Sabtu, 18 November 2017

Sebuah Bunyi dari Luar

Ilustrasi. VISI/Fauzan

Oleh: Herdanang Ahmad Fauzan

Sudah berulang kali Tegar memainkan konflik itu dalam hidupnya. Ia memang kerap melakukan kenakalan khas remaja tanggung seusianya. Mulai dari meminjam senapan angin Pak Subarja tanpa izin dan menghabiskan pelurunya untuk menembaki burung, mencuri buah mangga ranum di kebun beberapa tetangga, hingga melempari sepupunya sendiri dengan tahi ayam. Itu semua tak menghentikan cinta ibunya terhadap Tegar. Tidak, kecuali konflik yang sedang dimainkannya kali ini, yang membuat Marsinem naik pitam dan hilang sabar pada putranya itu.

“Bahkan jika ayahmu adalah bajingan dan kamu tak kalah bajingan, kamu tetap anakku. Ah, tidak. Kamu tak punya ayah, aku ibu sekaligus ayahmu,” Marsinem, dalam satu sore yang kuning pernah menghunus Tegar dengan kalimat itu.

Tapi kini kalimat Marsinem seperti menguap. Serupa uapan seceret air yang mendidih setelah dijerang 13 jam. Air itu telah menguap jadi udara, dan Socrates maupun Gandhi bahkan tak lagi mampu mengenalinya.

“Sekarang, ada baiknya kamu kemas semua barangmu. Aku tak mau Tuhan melihatku memelihara iblis,” umpat Marsinem di ruang tamu rumahnya, tepat di depan mata Tegar.

Setelah melempar kalimat yang lebih serupa jarum suntik itu, Marsinem membalik badan dan masuk ke kamarnya. Tak lupa adegan itu dipungkasinya dengan sebuah bantingan pintu.

Tegar tak bergidik. Ia masih berdiri terpaku, menunduk dan menahan air mata. Jika air mata adalah sungai, maka kelopak mata Tegar adalah tanggul paling tangguh di dunia. Ia terbuat dari beton-beton kelewat matang. Rapi dan mampu menahan berbagai beban, kecuali umpatan Marsinem dan selembar foto seseorang yang tersimpan di tas punggungnya.

Perkara tas itu, Tegar jadi teringat lagi. Itu adalah barang yang dibelinya dari uang upah bermain peran sebagai pemain bola di kompetisi tarkam tujuhbelasan. Tegar ingat betul saat itu ia bingung membelanjakan upahnya untuk apa. Bingung untuk membeli novel bersampul hijau karangan Kundera atau tas punggung, karena saat itu ia belum kecanduan sastra sebagaimana sekarang.

Dan soal sastra, Tegar tak akan lupa bahwa ada orang selain Marsinem yang membuatnya kecanduan barang tersebut. Orang kedua yang gambarnya saja sudah mampu menjebol tanggul mata Tegar. Orang lain yang bahkan usianya masih setengah usia Marsinem.

Sempat terpikirkan bagi Tegar untuk lari menghampiri orang itu. Tapi pikiran tersebut bertahan tak lewat dari dua menit. Tegar ingat bahwa ia pernah merundung orang itu dengan konflik yang sama dengan yang dilakukannya pada Marsinem saat ini.

“Kau adalah pria paling bengis di dunia. Tak ada manusia yang betah di sampingmu dalam waktu selama ini, kecuali aku,” orang itu, di kota lain pernah menyerang Tegar dengan kalimat tersebut.

“Kau salah. Ada lainnya, dan wanita itu bernama Marsinem,” saat itu Tegar bergumam demikian, namun itu semua hanya dilafalkannya dalam hati.

Dan kini Tegar tak yakin kalimat itu benar. Lagipula Marsinem sudah mengatainya iblis karena konflik naif yang dibuatnya, sebagaimana orang kedua kini muak dengan Tegar.

Jika boleh berpledoi, Tegar tak ingin jadi seperti ayahnya. Namun justru keinginan untuk jadi diri lain itulah yang membunuh eksistensi seorang lelaki bernama Tegar. Dan Tegar telah kehilangan itu, kehilangan Marsinem dan orang kedua.

Soal orang kedua itu, nampaknya Tegar harus merumuskan ulang definisinya. Selama ini Tegar menyebutnya “orang” karena tak paham jenis kelamin yang dimiliki si orang kedua. Ia bukan laki-laki yang gemar memotong kalimat, bukan pula wanita yang kerap distigmakan sebagai pengikut taat.

Pada akhirnya, di dalam rumah itu, waktu Tegar habis karena terlalu keras memikirkan kemungkinan jenis kelamin orang kedua. Bagaimanapun, tegar mencintainya bukan karena berkelamin perempuan ataupun laki-laki, dan memikirkan orang kedua justru membuat tegar semakin gila.

Sepuluh menit berlalu. Marsinem membuka pintu yang tadi dibantingnya. Ia keluar menghampiri Tegar sambil membawa senapan angin Pak Subarja. Tegar ingin berlari, menyahut tas punggungnya dan berharap orang kedua yang dicintainya menunggu di ambang pintu. 

Ia berharap orang itu dan Marsinem akan menjadi seperti dulu, seperti ketika Tegar belum memainkan konflik terlarang. Sungguh, tidak ada mimpi lain yang ingin diwujudkan Tegar selain membersamai Marsinem dan orang kedua.

Dua detik berlalu dan Tegar tetap bingung. Ia masih terpaku, berdiri di posisi sama, gagal memulai langkah untuk meraih tas punggungnya dan berlari. Lalu tiba-tiba kebingungan Tegar dan langkah Marsinem terhenti. Seseorang mengetuk pintu rumah dari luar. Seseorang yang Tegar tahu persis siapa itu, meski mungkin Marsinem tidak.

SHARE THIS

1 komentar: