Rabu, 15 Juni 2022

FOMO dan JOMO, Mana yang Lebih Baik?

 
Ilustrasi (Dok. Internet)

Oleh: Arina Zulfa

Akhir-akhir ini FOMO atau kepanjangan dari Fear of Missing Out menjadi sering disebut-sebut. Sedikit-sedikit FOMO, sedikit-sedikit FOMO. Fenomena FOMO benar-benar melekat di kehidupan remaja, tak dapat dipungkiri bahwa mahasiswa pun merasakannya. Beberapa orang akan dengan mudahnya merasa tertinggal atau bahkan iri hanya dengan melihat apa saja yang telah orang lain lakukan. Meski manusia memanglah subjek rasa takut, akan menjadi sebuah ironi apabila kehidupan orang lain dijadikan patokan dalam menjalani hidup. 

Kita iri melihat orang lain mengunggah momen liburannya, merasa tertinggal melihat teman seangkatan sudah mendapatkan pekerjaan yang didambakannya, merasa terasingkan ketika tidak dapat mengikuti topik pembicaraan yang tengah dibicarakan. Seseorang yang merasakan FOMO cenderung sering merasa gelisah dan cemas, mereka akan mengecek media sosial secara terus menerus demi menghindari ketertinggalan informasi. Hal ini tentu bukanlah hal yang baik, meskipun di sisi baik seseorang akan menjadi terus up to date, namun waktu yang ia habiskan untuk mengecek media sosial itu dapat ia habiskan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. 

Fenomena FOMO ini kemudian melahirkan istilah JOMO, atau Joy of Missing Out. JOMO adalah perasaan tidak merasa terganggu dengan kegiatan atau pencapaian orang lain. Seseorang yang merasa JOMO cenderung puas akan kondisi diri sendiri. Ia tak merasa tertinggal apabila tidak memiliki informasi yang orang lain miliki, tidak merasa iri meski belum mencapai pencapaian yang orang lain capai. Berbeda dengan apatis, JOMO lebih ke perasaan menghargai hidup yang dimiliki, tanpa berkeinginan untuk memenuhi standar sosial tertentu.

Baik FOMO ataupun JOMO akan selalu memiliki sisi baik dan buruknya masing-masing. Meskipun FOMO disebut-sebut merupakan hal buruk, FOMO tetap memiliki sisi baiknya apabila berada pada takaran yang pas. Seseorang yang FOMO cenderung mengetahui bahwa pencapaian orang lain itu merupakan hal yang baik, apabila ia berhenti cukup sampai di situ dan mencoba untuk mengintrospeksi dirinya, hal ini dapat menjadi motivasi untuknya selalu produktif. Ia akan berusaha untuk mengejar cita-citanya karena melihat orang lain pun dapat mengejar cita-citanya. 

Begitu pula JOMO, JOMO adalah hal yang baik ketika hal ini tidak berlarut lebih jauh. Hal yang baik apabila seseorang dapat mensyukuri hal yang dimilikinya, hanya saja jangan sampai seseorang menjadi apatis atau terkesan bodo amat pada hidupnya. Meski begitu, FOMO terbukti mampu mengganggu kesehatan mental karena dianggap tidak menghargai apa yang dimilikinya dan berfokus pada hal menyenangkan lainnya yang seringkali kita lihat di media sosial. 

Maka terlepas dari pencapaian yang orang lain miliki, kita perlu bersyukur atas hal-hal kecil yang baik dalam diri kita. Mulai dari perasaan syukur yang tumbuh perlahan dalam diri kita, akan muncul self-compassion, atau langkah sederhana menyayangi diri. Kita akan lebih merasa bangga dan merasa diri kita sangat berharga, sehingga kita dapat mengenal dan menerima diri sendiri. Kita tidak memerlukan orang lain untuk merasa bahagia, sehingga mental akan menjadi lebih positif karena bebas dari kecemasan dan perasaan kompetitif. 

Hidup terlalu singkat untuk sekedar berbicara siapa yang lebih sukses, aktivitas siapa yang paling menyenangkan, atau hal tidak bermanfaat lainnya. Hargai diri sendiri dan setiap kegiatan yang telah kamu lalui. Kamu sudah berjuang untuk sampai pada titik ini, tak pernahkan terpikirkan untuk terima diri sendiri dan buat segalanya menjadi lebih bermakna? Karena kalau bukan dirimu yang menyayangi diri sendiri, siapa lagi?




SHARE THIS

0 Comments: