Senin, 02 November 2015

Tayangan Turki Mencuri Hati, Kapan Tayangan Indonesia Menarik Simpati ?


Oleh: Metta Tysdya Maggandhini.
Mahasiswi Ilmu Komunikasi FISIP UNS Angkatan 2013

Setelah sempat dibombardir oleh sinetron bermuatan drama musikal ala Hollywood, Korea Selatan, dan cerita kerajaan India, kini tren layar kaca dipenuhi serial-serial yang dimainkan bintang berwajah khas Eropa dengan judul unik. Telenovela kembali lagi ke televisi meskipun bukan dari Latin, melainkan Turki. Telenovela milik Turki saat ini menjadi yang terpopuler di antara sinetron lokal. Fenomena ini tentu menjadi perbincangan dan pertanyaan besar, megapa Indonesia diserbu oleh serial Turki? Vice president Marketing PR Trans TV, Hadiansyah Lubis menyatakan bahwa unsur mayoritas agama Islam di Indonesia menjadi salah satu unsur elemen pendorong maraknya tren tersebut. Meski cerita dan look-nya modern, masih ada aspek sosial-budaya yang terasa dekat bagi penonton Indonesia. Norma-norma kepantasan pada serial Turki juga tidak dilanggar, sehingga tontonannya masih akan terasa nyaman bagi penonton Indonesia  (Detik.com, 07/08/2015).
Kehadiran serial drama Turki ini menjadi angin segar bagi penikmat sinetron di Indonesia. Setelah muncul banyak komentar miring tentang sinetron-sinetron yang tayang di Indonesia, yang cenderung dipaksakan, munculnya tayangan Turki menjadi pilihan dan hiburan yang sama sekali baru bagi penontonnya. Berbeda dengan kehadiran drama Korea yang notabene memanjakan kaum muda dan menonjolkan cerita cinta yang dimainkan oleh artis-artis yang terlampau ‘cute’, serta serial drama india yang banyak menyuguhkan cerita kerajaan yang begitu kental, tayangan Turki ini hadir dengan aspek sosial budayanya yang tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Sehingga, tidak perlu banyak waktu untuk menyesuaikan diri ketika menonton tayangan Turki ini, karena rasa-rasanya dekat dengan kehidupan rakyat Indonesia, mulai dari kesehariannya, alur ceritanya, dan konflik yang terjadi.
Jika diperhatikan, tayangan Turki yang sedang marak di Indonesia seperti : Cinta di Musim Cherry, Abad Kejayaan, Shehrazat, Cansu&Hazal, Gang Damai, Yamak Ahmet, dan Elif ini tidak hanya berhasil meng-gaet kalangan muda saja, namun tayangan inipun sukses digandrungi kalangan ibu-ibu. Ketika kaum perempuan sudah menjadi penguasa televisi dirumah, terutama ibu-ibu, sudah bisa dipastikan remote televisi sudah tidak bisa diambil alih pihak lain. Kaum wanita sangat mudah terbius oleh sesuatu yang memuaskan perasaannya, jadi merupakan strategi yang tepat sasaran dengan menyuguhkan cerita drama Turki ini sehubungan dengan kekuatan drama Turki di Indonesia. Topik dan cerita serial turki menjadi obrolan hangat yang diperbincangkan kalangan ibu-ibu ketika bertemu dengan rekan kerja, tetangga, atau keluarganya. Hal yang sama pun berlaku juga bagi kaum muda. Ketika saling bertemu, mereka merasa semakin puas untuk terus menikmati alur cerita dengan tujuan untuk berinteraksi secara peer group (teman sebaya).
Kekuatan tayangan Turki adalah menjadi hiburan yang sangat memanjakan pemirsanya. Bagaimana tidak, poin kenyamanan yang berhasil diberikan, kesamaan cerita dan kemiripan segi sosial-budayanya, ditambah ajakan kepada pemirsa untuk menikmati keindahan kota Turki secara gratis, membuat pemirsa betah menatap layar kaca setiap harinya ketika tayangan berlangsung. Lagi, artis-artis yang rupawan, tak kalah menjadi kekuatan didalamnya.     
Dari sisi lain, berbicara mengenai serbuan tayangan Turki, setelah Korea dan India, kapan ya Indonesia mau meyerbu? Atau tidak usah muluk-muluk mencuri hati, paling tidak menarik simpati dari penonton dulu saja, kapan akan tercapai? Jika di negara sendiri saja, industri sinetron lokal tidak menjadi minat masyarakat, malah menimbulkan komentar-komentar yang kurang memuaskan? Rasa-rasanya, tayangan Indonesia sedang lelah dan tidak bergairah. Cerita yang itu-itu saja dengan konflik yang tak berujung sehingga menimbulkan kesan membosankan, membuat diri merasa tidak berani dan mengatakan ‘jangan’ untuk keluar kandang. Apresiasi yang kurang dari banyak pihak terhadap industri pertelevisian Indonesia mungkin menjadi salah satu faktornya. Juga ruang bagi para kreator untuk menciptakan dan menjalankan idenya masih sangat kurang. 
Menuruti tren masyarakat sampai menjadi latah adalah ciri khas pertelevisian indonesia. Tren selalu berganti, tren korea berganti india, lalu sekarang berganti Turki. Lebih memilih membanjiri layar kaca dengan tren yang ada, daripada menciptakan tren itu sendiri.

SHARE THIS

0 Comments: