Senin, 30 September 2013

Fakta Hebat Cek Miranda Gultom

Oleh Dyah Ayu Mawarny


Dok. Internet
Judul                : Cek Miranda dan Korban-korbannya
Penulis             : Baharuddin Aritonang
Halaman          : viii + 250
Penerbit           : Pustaka Pergaulan, Jakarta

Melalui buku “Cek Miranda dan korban-korbannya, Baharuddin Aritonang memaparkan kisah yang sebenarnya terjadi di balik semua berita  yang menyeretnya ke penjara Salemba menurut versinya. Beliau pun juga mengungkap berbagai kebusukan yang dilakukan oleh DPR, BPK, KPK, Pengadilan Tipikor, dan sebagainya.


Inti cerita pada bagian awal buku tersebut adalah pendiriannya yang tidak pernah mengakui menerima Cek Miranda sepersen pun. Beliau menyampaikan bahwa kasus tersebut tidak adil karena hanya berdasarkan laporan dan pengakuan dari Hamka Yamdhu, eks anggota Komisi IX DPR dari Fraksi Golkar yang termasuk orang-orang DPR yang pertama yang dicokok oleh KPK dalam kasus Cek Miranda.

Yang pertama adalah soal perkenalan dengan Nunun Nurbaeti, istri eks wakil kepala Polri itu yang juga menjadi terdakwa dalam kasus yang tersebut juga. Sejak awal Hamka mengaku datang ke kantor Nunun, di Jalan Riau 17, Menteng, Jakarta Pusat untuk mengambil ‘titipan’ dari Nunun karena diajak oleh Alm. Azhar Muclis pada tanggal 8 Juni 2004, yang berarti tepat sehari setelah Miranda dipilih sebagai Deputi Gubernur Senior BI. Namun Ahmad Hakim Safari MJ alias Arie Malangyudo menjelaskan, Hamka datang ke kantor Nunun tanggal  7 Juni 2004, sehari sebelum dilakukan pemilihan terhadap Miranda tersebut. Kemudian sehari setelah itu, yaitu pada tanggal 8 Juni 2004, Hamka datang lagi untuk mengambil amplop cokelat bertanda kuning. Berdasarkan kesaksian Arie itu, Hamka datang mengambil ‘titipan’ Nunun datang sendiri, bukan diajak oleh Alm. Azhar.

Lalu yang kedua mengenai persoalan rapat Fraksi Golkar. Di BAP, Hamka selalu menyebutkan ada rapat-rapat fraksi komisi atau rapat-rapat yang melibatkan para ahli yang membahas  dan menyepakati untuk memilih Miranda. Di daftar rapat itu antara lain tercantum nama Baharuddin sebagai salah satu peserta. Namun Baharuddin mengatakan bahwa pengakuan Hamka itu hanya dibuat-buat. Bukan saja rapat-rapat yang disebut Hamka tidak pernah ada melainkan tanggal rapat yang di dalamnya tercantum nama Baharuddin, telah dihapus oleh Hamka. Artinya, Hamka telah menyodorkan bukti daftar rapat fraksi yang lain, yang dianggap seolah-olah adalah rapat fraksi untuk membahas pemilihan Miranda.

Dan yang ketiga soal jumlah pembagian cek. Pada tanggal 31 Agustus 2009 di BAP, Hamka mengaku Baharuddin menerima 10 lembar Cek Miranda darinya. Pengakuan tersebut diulangi lagi di BAP 11 Oktober 2010. Di kedua BAP itu Hamka menerangkan bahwa penyerahan 10 lembar Cek Miranda senilai Rp 500 juta ke Baharuddin jumlahnya sama dengan yang dia terima. Bedanya, di BAP pertama, Hamka mengaku Baharuddin yang mengambil cek itu ke ruangan kerja Hamka.

Di BAP kedua, dia mengaku mengantarkan cek itu ke ruang kerja Baharuddin. Banyak terjadi pernyataan yang tidak sinkron satu sama lain. Namun pada kenyataannya, Baharuddin mengatakan bahwa pada tanggal 9 Juni 2004, dia tengah mengikuti rapat PAH I Badan Pekerja MPR yang membahas hasil-hasil Komisi Konstitusi. Baharuddin pun mengatakan adanya saksi, yaitu Amidhan, yang juga ikut rapat. Baharuddin berpendapat bisa saja timbul kecurigaan yang mana bisa saja orang berpikir kalau dia mengutus orang lain untuk mengambil cek tersebut dari Hamka, tapi dia bersumpah demi Allah tidak menerima Cek Miranda. Dia bahkan menyetujui usul pengacaranya, agar menantang majelis hakim melakukan sumpah pocong atau melakukan mubahalah untuk membuktikan, dia atau Hamka yang berbohong.

Buku ini menarik untuk dibaca, kita dapat merasakan emosi dari penulis yang dituangkan melalui kisahnya yang merasa tidak adil. Dari buku ini kita dapat memetik pelajaran bahwa uang dapat membutakan segalanya dan membuat orang-orang menjadi lupa diri dan memaksakan suatu keadaan tertentu.


SHARE THIS

0 Comments: