Selasa, 12 Juli 2016

Pulang

Dok.internet

Oleh: Bima Mulya Perdana
Pagi ini, aku kembali ke aktifitas kantor seperti biasa. Bahkan dengan perasaan biasa. Aku tidak merasakan bagaimana hangatnya suasana lebaran. Tapi, aku tetap masih bersemangat kerja dan masuk hari ini.

“Pagi, Pak Sena” sapa sekretarisku. Aku tersenyum dan segera menanyai kabarnya. Dia cukup heboh menceritakan bagaimana mudik kali ini. Bahkan aku hanya tersenyum saat dia menyelesaikan ceritanya. Dia tahu aku akan selalu begini. Tapi, dia tidak tahu apa alasan yang tepat. Aku pun berlalu begitu saja setelah menanyakan jadwal pertemuan hari ini. Cukup banyak hal yang harus kuselesaikan hari ini. Apalagi, aku bekerja di kantor swasta. Tapi, aku tetap senang. Gaji disini lebih dari cukup untuk aku yang masih sendiri. Aku segera berkutat dengan komputer dan handphoneku. Aku menjawab semua pertanyaan bahkan complain-an para pelanggan.

Adzan berkumandang, aku segera meninggalkan komputerku dan menuju kantin. Aku lihat hiruk pikuk di kantin mengingatkanku dengan kejadian bertahun – tahun lalu. Aku hanya tersenyum simpul. Dan segera menuju makanan kesukaanku.

“Eh, Pak Sena. Apa kabar, Pak? Mau pesen naon? Soto?” tanya Bi Mirah, penjual soto di kantin kantor. Aku bilang kalau aku baik saja dan mengiyakan bahwa aku pesan soto dan es teh manis. Aku jarang memasak makanan dan membawa bekal. Aku juga malas delivery order. Jadi, untuk lebih praktis aku selalu makan di kantin kantor. Aku bisa segera kembali ke pekerjaan dan tidak perlu terjebak macet di tengah kota sana.

Setelah makan siang, aku sempatkan melihat aktifitas kantor yang lengang. Tiba – tiba handphoneku bergetar. Aku membaca pesan itu sambil berjalan menuju ruanganku. Saat aku membaca bagian isi, aku berhenti melangkah. Tak lama, aku kembali berjalan menuju ruangan tanpa membaca bagian akhir pesan itu. Aku sudah sering mendapat pesan seperti itu. Aku bahkan selalu bilang kalau itu pesan dari masa lalu. Pernah satu dua kali aku membalas pesan itu. Tapi, sama saja tidak akan berdampak baik.

Setelah jam menunjukkan pukul 8 malam. Aku berkemas dan pulang. Di perjalanan, aku melihat masih ada sisa – sisa kendaraan yang terjebak macet di bahu jalan. Tidak banyak, tapi cukup mengganggu pemandangan. Rumahku cukup jauh dari kantor. Jadi, aku harus tetap siaga mengemudi walaupun aku mengantuk. Dan dalam waktu 2 jam, aku sampai rumah. Aku membersihkan diri dan segera tidur.

Kubuka mataku, aku masih merasakan kantuk yang hebat. Dan benar saja, saat kulihat jam di dinding masih menunjukkan pukul 2 dini hari. Aku mencoba untuk tidur lagi, tapi tidak bisa. Tiba – tiba terlintas tentang pesan yang kuterima tadi siang. Dan saat itu juga, aku sangat penasaran. Tapi, aku mencoba untuk bersikap tak peduli dan segera mengambil laptopku untuk mengecek berita terkini tentang pekerjaan. Aku masih gelisah dan gusar. Aku benar – benar bingung dengan ini. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap bangun dan memasak. Entah apa, mungkin akan lebih baik. Aku memasak ayam bakar, cukup menyita waktu, jadi aku tidak perlu memikirkan tentang pesan kemarin. Akhirnya, pukul lima pagi ayam bakarku sudah jadi. Aku menikmatinya dan segera mandi. Setelah itu, aku berangkat ke kantor. Dan rasa gelisah itu muncul lagi di perjalanan. Aku tahan rasa penasaran itu sampai di parkiran. Dan aku perlahan membuka handphone dan membaca pesan itu. entah kenapa, baru kali ini aku membaca sebuah pesan dengan perasaan yang tidak menentu. Aku baca pesan tadi sampai akhir dan aku merasa aneh. Aku merasa rindu dengan apa yang kusebut masa lalu. Aku merasa ingin sedikit melihat bahkan aku rela jika itu hanya kilasan. Baru kali ini, mataku pedih setelah membaca pesan. Aku segera mengatur emosiku dan berjalan menuju kantor. Aku jadi tidak bersemangat bekerja. Aku merasa ada yang terus mengajakku pulang. Ini pertama kalinya aku merasakan hal yang menggangguku dan membuatku ingin beranjak dari kursi kerjaku.

Aku juga harus tetap bertanggung jawab dengan pekerjaanku. Jadi, aku tetap meneruskan pekerjaanku. Hingga saat adzan zuhur berkumandang, aku merasa lebih ingin pulang. Selalu saja, suara ini membuatku ingin pulang. Tapi, ini adalah titik puncak kegusaranku. Hingga saat adzan itu selesai berkumandang, aku tetap diam dalam gelisah. Saat itu juga, aku ingat nasihat ayah untuk berwudhu ketika aku merasa tak tenang. Aku pun berwudhu di kamar mandi dan kembali duduk di kursi kerja. Aku melihat sekeliling, berharap ada jawaban disana. Tapi nihil, aku berdiri dan melihat ke jendela luar. Dan disana aku melihat orang berbondong memasuki masjid, bahkan setengah berlari karena takut ketinggalan. Tapi, aku hanya diam disini. Aku merasa sedikit hampa. Kuputuskan untuk shalat di mushola kantor. Ini adalah pertama kalinya aku shalat setelah sekian tahun. Aku ragu. Tapi aku coba untuk benar – benar pulang. Aku mensejajarkan kakiku dan lurus menghadap kiblat. Aku menenangkan hatiku sejenak. Dan mulai shalat. Setelah salam, aku terdiam. Aku tidak lupa bacaannya walau sehuruf dan aku merasa khidmat yang lama tak aku rasakan. Aku berdoa. Aku meminta maaf. Aku bersyukur. Karena aku telah pergi begitu jauh dan lupa untuk pulang dan bersyukur karena aku diingatkan untuk pulang.

Aku dulu anak yang taat. Bahkan selalu nomor satu di kampung. Tapi, ketika aku sudah menjadi orang. Dan ketika aku ada di puncak keimanan, ada seorang yang tak pernah taat bahkan sekalipun tak pernah menengok jika disapa oleh keimanan, tega menghabisi nyawa ayah ibuku ketika aku sedang di masjid, berdoa dan meminta perlindungan untukku dan keluarga. Sejak itu, aku merasa yang kulakukan ini sia – sia. Aku pergi. Benar pergi. Aku pergi dari kampung. Aku pergi dari jalan yang lurus. Aku mengambil semua resiko. Hanya ada satu yang tersisa dari tiap masalah. Ada seorang wanita dengan umur lebih tua dariku yang selalu mengirimiku pesan untuk pulang kerumah dan ada seorang wanita dengan umur lebih tua dariku yang untuk pertama kalinya mengirimiku pesan untuk pulang ke iman. Dia kakakku. Bahkan ketika aku merasa sia – sia. Dialah yang selalu mengajakku untuk menerima. Dan ketika aku pergi, dia mengajakku untuk pulang, selalu. Dan aku segera menelponnya, mengabarinya suatu keajaiban. Aku berjanji segera pulang dan bilang padanya aku sudah pulang. Tidak ada yang perlu tahu tentang apa isi pesan itu. dan seberapa berharganya pesan itu. Hanya aku yang perlu tahu tentang bagaimana dan mengapa aku pulang.

SHARE THIS

0 Comments: