Selasa, 31 Mei 2022

Selain Suka Langit Senja dan Permen, Aku Juga Suka Nangis.

Permen (Dok. Pinterest)

Oleh: Nada Nu'ma Azkiya

 Ibu bilang, anak laki-laki dilarang menangis.


'Dilarang' dapat dipasangkan menjadi kalimat 'dilarang parkir', 'dilarang belok kanan', atau 'dilarang buang sampah sembarangan'. Aku sering baca tulisan itu sepanjang jalan pulang dari sekolah bersama Mbak Rin.


Dilarang artinya tidak boleh. Anak laki-laki dilarang menangis berarti anak laki-laki tidak boleh nangis.


Ibu bicara begitu sewaktu Miko mati karena sakit. Miko punya bulu putih yang lembut, yang kalau dipegang rasanya seperti memegang awan. (Aku belum pernah pegang awan, tapi kata Jo, teman sekelasku, awan itu lembut kayak kapas). Miko punya mata warna biru yang kalau malam suka menyala dalam gelap. Aku belum cari tahu kenapa bisa begitu, besok-besok aku coba baca ensiklopedia. Sekarang kita anggap saja Miko punya kekuatan super.


Setelah tubuhnya bergetar hebat malam-malam dan mulutnya mengeluarkan busa yang kelihatan seperti busa sabun sewaktu mandi (Kata Mbak Rin, itu namanya keracunan), Miko tidak bergerak untuk selama-lamanya.


Selama-lamanya itu tidak tahu selama apa, mungkin selama 1 jam atau 4 hari atau sampai Idul Fitri.


Yang jelas, Miko tidak akan bangun lagi dan lari-larian di halaman depan lagi.


Mbak Rin yang menangis sendirian sambil melempar bersekop-sekop tanah ke tubuh Miko yang berbulu putih, seperti sedang menanam bunga. Aku berdiri menonton di sebelah Ibu dan tidak menangis karena sudah disuruh.


Sekarang giliran orang-orang yang menangis sama seperti Mbak Rin. Tapi bedanya, bukan Mbak Rin yang melempar bersekop-sekop tanah (Mbak Rin berdiri di sebelahku dan hidungnya ingusan). Ada bapak-bapak yang aku-tidak-tahu-siapa yang melempar bersekop-sekop tanah.


"Sabar, ya, Ekal." Tubuh kecilku dipeluk bergantian oleh orang-orang aku-tidak-tahu-siapa. Sama seperti Mbak Rin, mereka ingusan.


Aku tidak tahu apa artinya sabar. Aku mau tanya ke Ibu, tapi bingung bagaimana caranya karena Ibu sudah tidak lagi kelihatan setelah ditutup bersekop-sekop tanah.


Sebelum Miko keracunan, Mbak Rin sering marah karena lantai kotor bekas kaki Miko dan Ibu menyuruh buat sabar. Sepertinya sabar berarti 'jangan marah', tapi aku kan lagi tidak marah? Kenapa aku disuruh sabar?


Sekarang aku jadi mau marah, karena disuruh sabar berkali-kali. Padahal awalnya aku tidak marah.


Karena itu, aku akhirnya pergi dari kumpulan orang-orang ingusan yang menyuruhku sabar, dan berlari ke salah satu kursi di bawah pohon mangga.


Kalau Mbak Rin dan orang-orang sudah tidak ingusan dan tidak lagi menyuruh buat sabar, aku akan kembali kesana.


Langit sekarang berwarna merah bercampur oren bercampur kuning, warnanya seperti es krim yang suka dibuat Ibu tiap hari Minggu. Aku baca di ensiklopedia, itu namanya matahari tenggelam. Aku tidak tahu dia tenggelam dimana yang pasti bukan di laut, karena nanti bisa basah.


"Mau?"


Seorang anak perempuan setinggi bahuku tiba-tiba muncul dan di tangannya ada permen yang warnanya seperti matahari tenggelam. Dia tidak kelihatan ingusan, berarti dia bukan dari kumpulan orang-orang yang menyuruhku buat sabar.


Baju dan roknya warna hitam, seperti baju dan celanaku sekarang. Semua yang datang kesini bajunya warna hitam, sepertinya sudah janjian.


"Aku gak boleh makan permen." Mbak Rin bilang aku bolehnya makan permen 7 hari sekali. Kemarin aku sudah makan permen rasa melon, jadi hari ini aku tidak boleh makan permen.


Dia menyimpan kembali permen warna matahari tenggelam di kantong baju dan ikutan duduk di kursi sebelahku. Aku mau protes, tapi tidak jadi karena ingat kalau kursi ini bukan punyaku. Kursinya boleh diduduki oleh siapapun.


Kami duduk tanpa bicara apa-apa dan menonton matahari tenggelam (bukan di laut).


"Aku suka langit senja!" Teriak dia tiba-tiba yang bikin aku kaget, tapi jadi bertanya-tanya senja itu apa.


Mungkin nanti aku bakal tanya ke Ibu, tapi ingat kalau Ibu sudah ditanam dengan bersekop-sekop tanah. Mbak Rin bisa marah kalau tahu aku menggali tanah, sehingga bajuku kotor dan susah dicuci.


"Langit senja itu yang oren-oren ini." Dia merentangkan tangannya lebar-lebar dan menunjuk awan warna oren-oren.


"Berarti permen kamu warna senja, dong."


"Hmm, bisa jadi!"


Setelah tahu arti senja dan bicara soal permen, kami duduk tanpa bicara apa-apa dan menonton matahari tenggelam (bukan di laut).


"Kamu sukanya apa?" Tanyanya tiba-tiba. Tidak bikin aku kaget, tapi bikin aku bertanya-tanya lagi aku sukanya apa.


Aku suka nonton Jalan Sesama sambil disuapi sarapan oleh Ibu sebelum berangkat sekolah. Aku suka tumis jamurnya Mbak Rin (Mbak Rin pintar masak dan bersih-bersih rumah). Aku juga suka bolu rasa coklat di toko roti dekat rumah, yang rasa pandan aku tidak suka.


Aku bingung harus jawab apa, jadi kujawab saja kalau, "aku suka kucing."


Dia menaik-turunkan kepalanya, tapi masih tersenyum. Aku suka senyumnya, sama seperti senyum Ibu sewaktu aku cerita banyak kejadian di sekolah hari itu.


"Ohh, kucing emang lucu! Yang lain? Kamu suka apa lagi?"


Aku suka dongeng Gaga si gagak yang suka dibacakan Ibu sebelum tidur. Aku juga suka main lari-larian dengan Miko, tapi Miko tidak bisa lari-larian lagi.


Aku bingung harus jawab apa, jadi kujawab saja kalau, "aku gak tahu, kalau kamu?"


Gantian dia yang kelihatan kaget dan bertanya-tanya dia sukanya apa.


"Hmm, aku suka langit senja. Aku suka permen, tapi aku paling suka yang warnanya seperti senja." Dia mengangkat permen warna matahari tenggelam (atau bisa jadi senja) dari kantong bajunya.


"Aku juga suka nangis." Katanya sambil tersenyum.


"Kamu suka nangis?"


"Kamu gak suka?"


Aku menggeleng, karena belum pernah coba. Ibu bilang, anak laki-laki dilarang menangis.


Dia memiringkan kepala, alisnya naik sebelah. Sama seperti Mbak Rin kalau sedang bingung mau masak apa hari ini.


"Tapi anak kecil suka nangis," katanya. Aku ikutan menaikkan alis, "mungkin aku bukan anak kecil?"


"Padahal waktu kita lahir kita nangis, loh."


"Aku gak tahu."


"Aku juga gak tahu, tapi aku tanya Ibu."


Karena Ibu sudah ditanam dengan bersekop-sekop tanah dan bajuku bisa kotor kalau ketahuan menggali, nanti aku coba tanya Mbak Rin saja.


"Gimana rasanya nangis?"


"Lebih enak rasa permen warna senja, sih." Kata dia, mengangkat permen dari kantong bajunya. "Hidung kamu nanti ingusan, terus ada air keluar dari mata. Aneh pokoknya. Tapi habis nangis pasti jadi lega."


"Lega itu apa?" Aku membayangkan nangis rasanya seperti bolu coklat di toko roti (karena sepertinya orang-orang suka nangis), tapi ternyata tidak lebih baik dari itu.


"Lega itu kayak kamu bilang ke Ibu kalau nilai matematika kamu jelek, tapi Ibu gak marah. Habis lega, kamu gak perlu takut-takut lagi."


Aku menaik-turunkan kepala berkali-kali sampai rasanya mau lepas. Tidak bakal lepas juga, kalau lepas nanti aku jadi tidak punya kepala.


Setelah tahu arti lega dan bicara hal yang disuka, kami duduk tanpa bicara apa-apa dan menonton matahari tenggelam (bukan di laut).


"Aku juga mau bisa nangis." Kataku pada anak perempuan setinggi bahuku itu. Ibu bilang, anak laki-laki dilarang menangis. Setelah bisa menangis nanti, aku akan minta maaf ke Ibu karena tidak menaati larangannya. (Ibu orangnya suka memaafkan).


"Pikirin yang sedih-sedih aja."


"Yang sedih-sedih seperti apa?"


Dia memiringkan kepala, alisnya naik sebelah. "Aku sedih kalau gak makan permen. Aku juga sedih kalau gak boleh pergi keluar lihat langit senja. Pikirin kalau kamu gak bisa dapat apa yang kamu suka aja."


Kemudian, aku jadi berpikir hal-hal yang aku suka tidak akan kudapat.


Tidak ada lagi bolu rasa coklat di toko roti dekat rumah. Tidak ada lagi main lari-larian dengan Miko di halaman. Tidak ada lagi tumis jamur enak masakan Mbak Rin. Tidak ada lagi nonton Jalan Sesame sebelum berangkat sekolah. Tidak ada lagi dongeng Gaga si gagak yang dibacakan Ibu sebelum tidur. Tidak ada lagi senyum Ibu sewaktu cerita banyak kejadian di sekolah hari itu.


Tidak ada lagi Ibu.


Dan sewaktu matahari benar-benar tenggelam (bukan di laut), hidungku jadi ingusan dan banyak air keluar dari mata.


Ibu bilang, anak laki-laki dilarang menangis, tapi hari ini aku melanggar aturan dan menangis karena Ibu.


Mbak Rin dan orang-orang tidak-tahu-siapa kaget dan rebutan lari ke kursi di bawah pohon mangga. Anak perempuan setinggi bahu juga ikutan menangis padahal dia punya permen dan bisa lihat langit senja. Tapi seperti yang sebelumnya dia bilang, kalau dia juga suka menangis.



SHARE THIS

0 Comments: