Sabtu, 11 Januari 2014

Indonesia: Demokrasi dan Islam

Oleh : Ilham F. Maulana

Banyak negara berpenduduk muslim mengalami kesulitan dalam kebebasan berdemokrasi di masyarakat umum, lebih disebabkan karena komposisi penduduk yang plural atau beragam sehingga mudah berujung ke dalam konflik, juga permasalahan hukum yang masih membatasi dalam berdemokrasi. Tetapi masalah kebebasan berdemokrasi tidak hanya terjadi di negara-negara berpenduduk Muslim, juga negara-negara lain.


Pendapat bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Oleh Amerika Serikat, Indonesia dianggap sebagai model negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia yang sistem demokrasinya paling berhasil.

Apa saja yang memperkuat pendapat tersebut maka perlu dijelaskan bagaimanakah sistem demokrasi di Indonesia. Meski perkembangan demokrasi di Indonesia mengalami pasang surut, tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi politik dan demokratisasi di Indonesia. Bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga ekseskutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat[1]

Apa yang menjadi dasar Indonesia sebagai negara demokrasi tidak lain berasal dari sumber hukum dan dasar hukum Indonesia yakni Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu 1999 dalam empat tahap selama empat tahun (1999-2002). Langkah pembaharuan demokratisasi tersebut mampu membawa Indonesia kepada sistem demokrasi yang terbuka dan adil. Amandemen UUD 1945 telah melakukan perubahan  prinsipil atas UUD 1945, yang pada intinya  telah dilakukan penyerasian pasal dan ayat-ayatnya dengan nilai-nilai Pembukaan UUD 1945. Staatsfundamentalnorms negara yang terkandung dalam Pembukaan telah ditegakkan sebagai rujukan isi pasal dan ayat UUD.  Pengaruh Staatsidee negara integralistik-totaliter atas pasal dan ayat UUD dihilangkan[2].

            Dengan adanya amandemen tersebut maka dasar hukum demokrasi Indonesia yang semula ialah rumusan lama Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 : “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Menjadi rumusan baru setelah amandemen yakni,  Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 mengatakan : ”Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Prinsip ini sesuai dengan norma dasar dalam Pembukaan, khususnya sila ke-4 Pancasila. Dimana semula Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dianggap sebagai penjelmaan rakyat di pemerintah menjadi tidak berlaku lagi, negara merupakan kedaulatan rakyat dimana seluruh lembaga pemerintah berasal dari suara rakyat, Rumusan baru Pasal 1 ayat (2) UUD 45 mengembalikan pesan Pembukaan bahwa negara Indonesia itu berkedaulatan rakyat. Ia dilaksanakan menurut UUD 45, menurut ketentuan-ketentuan konstitusi. Karena itu demokrasi kita adalah demokrasi konstitusional.  

Mengenai keberhasilan Indonesia sebagai penduduk bermayoritas Muslim yang mana sistem demokrasinya berhasil, maka perlu dilihat pada bagaimana proses demokrasi di negara Islam. Banyak perdebatan yang muncul mengenai demokrasi di negara-negara non-sekuler (agama) karena sumber hukum yang digunakan berbeda, dimana negara non-sekuler menggunakan kitab suci sebagai sumber hukumnya dan juga dikarenakan banyak pandangan dari kaum intelektual agama yang menganggap bahwa rakyat atau manusia tidak berdaulat melainkan hanya Tuhan. Meski begitu, tidak banyak perbedaan yang muncul. Bahkan dalam negara-negara agama, walaupun sumber hukum dapat berasal dari ayat kitab suci, hal ini tidak membuatnya menjadi negara teokrasi[3]. Fahmi Hewadi, seorang sarjana terkemuka di dunia Arab, menegaskan dalam bukunya Islam and Democracy bahwa ada tujuh tiang bagi sebuah negara Islam. Di antara ketujuh komponen ini, yang terpenting adalah Umat, masyarakat yang bertanggung jawab menegakkan kebebasan, keadilan, dan kesetaraan. Artinya, umat memiliki tanggung jawab dalam menjalankan kehidupannya di masyarakat tetapi masih di dalam batas-batas yang ditetapkan kitab suci. 

Indonesia meski tidak menggunakan hukum agama dalam menyelenggarakan pemerintahan, namun begitu sumber hukum yang digunakan Indonesia masih menyentuh kepada agama. Sebagaimana ditegaskan: "Indonesia bukanlah negara sekuler, tetapi juga bukan pula negara agama. Namun di dalamnya negara tetap mengambil peran dalam agama. Begitu pula sebaliknya."[4]. Hal ini merupakan refleksi masyarakat Indonesia saat ini, karena agama masih merupakan unsur penting bagi kehidupan. Sebagai negara demokrasi dengan masyarakat muslim terbesar Indonesia menggunakan pengembangan dialog antaragama yang lebih baik. Menurut peneliti pada Akademia Sinica, Taiwan, tersebut, Indonesia amat penting bagi perkembangan demokrasi ke depan, terutama karena Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas Muslim.[5]
Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim sejak pada masa kerajaan Majapahit runtuh atau sekitar abad ke-10. Setiap periode masa dan sejarah Indonesia dipengaruhi oleh hadirnya Islam. Hingga masa Reformasi dimana hukum-hukum yang menyatakan kedaulatan rakyat di munculkan kembali. Maka tidak heran Islam menjadi bagian dari sumber hukum Indonesia, terutama pada masalah demokrasi. Islam Menurut Gumilar R Soemantri dari masa ke masa selalu memberikan corak sendiri terhadap negara dan pemerintahan. Menurutnya setelah merdeka indonesia telah melewati 3 corak periode. Periode tersebut adalah periode colonial yang ditandai dengan demokrasi tidak jalan, civil society terabaikan, dan ekonomi terabaikan. Kemudian periode peralihan yang terjadi pada pemerintahan presiden Soeharto yang masih membungkam kekuatan civil society. Sementara yang terakhir adalah periode the end postcolonial era dimana ekonomi pasar telah masif, civil society kuat, namun ekonomi konstitusi masih terabaikan.[6]

 Indonesia meski merupakan negara pluralitas yang tinggi, namun semua itu disatukan dengan dasar negara yakni Pancasila. Maka karena itu esensi pokok dalam proses demokrasi kita adalah saling menghormati satu sama lainnya, diantara semua pihak yang berasal dari latar belakang suku, agama, ras dan asal-usul yang berbeda-beda. Proses demikian itu tidak lain adalah proses musyawarah dalam kekeluargaan yang setara, bekerjasama dan inklusif.

Pendapat yang menyatakan bahwa Indonesia merupakan model bagi negara berpenduduk Muslim yang sistem demokrasinya paling berhasil mungkin benar dengan adanya fakta-fakta sebelumnya. Namun, sebelum hal itu menjadi topik umum dan menjadi acuan bagi negara Muslim lain maka perlu dikaji kembali mengenai keberhasilan demokrasi di Indonesia tersebut


[1] Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik.(Jakarta, 2008). hlm. 134.
[2] Jakob Tobing. “Republik Indonesia adalah Negara Kesatuan, Negara Demokrasi Konstitusional, dan Negara Hukum”.http://www.leimena.org/en/page/v/373/republik-indonesia-adalah-negara-kesatuan-negara-demokrasi-konstitusional-dan-negara-hukum. 24 Juni 2012.
[3] Mohammed Al Garf dan Nicholas Iovino.”Demokrasi dan Mayoritas Negara Muslim”.2 Maret 2007.http://www.commongroundnews.org/article.php?id=20468&lan=ba&sp=0.24 Juni 2012
[4] Dr Mujibburahman dalam seminar di Universitas Nasional Chengchi Taiwan (NCCU) mengatakan bahwa Indonesia bisa menjadi model demokrasi di negara-negara Islam di Taiwan. Kompas. 31 Mei 2008.
[5] ANT. “Indonesia Bisa Jadi Model Demokrasi Negara Islam”.Kompas. 31 Mei 2008

[6] Mukhlisin. “Demokrasi dan Dinamika Islam di Indonesia”. http://icrp-online.org/042012/post-1867.html.

SHARE THIS

0 Comments: