hingga aku tidak bisa lagi menggapainya dan harus merelakan syal tersebut untuk selamanya.

Sudah hampir satu bulan aku mulai dapat beradaptasi dan membiasakan diri dengan Glasgow. Ada gunanya juga datang lebih awal sebelum tahun ajaran baru di mulai, yaitu bisa mempunyai waktu luang untuk lebih mengenal dan menjelajahi sudut Kota Glasgow yang indah. Hidup di negara orang dan jauh dari keluarga tentu tidaklah semudah yang dibayangkan. Oleh karena itu, selama kurun waktu tersebut aku manfaatkan untuk terlibat secara aktif mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia atau PPI Glasgow. Tujuannya ialah selain mencari relasi dan kenalan di negeri orang, dekat dengan sesama pelajar dari Indonesia membuat rasa rinduku akan rumah sedikit dapat terobati. Hingga tibalah saatnya aku mulai memasuki masa-masa perkuliahan yang akan disibukkan dengan beragam tugas yang siap menanti di depan mata. Selamat datang masa kuliahku!

Ini bukan kali pertamaku memijakkan kaki di kampus Glasgow. Selama menunggu perkuliahan dimulai, aku sudah berkali-kali datang untuk mengurus beberapa persyaratan yang harus kuselesaikan sebelum masa pembelajaran, salah satunya mengambil ID Card mahasiswaku. Akan tetapi kali ini rasanya sungguh berbeda, ada perasaan grogi yang diselimuti kebahagiaan sehingga sulit untukku mengekspresikan bagaimana rasanya. Kuharap kalian paham apa yang kurasakan. Singkat cerita, perkuliahan hari pertamaku bisa di bilang dapat berjalan dengan baik. Aku merasa nyaman berada di kelas yang hanya terdiri dari 18 mahasiswa saja, sebab proses penyampaian materi sekaligus diskusi bisa terjalin secara intens. Lingkungan diskusi yang nyaman juga telah membuatku berani untuk dapat ikut serta menyampaikan opini dalam diskusi. Senang rasanya berada di lingkungan yang mendukung pengembangan diri mahasiswanya.

Perkuliahan di hari-hari berikutnya tetap saja masih membuatku kagum sekaligus gugup di saat yang bersamaan. Kurasa sampai sekarang aku tetap dapat merasakan atmosfer hari pertamaku saat menginjakkan kaki di Glasgow. Namun hari ini, terjadi sebuah momen yang kelak akan menjadi permulaan bagian dari warna-warni hidupku. Sebuah momen di mana aku bertemu seseorang yang nantinya akan menggenggam tanganku, berjalan, dan bersama menapaki setiap petualangan hidupku. Sungguh pertemuan yang tak pernah kuduga akan terjadi dalam salah satu bab di cerita petualanganku. Pertemuan yang nantinya akan selalu kukenang sebagai “coincidental”.

Cuaca di Glasgow memang sangat sulit untuk ditebak. Selalu saja ada kejutan yang siap menunggu setiap harinya, seperti pagi hari ini saja misalnya. Baru satu jam setelah bangun tidur aku memeriksa prakiraan cuaca yang mengatakan bahwa Glasgow hari ini cerah, tiba-tiba saja ketika aku tengah menyiapkan sarapan, terdengar suara hujan di luar. Tak lama setelah hujan, matahari mulai kembali menampakkan dirinya di langit Glasgow. Tuhan, sungguh aku mencintai Glasgow dengan segala keunikannya.

Hari minggu selalu menjadi hari yang kutunggu. Bukan hanya karena tidak ada perkuliahan saja, tetapi sudah menjadi kebiasaan untukku menyegarkan pikiran di tengah kesibukan jadwal kuliah. Oleh karenanya, aku berencana mendatangi Glasgow Botanic Gardens untuk menikmati keindahan taman bunga sembari membaca materi-materi perkuliahan. Namun sialnya, aku kembali tertipu oleh cuaca Glasgow. Baru saja setengah membaca materi, langit kembali gelap dan sudah mulai ada rintikan hujan. Terpaksa aku harus berteduh di salah satu kafe, berharap agar hujan bisa segera reda. Ketika ingin memeriksa prakiraan cuaca, bagaimana terkejutnya aku ketika tidak kutemukan ponselku di dalam saku mantel. Aku ingat betul bahwa aku membawa serta ponselku ketika berada di Botanic Gardens. Sial, ponsel itu pasti terjatuh ketika aku berlari menuju kafe. Ketika aku bergegas membuka gagang pintu kafe, tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang ingin masuk ke dalam, dengan keadaan basah kuyup dan terengah-engah. Sesaat setelah kupersilahkan ia masuk, terdengar suara laki-laki itu berucap, “apakah kamu mencari ini?”, dalam bahasa Inggris sembari menunjukkan ponsel berwarna putih yang kini berada di tangannya. Tidak kusangka laki-laki tersebut melihat ponselku terjatuh dan berusaha mengejarku untuk mengembalikan ponsel itu kepada pemiliknya, meski ia sempat kehilangan jejakku ketika aku keluar dari Botanic Gardens. Ia terus berusaha mencari keberadaanku di beberapa kafe, sebelum akhirnya berpapasan denganku di North Star Cafe. Setidaknya saat itu terjadi momen hening selama satu menit ketika aku dan laki-laki tersebut berhadap-hadapan di depan pintu masuk kafe. Pikiranku kosong, seakan hanya terisi kekaguman atas kebaikan laki-laki itu.


SHARE THIS

0 Comments: