Selasa, 01 Oktober 2013

The Special Gift For You

Dok.VISI
Oleh: Arina Rohmatul H – Ilmu Komunikasi FISIP UNS 2012

Kupersembahkan untukmu paman, seorang paman terbaik yang pernah kumiliki. Selamat jalan dan selamat tinggal.
Semoga engkau selalu ada dalam rahmat serta lindungan-Nya

Ketika itu, hujan turun dengan derasnya. Malam rebah, dengan udaranya yang dingin membuat suasana pada saat itu begitu menggelisahkan. Pamanku terbaring tak berdaya di atas ranjang tua. Dengan gemericik air yang jatuh, semakin menambah kepedihan saat melihat keadaannya yang seperti itu. Kondisi yang rapuh, lemah, dan tidak bisa berbuat apa-apa. Hanya bisa mengandalkan bantuan dari orang lain terutama istrinya yang begitu setia menemani serta merawatnya.


Sebelumnya, semua berjalan baik seperti sediakala. Semua duka itu bermula tepat pada bulan Januari 2012. Pada akhir Januari, tubuhnya sering lemas dan pusing. Akhirnya, karena sudah tak tertahankan lagi, dia memutuskan untuk memeriksakan dirinya ke rumah sakit. Setelah diperiksa, ternyata trombositnya turun menjadi sangat rendah. Dan karena itu, untuk sementara waktu dia harus menginap di rumah sakit.
Kejadian seperti itu tidaklah terjadi satu atau dua kali saja, tapi bahkan berkali-kali. Dan puncaknya adalah waktu malam hari tanggal 3 April 2012. Paman mengeluarkan begitu banyak darah dan semua orang panik melihat kondisi paman yang seperti itu. Awalnya memang tidak ada yang tahu, kenapa keadaan paman menjadi lebih parah. Namun ternyata setelah menjalani beberapa kali pemeriksaan bahkan harus dilakukan BMA[1], maka baru diketahui bahwa dia telah menderita penyakit Anemia Aplastic[2].
Tentunya bisa dibayangkan bagaimana kondisi seseorang yang sel darah merahnya tidak mau berproduksi lagi. Ibarat kata, mereka seperti “mayat hidup” yang tidak bisa melakukan apa-apa. Mereka hanya bisa menggantungkan hidupnya pada beberapa kantong trombosit, yang berfungsi sebagai “nyawa” mereka sendiri. Itulah yang juga dirasakan oleh pamanku. Tidak ada yang bisa dilakukannya saat itu. Tubuhnya yang dulu tegap dan terlihat begitu sehat, kini sudah tak bisa dijumpai lagi. Yang terlihat justru tubuh kurus, wajah pucat, dan mata sendu. Dia hanya bisa pasrah dengan keadaan yang ada.
“Kenapa aku dikasih cobaan seperti ini ya, Nduk? Kenapa jalanku seperti ini? Apa ada yang salah dengan diriku?” ucapnya lirih pada ibuku.
Dengan berusaha menahan air matanya, ibuku berusaha menghibur kakak yang sangat disayanginya itu.
“Sudahlah Mas Awing, kamu pasti bisa melewati ini semua. Yakinlah bahwa Tuhan tidak tidur. Tuhan selalu melihat kita dan selalu bisa memahami apa yang kita rasakan. Terkadang, semuanya harus berproses bila kita menginginkan makna yang sesungguhnya dalam hidup ini.”
Berbagai cara pun telah dilakukan. Mulai dari berobat ke dokter di salah satu rumah sakit swasta hingga berobat ke tiyang sepuh pun juga tak ketinggalan. Namun hasilnya apa? Hasilnya nihil. Semuanya masih belum bisa menunjukkan perkembangan yang berarti bagi kondisi paman.
Ketika putus asa terus menggelayuti, ketika harapan pergi entah kemana, dan ketika keikhlasan hanya satu-satunya jalan yang bisa diandalkan, sebuah uluran cinta-Nya datang menyapa.
Salah satu saudara mengatakan bahwa ada seseorang yang memiliki penyakit sama dengan paman. Dia berobat ke salah satu rumah sakit yang ada di Kota Malang, dan kondisinya dapat membaik. Maka tanpa pikir panjang, seketika itu juga paman langsung dibawa kesana untuk diperiksa sekaligus dicarikan solusi terbaik apakah yang harus dilakukan.
Tak bisa mengungkapkan apa yang dirasakan waktu itu, karena setelah menjalani perawatan di rumah sakit tersebut selama beberapa hari, keadaan paman mulai membaik. Trombositnya tidak cepat turun, dan sedikit demi sedikit sel darah merahnya mulai bisa untuk berproduksi kembali.
Harapan sudah tumbuh begitu suburnya, dan keputusasaan sudah ditinggalkan jauh di belakang. Semua terasa bahagia dan begitu menenangkan. Hanya satu harapan saat itu, semoga saja kebahagiaan yang belum tahu ujungnya ini akan seterusnya seperti ini dan tidak berubah. Ya... semoga.
***
Hidup dan mati memang menjadi takdir-Nya, siapa sangka awal sebuah kepedihan harus dimulai dulu dengan sebuah harapan dan kebahagiaan. Terkadang kita berpikir bahwa kepedihanlah yang akan membuahkan sebuah kebahagiaan, tapi kali ini, sepertinya itu tidaklah sama. Semua memang benar-benar tidak terpikirkan, dan hanya bisa menerima apa yang sudah digariskan.
Dengan kondisi yang terus menerus membaik, paman mulai berani untuk melakukan aktivitas walau hanya yang ringan-ringan saja. Wajahnya sudah tidak sepucat dulu, dan juga, tubuhnya sudah terlihat lebih segar daripada sebelumnya.
Waktu itu, aku masih ingat jelas ketika ada acara ulang tahun di sekolahku, dan salah satu untuk memeriahkannya diadakanlah acara jalan sehat. Paman juga menjadi guru matematika disana, ditambah lagi dengan sudah merasa sehat daripada sebelumnya akhirnya memutuskan untuk mengikuti kegiatan tersebut, meski hanya mengikuti acara waktu pembagian doorprize saja.
Ternyata dalam acara pembagian doorprize tersebut, pamanku beruntung bisa mendapatkan hadiah. Tidak hanya satu, tapi dua. Handukdan payung. Pamanku tidak menyangka kalau dia akan mendapatkan hadiah-hadiah itu. Tapi yang jelas, saat itu dia menemukan kembali kebahagiaannya yang sempat hilang beberapa waktu lalu.
Kebahagiaan sementara, terkadang tidak bisa diduga kapan akan berakhir. Kebahagiaan yang mendalam, seakan justru itulah yang akan mengantarkan pada duka yang mendalam pula. Paman, setidaknya kamu sudah bisa merasakan kebahagiaan itu walau hanya sebentar. Melihatmu bahagia, melihatmu tersenyum, sudah cukup bagiku untuk menghapus semua kepedihan yang kurasakan ketika melihatmu terbaring kesakitan.
***
Tanggal 27 Mei 2012 pukul 19.00 WIB.
Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan waktu itu. Aku tidak menyangka kalau ternyata kebahagiaan yang hanya sebentar itu, ternyata adalah salah satu pertanda bahwa paman akan pergi untuk selama-lamanya. Dan aku juga tidak menyangka, kalau perpisahan umum kelas XII yang diselenggarakan tanggal 28 Mei 2012 juga merupakan perpisahan bagi kita selaku murid dengan seorang guru yang telah membimbing dan mengajari kita selama ini.
Handuk dan payung yang dia dapatkan, ternyata bukanlah sebuah simbol kebahagiaan. Tapi justru handuk dan payung itulah yang menjadi salah satu pertanda bahwa paman akan kembali ke pangkuan-Nya. Handuk itu akhirnya digunakan untuk mengusap jasad paman ketika akan dibungkus dengan kain kafan, dan payung itu digunakan untuk mengantarkan dia ke rumah masa depannya.
Paman dilahirkan dalam keadaan yatim karena telah ditinggal oleh ayahnya ketika masih berusia sangat kecil. Dan sekarang, dia juga telah meninggalkan ketiga anaknya dalam keadaan yatim sama seperti apa yang dulu pernah dia alami.
Paman, ketika kebahagiaan itu datang menyapanya, ternyata kebahagian itulah yang mengantarkan kita semua pada kepedihan yang mendalam karena telah kehilangannya untuk selama-lamanya. Aku bahagia, setidaknya paman pernah merasakan kebahagiaan walau hanya sebentar.
***
Kutulis cerita ini sebagai bentuk kesengajaan untuk mengenangmu. Maaf, bila kata yang tertuang terlalu sederhana. Cerita yang tertorehkan mungkin juga tak sebanding dengan apa yang telah terjadi. Tapi percayalah, semua ini bukanlah sekedar goresan tinta hitam yang tak bermakna. Murni kupersembahkan ini sebagai ungkapan cinta dan sayangku padamu.
Kuingin mengenangmu, merengkuhmu melalui kata, dan mempersembahkan sebuah karya terbaik yang mungkin bisa membuatmu tersenyum disana. Terima kasih telah menjadi paman terbaik selama ini. Terima kasih telah menjadi guru yang selalu membimbing dan mengajariku tentang bagaimana menjalani hidup.
Semoga engkau bahagia di sana, Paman. Dengan segala doa dari kami yang begitu menyayangimu. Kupercayakan Tuhan sebagai perawat terbaik bagimu...






[1] merupakan proses pemeriksaan sumsum tulang belakang dengan cara mengambil sedikit sampel dari sumsum tulang belakang seorang pasien yang terindikasi menderita leukimia, untuk diperiksa apakah dalam sumsum tulang tersebut terdapat sel sel kanker atau tidak. Caranya yaitu dengan  mengebor pada ruas tertentu di tulang belakang  pasien dalam posisi duduk atau tiduran menyamping dan tubuh ditekuk agar membungkuk hingga mudah bagi dokter untuk memasukkan jarum dari bawah ruas tulang belakang yang berbuku buku itu.
[2] Sel darah merah tidak mau bereproduksi lagi. 

SHARE THIS

0 Comments: