Dok.internet |
Oleh: Arwin Setio Hutomo
Saya terinspirasi menulis tulisan ini berkat melihat sebuah iklan pengobatan alat vital pria yang mengatasnamakan Mak Erot di pinggiran jalan kota solo. Kepolosan saya membuat kaget akan iklan tersebut ada di kota Solo. Mengingat, iklan-iklan yang mengatasnamakan Mak Erot biasanya banyak ditemukan di wilayah Jawa Barat (karena Mak Erot berasal dari Sukabumi, Jawa Barat). Hal itu menyadarkan saya akan betapa iconic-nya Mak Erot dalam dunia pengobatan tradisional alat vital pria.
Berbicara tentang Mak Erot, para pembaca (khususnya pria) pasti tidak asing mendengar nama tersebut. Mak Erot sendiri bernama Erot binti Muntasya. Ia adalah seorang nenek yang tinggal di Gunung Pasir Baru, Kampung Cigadong, Desa Caringin, Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Mak Erot terkenal sebagai seorang tabib yang ahli mengatasi masalah seksual. Namun, yang membuat Mak Erot menjadi legenda adalah tentang keterampilannya untuk menerapi alat vital pria, terutama membesarkan ukurannya. Ketenarannya tidak hanya ada di level lokal (Jawa Barat dan Sekitarnya), namun telah tersebar di seluruh Indonesia bahkan manca negara.
Mak Erot telah menjadi therapist alat vital sejak zaman penjajahan Jepang, tepatnya tahun 1945. Menurut Syaifulloh, satu di antara cucu-cucu Mak Erot (dikutip dari nasional.news.viva.co.id), praktik terapi vitalitas pria yang dilakukan Mak Erot pertama kali dilakukan kepada seorang tentara jepang yang mengidap disfungsi ereksi. Penyakit tentara tersebut akhirnya dapat sembuh dan membuat nama Mak Erot menjadi melegenda. Mak Erot sendiri tercatat telah meninggal pada usia lebih dari 130 tahun.
Permasalahan seksualitas bagi para pria merupakan sebuah hal yang sensitif. Bahkan, masalah tersebut terkadang masih dianggap tabu oleh masyarakat untuk di umbar. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa seksualitas merupakan sebuah hal dasar bagi kehidupan manusia. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan kepuasan seksual yang ingin di capai manusia.
Jantan dan perkasa merupakan dua terma yang seringkali digunakan untuk menggambarkan maskulinitas pria. Satu di antara yang menjadi cermin maskulinitas pria adalah besarnya “barang” yang dimiliki pria. Pengamatan Kilmartin (dalam Lever, Frederick, dan Peplau: 2006) menunjukkan bahwa besarnya “barang” pria menentukan kejantanannya. Pengaruh eksposur media seperti televisi, majalah pria, video porno, dan situs-situs yang menggambarkan kejantanan pria juga memberikan pesan hubungan antara besarnya "barang" dengan kejantanan.
Adanya eksposur pesan yang dikemukakan sebelumnya berdampak pada keminderan pria atas alat vital yang dimilikinya. Banyak penelitian menenukan bahwa banyak pria takut jika pasangannya tidak puas akan ukuran alat vital yang dimiliki. Padahal, ukuran yang dimiliki adalah normal/ sesuai dengan rata-rata (dalam Lever, Frederick, dan Peplau: 2006).
Ukuran rata-rata alat vital pria memang bermacam-macam, bergantung pada latar belakang etnik. Misalnya, rata-rata panjang alat vital pada saat “lemas” (flacid) pada pria etnik kaukasia adalah 8,6 cm – 9,3 cm. Pada saat ereksi yaitu 12,9 cm – 14,5 cm. Sedangkan, rata-rata keliling pada saat ereksi adalah 8.8 cm – 10.0 cm (cornellurology.com).
Manusia adalah makhluk yang tidak pernah puas akan apa yang telah dimilikinya. Manusia selalu menuntut lebih atas apa yang ada. Termasuk dalam hal ini adalah kepemilikan “barang” alamiah lelaki. Adanya eksposur pesan media membuat pria merasa bahwa “barang” yang dimilikinya masih kurang untuk mendapatkan kebahagiaan. Kebahagiaan di sini adalah kebahagiaan seksual dari laki-laki dan pasangannya.
Adanya ketidakpuasan tersebut mendorong para lelaki berlomba-lomba untuk membesarkan “barang”nya. Yang saya tekankan di sini adalah bukan hanya faktor eksternal (kepuasan pasangan) saja yang menjadi pendorong pembesaran alat vital tersebut. Namun, faktor keinginan untuk mendapatkan kenikmatan seksual yang lebih dalam diri lelaki serta menaikkan harga diri juga mendorong kegiatan pembesaran tersebut.
Berbagai cara dilakukan pria mengupayakan penambahan ukuran “barang”nya, baik medis maupun tradisional. Secara medis, pembesaran "barang" dilakukan dengan operasi plastik yang biayanya mencapai USD 9.500 atau sekitar Rp 128 Juta (kurs USD 1 = 13.500).
Biayanya yang tidak terjangkau tersebut tentunya menggoda para lelaki untuk mendatangi klinik-klinik alternatif yang biaya berobat sekitar Rp 800 ribu per konsultasi. Tingginya biaya medis juga mendorong semakin menjamurnya praktik pengobatan kelamin secara tradisional yang tentunya menawarkan harga berobat jauh lebih murah. Bahkan banyak yang menggunakan nama “Mak Erot” untuk menarik pelanggan, walaupun entah siapa sebenarnya yang resmi memiliki “trademark” serta treatment warisan Mak Erot.
Selain itu, treatment pembesaran mandiri juga marak ditemui di internet serta penggunaan alat-alat pembesar kelamin yang marak dipasaran. Hal tersebut juga memiliki resiko kegagalan yang tinggi jika tidak berhati-hati.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa pria Indonesia cukup banyak yang menginginkan ukuran kelamin yang lebih besar. Namun, hal itu banyak dilakukan dengan tanpa pertimbangan medis sehingga menimbulkan malpraktik. Pada 2015, tercatat ada 209 kasus paraffinoma (memperbesar kelamin dengan suntikan) yang biasanya dilakukan dengan menyuntikkan kelaminnya dengan minyak rambut maupun minyak kasuari (wawancara dr. Boyke Soebahli dalam internasional.kompas.com tanggal 19 Oktober 2015).
Lalu, apakah ritual pembesaran harta berharga laki-laki itu diperlukan? Lihat dahulu kondisinya. Jika memang diperlukan karena suatu kondisi medis, maka langkah operasi perlu dilakukan. Namun, jika alasannya hanya karena ketidakpuasan dan ingin mempertontonkan keperkasaan saja maka lebih baik tidak. Hal tersebut mengingat resiko yang akan diterima seperti malpraktik atau pembengkakan kelamin (bukan pembesaran atau pemanjangan).
Memang, masalah memenuhi kebahagiaan alamiah manusia yang satu ini memang sedikit rumit. Tidak hanya dipikirkan oleh orang dewasa, namun juga kalangan remaja. Namun, apa yang sudah ada merupakan anugerah dari Tuhan dan harus dipergunakan sebaik-baiknya. Jadi, jika memiliki pikiran untuk membesarkan anugerah itu, berpikirlah dua kali.
0 Comments: