Senin, 02 November 2015

Bahasa dalam Media


Beberapa pekan lalu, di Kota Salatiga, sebuah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) menerbitkan sebuah terbitan yang menggemparkan bukan hanya kota kecil tersebut, namun jagad Indonesia. Banyak tulisan dalam sosial media menyebarkan sebuah talutan berisi Majalah Lentera. Hal yang membuat gempar sebenarnya adalah reaksi berlebihan dari pihak kepolisian setempat dan juga jajaran tinggi universitas tempat LPM tersebut bernaung.
Dalam sebuah pemberitaan media online, Sekretaris Jendral PPMI, Abdul Somad mengatakan “Tindakan Dekan Fiskom (Fakultas Ilmu Komunikasi) UKSW (Universitas Kristen Satywa Wacana) Daru Purnomo merampas majalah tersebut adalah bentuk pengekangan kebebasan pers.” Hal tersebut benar adanya.
Masa sekarang ini, kebebasan berpendapat dan berekspresi adalah sebuah hal yang tidak dapat dibelenggu. Dukungan undang-undang serta pengalaman masa lalu (era pemerintahan Soeharto) menjadi pendukungnya. Namun sebelum berbicara kebasan berpendapat, sebelumnya mungkin perlu dilihat dari sudut pandang lain, yakni bahasa.

Bahasa
Media massa dikenal sebagai pilar keempat demokrasi, tapi tak banyak yang tahu bahwa media massa juga pilar keempat pendidikan, setelah keluarga, sekolah, dan masyarakat. Dalam hal ini terbitan mahasiswa tidak terlepas dari konteks tersebut. Sebagai salah satu sarana pendidikan, terbitan mahasiswa harus bertanggung jawab dan dapat dipertanggungjawabkan.
Di ranah media massa, bahasa adalah alat utama. Sirikit Syah, dalam bukunya Membincang Pers, Kepala Negara dan Etika Media berpendapat bahwa bahasa membentuk dunia, bukan mencerminkannya. Bahasa bukan lagi alat untuk menyampaikan pesan, namun bahasa dianggap sebagai pesan itu sendiri.
Sebagai sebuah pesan, hendaknya bahasa disampaikan dengan cara-cara yang lebih mudah dicerna, terutama media massa yang dilihat oleh publik yang luas. Pekerja media, dalam hal ini jajaran redaksi Majalah Lentera, dapat melihat apakah bahasa yang tertulis telah memiliki makna yang tepat, sesuai dengan konteks dan tidak menimbulkan kerancuan. Kecuali jika tujuan penggunaan bahasa tersebut hanya sekadar membuat kontroversi seperti yang dilakukan media ecek-ecek yang bersebaran di dunia maya. Saya tidak tahu.
Judul di halaman kover dianggap banyak pihak—termasuk kepolisian—terlalu provokatif, begitulah yang tertulis di beberapa pemberitaan online. Dibanding kata provokatif, mungkin lebih tepat menyebutnya ambigu—bermakna ganda—sehingga dapat menimbulkan kekaburan dan ketidak jelasan. Judul yang tertera di halaman kover bertuliskan ‘SALATIGA KOTA MERAH’, dicetak dengan uppercase, font berwarna merah, dengan gambar berwarna hitam putih dari sebuah kerumunan yang membawa papan bergambar palu arit.
Merah memiliki banyak makna. Merah di bendera RI bermakna berani. Merah di lampu APILL bermakna berhenti. Lalu merah dalam sampul Majalah Lentera bermakna apa? Apakah pihak redaksi Lentera ingin mengatakan bahwa di Kota Salatiga merupakan kota yang berani, ataukah bahwa di kota tersebut pernah terjadi sebuah kejadian merah (berdarah)—seperti pada Bandung Lautan Api—seperti di salah satu tulisannya, atau bahwa Salatiga adalah sarang PKI?
Dari berbagai respon masyarakat di sosial media, sepertinya judul tersebut ditangkap seperti makna terakhir diatas. Sayangnya isi tulisan dari majalah tersebut tidak menggambarkan hal serupa. Beberapat tulisan menggambarkan kejadian di luar Kota Salatiga. Judul tersebut tidak mencerminkan isi dari majalah dan tak menggambarkan situasi Kota Salatiga di tahun 1965.
Hendaknya pihak redaksi, mengerti konsekuensi dari pengangkatan isu 65 masih berdampak, terlebih lagi banyak pihak-pihak yang masih terlalu takut mengungkit hal tersebut. Penggunaan bahasa yang tepat dalam mengangkat kembali isu tersebut selayaknya dipertimbangkan matang-matang, atau mungkin para pegiat terbitan mahasiswa masih terlalu malas dalam mengkaji bahasa. Bisa jadi.

Malas
Di dunia media massa cetak, proses pembuatan berita dilakukan dengan alur yang lebih panjang. Dari sejak laporan ditulis, diedit, diverifikasi, ditata, dicetak kemudian diterbitkan dan disebarluaskan. Kesalahan-kelasalahan seharusnya dapat lebih diminimalisir dengan alur kerja yang sedemikian panjangnya. Juga ketidak sesuaian dalam penggunaan bahasa.
Andreas Harsono dalam bukunya, ‘A9ama’ Saya Adalah Jurnalisme sempat menyinggung satu hal yang kerap menjadi permasalahan dalam dunia jurnalisme modern, yakni kemalasan. Andreas menuliskan bahwa dalam kerja jurnalisme sering kali awak media luput dalam melakukan beberapa hal terkait penulisan, terutama verifikasi dan penggunaan bahasa yang tepat.
Hikmat dan Purnama Kusumaningrat dalam buku Jurnalistik Teori dan Praktik juga menuliskan hal yang serupa, penggunaan diksi yang tidak tepat sering kali menjadi permasalahan dalam dunia pers. Pekerja media agaknya terlalu malas melakukan pengkajian kepada bahasa yang mereka tulis.
Hal yang sama mungkin saja terjadi di kasus Majalah Lentera ini. Sebagai pegiat pers mahasiswa, saya juga sering kali melihat hal serupa. Tidak untuk mengeneralisasi apapun, namun selayaknya mereka yang berkaitan dengan publik luas seyogyanya menjauhi kata ‘malas’, terlebih lagi para pegiat media.
Hendaknya dalam era kebebasan berpendapat dan berkespresi ini, tidak serta merta belaku tanpa batas. Suatu pristiwa memiliki konteks, suatu bahasa memiliki makna, hendaknya pers mahasiswa dapat lebih arif dalam menggunakannya. Meski demikian, saya tetap memberi apresiasi pada tulisan teman-teman UKSW yang telah menyajikan cerita yang menarik dan berita yang memberi gambaran baru pada narasi dalam sejarah. (Radityo Kuswihatmo)

SHARE THIS

0 Comments: