Rabu, 30 Maret 2022

Toxic Productivity di Kalangan Mahasiswa akibat Pandemi

Ilustrasi Toxic Productivity (Dok. Internet)

Oleh: Tatiana


    Pandemi COVID-19 yang tak kunjung usai, memaksa kita untuk lebih lama melakukan segala kegiatan di rumah. Itu artinya sebagian besar mahasiswa masih harus terus melaksanakan perkuliahan secara daring. Dengan adanya pandemi ini, tidak sedikit mahasiswa yang ingin produktif meskipun hanya di rumah saja. Produktif adalah ketika kita melakukan kegiatan dengan hasil yang memuaskan dan memanfaatkan efisiensi waktu.

Menjadi produktif merupakan suatu hal yang baik bagi mahasiswa, karena dengan begitu mahasiswa dapat menunjukkan bahwa mereka bertanggung jawab akan tugas-tugas sebagai seorang mahasiswa. Namun, tanpa kita sadari produktivitas yang berlebihan membuat kita terjebak dalam toxic productivity. 

Toxic productivity merupakan suatu keinginan seseorang untuk terus produktif setiap saat dengan segala cara meskipun tugasnya sudah selesai. Seseorang tersebut justru akan merasa bersalah apabila mereka tidak produktif. Seseorang juga memiliki keinginan untuk terus menambah kegiatan mereka padahal sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukan. Hal ini tentu akan berdampak pada psikis dan fisik seseorang. Mereka yang terjebak dalam toxic productivity tentu akan merasakan lelah yang berlebih padahal sudah istirahat yang cukup dan juga akan burn out.

Situasi yang tidak pasti akibat pandemi inilah yang dapat memicu terjadinya toxic productivity, khususnya di kalangan mahasiswa. Pandemi yang entah selesai kapan membuat mahasiswa takut apabila dirinya tidak berkembang atau mengkhawatirkan bagaimana masa depan mereka. Maka dari itu mahasiswa terbebani akan pikiran dan keinginan untuk melakukan banyak kegiatan dalam satu waktu. Selain beban kuliah yang melimpah, mereka masih harus mengerjakan tugas-tugas dari dosen dan melakukan tugas-tugas yang menunjang masa depan mereka seperti magang dan aktif berorganisasi. Selain itu mereka juga harus melakukan pekerjaan rumah, mereka takut dianggap tidak berbakti kepada orang tua karena tidak membantu pekerjaan rumah di era pandemi yang hanya di rumah saja ini.

Salah satu contoh toxic productivity di kalangan mahasiswa adalah ketika seorang mahasiswa aktif dalam kegiatan kemahasiswaan atau UKM. Mengikuti UKM bukanlah suatu hal yang wajib, tetapi saat ini banyak mahasiswa yang aktif mengikuti UKM dengan tujuannya masing-masing. Satu mahasiswa bisa saja mengikuti lebih dari satu UKM. Seluruh kegiatan UKM pastinya juga daring apabila kegiatan perkuliahan juga dilakukan secara daring. Oleh karena itu mahasiswa merasa bisa mengikuti UKM sebanyak dua, tiga, atau bahkan lebih karena semua dilakukan secara daring (di rumah). Tak sedikit pula kegiatan antar UKM yang satu dengan yang lain bertabrakan, tetapi mahasiswa tetap bisa mengikuti dua-duanya secara bersamaan. Mereka merasa memiliki banyak waktu luang sehingga mendorong mereka untuk selalu produktif. 

Dari contoh tersebut, sebenarnya semuanya tergantung pada apa yang kita rasakan. Apabila kita merasa bahwa setiap kegiatan yang dilakukan memiliki tujuan yang pasti dan bisa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat, maka semua itu bisa dikatakan kegiatan produktif. Namun, apabila tujuan kita untuk melakukan banyak kegiatan hanya karena takut, khawatir, rasa bersalah, dan sebagainya, maka hal tersebut bisa masuk dalam kategori toxic productivity. 
    Perlu adanya kesadaran dalam diri setiap mahasiswa tentang kegiatan yang mereka lakukan. Apakah kegiatan yang mereka jalani saat ini membebani pikiran mereka atau tidak. Apakah kegiatan yang mereka jalani saat ini sudah dilakukan dalam porsi dan cara yang benar atau belum. Diperlukan adanya kepandaian untuk mengatur waktu dan menentukan skala prioritas agar produktivitas yang dilakukan tidak menjadi toxic productivity. Ingat bahwa kita sebagai mahasiswa juga manusia yang butuh istirahat. Produktif bukan tentang kuantitas melainkan kualitas.


 




SHARE THIS

0 Comments: