| (Sampul film Frankenstein / Sumber: Netflix) |
Judul : Frankenstein
Tahun Rilis : 2025
Sutradara : Guillermo del Toro
Pemain : Oscar Isaac (Victor Frankenstein), Jacob Elordi (The Creature), Mia Goth
(Elizabeth), Felix Kammerer (William Frankenstein), Christoph Waltz (Heinrich
Harlander)
Genre : Drama, Horor, Fiksi Ilmiah
Durasi : 150 menit
Produksi : Netflix
Lpmvisi.com, Solo — Melalui tangan sutradara dan penulis peraih piala Oscar Guillermo del Toro, kisah klasik Frankenstein karya Mary Shelley diadaptasi dengan sangat indah. Film Frankenstein lahir kembali bukan sebagai film horor biasa, melainkan sebagai refleksi mendalam tentang kehidupan, kematian, cinta, dan harapan. Melalui eksekusinya yang kelam nan indah, Frankenstein (2025) menyajikan perjalanan emosional antara pencipta dan ciptaannya. Perjalanan dari dua sosok yang sama-sama terjebak dalam kesepian, penyesalan, dan pencarian makna kehidupan.
Film ini menceritakan perjalanan Victor (Oscar Isaac) dan The Creature (Jacob Elordi) sebagai pencipta dan ciptaannya. Victor Frankenstein adalah seorang ilmuwan brilian yang terobsesi menaklukkan dogma. Dia percaya bahwa kematian dan kehidupan dapat diubah tanpa campur tangan Tuhan. Obsesinya ini tidak lahir tanpa alasan; masa lalu yang melahirkan obsesinya dalam menaklukkan kematian.
Kegilaan Victor Frankenstein lahir dari absennya cinta seorang ayah yang seharusnya didapatkan sang anak. Ayahnya adalah sosok yang dingin dan kejam. Victor membenci ayahnya atas kekejaman yang diproyeksikan kepada dirinya. Namun tanpa sadar, darah kekejaman ayahnya mengalir deras dalam darah Victor Frankenstein. Victor tumbuh tanpa kasih sayang ayah, ditambah lagi ibunya yang menjadi satu-satunya cahaya dalam hidup Victor, tewas dalam perjuangan melahirkan adiknya, William Frankenstein. Lukanya yang mendalam atas kematian sang ibu, menumbuhkan hasrat dalam menaklukkan kematian. Victor yang brilian—tidak dapat dipungkiri bahwa kecerdasannya merupakan bagian dari ayahnya yang juga cerdas—memiliki keinginan menciptakan kehidupan abadi. Ia menyatukan potongan tubuh manusia yang telah mati dan menghidupkannya kembali menjadi The Creature (Jacob Elordi).
Victor tidak akan berhasil dalam menciptakan The Creature tanpa bantuan Heinrich Harlander (Christoph Waltz), paman dari Elizabeth (Mia Goth), tunangan adiknya. Harlander membantu Victor dengan menyediakan tempat dan memenuhi kebutuhan finansial dalam eksperimen Victor yang cukup “gila”. Dengan mengerahkan seluruh tenaga dan pikirannya, Victor berhasil membuat The Creature. Namun, keberhasilan yang awalnya menjadi puncak ambisi ilmiahnya justru berubah menjadi mimpi buruk ketika ciptaan itu menunjukkan sisi manusiawinya: rasa ingin tahu, kesepian, dan keinginan untuk dicintai layaknya manusia.
The Creature berbentuk layaknya manusia, dengan postur tubuh besar dan luka di sekujur tubuhnya, yang merupakan hasil dari persatuan berbagai potongan tubuh orang yang sudah meninggal. Dalam perjalanannya, The Creature berusaha memahami dunia yang menolak keberadaannya. Muncul pertanyaan dalam benaknya, “Am I a monster?” Ia bertanya-tanya apakah dirinya adalah monster, atau hanya cermin dari dosa penciptanya? Konflik antara Victor dan ciptaannya pun berkembang menjadi tragedi filosofis yang mempertanyakan batas antara manusia dan Tuhan, antara kehidupan dan kematian. The Creature meluapkan amarahnya atas pengkhianatan yang dilakukan oleh Victor, penciptanya sendiri. Ia marah karena Victor menghidupkannya, tanpa bisa membuatnya mati. Bahkan, kematian menjadi gelombang harapan bagi The Creature. Ia ingin menghentikan semua penderitaan yang dirasakannya dengan satu cara: mati.
Berlatar di Eropa abad ke-19, Dan Lausten sebagai sinematografer berhasil membuat film ini terasa indah di tengah-tengah kekelaman, dengan sinematografi yang memukau. Frankenstein ditampilkan dengan detail artistik yang megah, penuh kabut, cahaya redup, dan warna dingin yang memperkuat suasana gotik. Desain makhluk ciptaan Victor pun dibuat dengan CGI yang halus, menampilkan The Creature yang terlihat lebih manusia daripada monster. Kostum-kostum yang dikenakan oleh para pemeran juga tidak kalah indahnya. Membuat setiap adegan terasa seperti lukisan yang hidup, memperlihatkan keindahan di balik kegelapan.
Oscar Isaac menampilkan sosok ilmuwan yang kompleks: ambisius, brilian, namun rapuh oleh rasa bersalah. Sementara Jacob Elordi berhasil memberikan kesan baru pada karakter The Creature, bukan sebagai sosok menakutkan, tetapi sebagai entitas yang haus kasih sayang. Emosi, ekspresi tubuh, dan tatapan kosongnya menghadirkan paradoks antara monster dan manusia. Penampilan keduanya menciptakan hubungan dramatis yang dalam dan menyayat hati. Dengan perpaduan cerita yang menarik dan penampilan yang totalitas, film ini memberikan kesan bagus bagi penontonnya. Meninggalkan berbagai emosi di hati terdalam.
Namun, ada beberapa bagian film yang terasa lambat karena Del Toro memberi ruang bagi adegan simbolik dan dialog artistik. Penonton yang mengharapkan ketegangan konstan mungkin merasa film ini “terlalu tenang”. Namun, kelemahan ini tidak mengurangi kekuatan keseluruhan film secara tematik dan visual.
Film Frankenstein mengandung banyak “gore” di dalamnya, menjadikan film ini kurang cocok untuk ditonton oleh anak-anak berusia di bawah 16 tahun. Dengan alur dan bahasa yang cukup kompleks, Frankenstein cocok dinikmati oleh kalangan remaja akhir dan dewasa. Film ini ditutup dengan kutipan indah dari Lord Byron: “And thus the heart will break, yet brokenly live on.” dengan arti “Demikianlah hati akan hancur, namun tetap bertahan hidup.” Sebuah penutup yang menggema, seirama dengan luka dan harapan yang menyelimuti Frankenstein. (Fathinah Azmi Karimah)
0 Komentar