Senin, 27 Januari 2014

Riuhnya Kapitalisasi Media



Oleh : Erma Yuniati
Adanya jaminan kebebasan pasca orde baru, tidak dapat dipungkiri menjadi sebuah wujud transformasi besar-besaran terhadap wajah pers dan media di Indonesia. Lepasnya cengkraman pemerintah orde baru menjadi penegas adanya sebuah era baru dan area segar bagi media. Namun sayang, lepasnya dominasi pemerintah, baik disadari atau pun tidak justru membawa media pada sisi pengaruh kepentingan lainnya. Sebagaimana yang secara kasat mata dapat diamati sekarang ini, pemilik modal menjadi pihak yang menggantikan kekuasaan tersebut. Pergeseran kekuasaan seakan memunculkan tokoh baru secara natural.


Kepentingan pemodal kini menjadi faktor penting, bahkan utama, yang sangat tercermin dari berbagai isi tayangn media massa. Penggiringan opini publik sejalan dengan apa yang dikehendaki pemodal seakan-akan menjadi sebuah pemakluman dan wajar. Kepentingan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya (dalam berbagai bentuk, baik finansial, elektabilitas atau apapun) dari bisnis media seakan berubah menjadi sebuah area yang semakin hari semakin mengundang banyak pihak untuk turut menikmatinya.

Media massa tak hayal bagaikan mata uang yang memiliki dua wajah. Di satu sisi sebagai institusi sosial dan disisi yang lain sebagai institusi bisnis. Dimana keduanya tak dapat dipisahkan serta secara harmonis membentuk sebuah dinamika yang ada kalanya menimbulkan banyak pertentangan dan konflik tajam. Perannya sebagai institusi sosial kedengaran berimplikasi lebih positif dibanding keberadaannya sebagai institusi bisnis yang mengandung berbagai kepentingan dan menjadikan massa sebagai obyek konsumen semata. Layaknya perusahaan yang menghalalkan segala cara untuk meraup untung sebesar-besarnya dari keberadaan masyarakat sebagai pasar. 

Dalam keberjalanannya, berbagai fenomena media yang erat dengan kegiatan ekonomi tersebut, sempat tidak banyak disentuh dalam berbagai kajian ataupun penelitian. Orang lebih terkonsentrasi pada bias kebebasan bersuara dan transparansi berkenaan dengan uforia pasca orde baru. Padahal pendangan kritis yang syarat dengan intrik ekonomi menjadi sangat penting untuk mengantisipasi dan perwujudan kontrol terhadap kapitalisasi media yang semakin tidak terkendali.

Pengkajian ekonomi media secara kritis tentu harus peka dalam memandang kentalnya praktek dominasi yang kian hari kian nampak jelas. Terlalu naif menyebut frase obyektifitas media massa ketika menengok pada realita yang ada. Nyatanya perut dan prestise kemewahan masih jauh lebih bermakna dari pada sekedar kejujuran yang kini hanya dianggap sebatas realita buatan manusia. Keberadaan materi jauh lebih realistis dari berbagai informasi yang dulunya juga dianggap realistis pula.

Industrialisasi media kini menjelma menjadi sebuah ranah yang menancapkan peran penting dalam kehidupan masyarakat yang semakin modern dan global. Keberadaan pemerintah yang kurang mampu menjaga martabatnya justru akan semakin terinjak dan tunduk pada hiruk pikuk di balik kepentingan media massa. Saat ini tentulah akan terasa aneh, bahkan bodoh, ketika seseorang mempertanyakan mengapa media terkesan hanya mewadahi kepentingan atau suara dari pihak-pihak tertentu. Sebuah retorika yang kembali menggiring pada ranah permodalan dan kekuatan ekonomi yang mendominasi.

Ketika sudah mendapati realita sebagaimana yang digambarkan tersebut, maka rasa-rasanya terlalu berlebihan ketika menggantungkan harapan terlalu tinggi terhadap isi media massa. Dalam artian akan semakin sulit untuk berharap media mampu memberikan pengaruh positif dan penanaman nilai-nilai keluhuran dalam diri masyarakat di negeri ini secara luas. Keberpihakan yang terlampau besar semakin menegaskan bahwa media massa telah terlampau jauh terjebak dalam kapitalisasi dan dominasi yang tak kunjung henti.

Sedikit menengok pada berbagai jenis dan isi tayangan (di stasiun televisi swasta nasional khususnya), maka sekilas akan sangat terasa bagaimana permaianan kapitalisasi nampak didalamnya. Pasar adalah faktor utama yang menjadi penentu bagaimana tayangan akan di kemas. Hal ini memang sebuah problem, mengingat bagaimana kondisi masyarakat Indonesia yang masih sangat mudahnya terbuai dengan berbagai tayangan yang dapat dikatakan sampah. Sedangkan media sendiri, televisi khususnya, justru mamanfaatkan hal tersebut demi keuntungan yang besar. Hal inilah yang seakan menjadi siklus, secara terus menerus menambah jalinan benang kusut yang tak teruraikan.

Lagi-lagi media harus mampu mendapatkan modal yang besar untuk dapat menjalankan produksinya dan tentu memperoleh keuntungan pula selayaknya perusahaan pada umumnya. Misalnya stasiun televisi, untuk dapat menarik para pemodal maka ia harus memiliki rating yang tinggi atau dengan kata lain memiliki pemirsa setia yang banyak. Hal tersebut tidak akan tercapai apabila tayangan yang disajikan tidak menarik dan sesuai dengan selera masyarakat secara luas. Ketika saat ini banyak acara-acara yang dianggap tidak bermutu atau tidak bermuatan positif namun nyatanya justru digemari dan menjulangkan rating menjadi semakin tinggi, lantas mengundang pemodal atau pengiklan yang semakin banyak dan acara tersebut semakin langgeng, bukankah semakin sulit untuk menyelesaikan permasalahan semacam ini. Dan lagi-lagi integrasi dari berbagai elemen bangsa ini kembali diuji dalam keriuhan kapitalisasi.

SHARE THIS

0 Comments: