Rabu, 22 Mei 2024

Tolak RUU Penyiaran, Gabungan Pers dan Mahasiswa Gelar Aksi di Plaza Manahan


(Orasi dilakukan di depan Patung Soekarno, Plaza Manahan disertai beberapa poster Tolak RUU Penyiaran pada Selasa (21/5 / Dok. Asyahra)

     Lpmvisi.com, Solo — Unjuk aksi beberapa jurnalis dan rombongan mahasiswa terlihat bergerombol di Plaza Manahan pada hari Selasa, 21 Mei 2024 pukul 16.30. Aksi tersebut sebagai bentuk respon dari adanya RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Penyiaran yang berhubungan langsung dengan Pers dan Jurnalistik. Aksi pada senja hari ini, diprakarsai oleh AJI (Aliansi Jurnalis Independen), Pewarta Foto Indonesia Solo, PWI, serta FORKOM LPM SOLO, yang mengundang seluruh jurnalis, mahasiswa, content creator dan masyarakat umum untuk berkontribusi dalam menolak RUU penyiaran. 


     Gerakan ini merupakan upaya publik, terutama jurnalis, yang terdampak langsung dengan adanya RUU penyiaran. Seperti yang diungkapkan oleh Mariana, salah satu demonstran yang menginisiasi aksi tolak RUU Penyiaran, menyampaikan bahwa gerakan ini adalah untuk menolak RUU penyiaran versi Maret 2024 di mana di dalamnya terdapat pasal-pasal problematik. 


     Beberapa pasal yang mengganggu kebebasan pers dalam menjalankan tugasnya antara lain ialah dihilangkannya jurnalistik investigasi, “Di antaranya salah satu menjadi konsen kita adalah larangan penyiaran konten inklusif jurnalis investigasi, mungkin bagi beberapa pihak ada ketakutan kalo ada sesuatu terungkap di dalamnya, makanya kami konsen menyuarakan hal tersebut,” ujar Mariana saat dituding pertanyaan mengenai pasal-pasal di dalam RUU penyiaran. 

(Potret seseorang dengan badan dicat putih bertuliskan ‘PERS’ terlihat terikat dengan rantai yang dibawa oleh seseorang berjas, menggambarkan situasi saat ini, PERS terancam kebebasannya disebabkan oleh RUU Penyiaran)

     Perempuan yang biasa di panggil Nana itu menambahkan tentang pasal problematik selanjutnya, “Bagaimana radio komunitas, kepemilikan lembaga bukan lagi menjadi milik individu tetapi milik konglomerasi,” pungkasnya. Seharusnya radio komunitas dan lembaga penyiaran bisa bergerak bebas tanpa adanya kontrol dari pihak-pihak tertentu. Kemudian, isu yang disoroti pers adalah terkait penayangan konten-konten yang ada di media sosial yang turut dihapuskan. 


     “Isu yang tidak kelihatan untuk sekarang jika kita diam saja, seperti isi kontennya  diatur, konten yang ada di YouTube itu nantinya juga diatur, nantinya KPI menjadi lembaga superbody yang bikin temen kebebasan berekspresinya terbungkam karena adanya RUU penyiaran ini,” jelas Nana. 


     Melihat RUU penyiaran yang terkesan mendadak, Nana berpendapat bahwa RUU penyiaran terkesan terburu-buru. “Yang disayangkan adalah RUU disusun terburu, kita baru menyelesaikan pemilu 2024 ada anggota baru terpilih.” Hal ini kemudian problem RUU penyiaran akan sama dengan Omnibus Law. Omnibus Law disusun secara kebut semalam. Meskipun menimbulkan demo besar-besaran, Omnibus Law tetap disetujui pada akhirnya. Kemudian hal ini menjadi krusial ketika jurnalis mengkhawatirkan RUU penyiaran akan sama dengan Omnibus Law.


     “Seperti beberapa waktu lalu ketika ada Omnibus Law yg disusun dikebut sehari semalam langsung jadi, kami khawatirini juga akan ada aksi yang serupa yang dilakukan oleh legislator kita, tiba-tiba RUU sudah jadi UU didepan mata gitu,” jelas Nana. 

(Mariana salah satu orang yang  menginisiasi aksi Tolak RUU saat diwawancarai bersama, Selasa (21/5 /Dok. Azra)

     Di akhir wawancara Nana bersama sejumlah jurnalis, ia melontarkan beberapa harapan untuk Pers kedepannya. Ia berharap bahwa RUU penyiaran dihilangkan atau ditunda saja melihat RUU penyiaran yang dibuat secara terburu-buru. “Dan aksi ini harapannya paling tidak pasal-pasal  problematik yang ada di RUU penyiaran bisa apa ya paling tidak dihilangkan atau ditunda lah karna kita sudah ada anggota DPR yang baru ngapain buru-buru  untuk mengubah pasal-pasal yang sebenarnya tidak perlu,” Ujar Nana.


     Kemudian untuk langkah preventif kedepannya, Nana juga berharap aksi lapangan ini tidak hanya berhenti di sini saja, tetapi akan terus berlanjut sampai ke media sosial sehingga pasal-pasal problematik ini tiada. Begitu pula di beberapa daerah yang memulai aksinya, hasilnya DPR merespon dengan adanya aksi Tolak RUU penyiaran tersebut. “Kalo aksi ini tidak hanya meluas di lapangan, tapi juga di media sosial, diteruskan paling tidak sampai nanti ada rapat paripurna selanjutnya, itu suara kita didengar dan paling tidak RUU penyiaran dan pasal problematik itu ditunda," tambah Nana. 


     Nana juga menambahkan sebagai seorang jurnalis, bahwa PERS merupakan jembatan penghubung masyarakat untuk mengakses seluruh informasi. Maka dari itu, PERS sendiri merasa terancam keadaannya dikarenakan pasal-pasal problematik yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam RUU penyiaran. Nana juga beranggapan bahwa kita sebagai pers menjadi pembuka informasi ke masyarakat agar masyarakat selalu tahu perkembangan yang sedang terjadi. 


     “Itu yang menjadi kekhawatiran kita, jadi tiba-tiba saja ada gerakan meskipun ada demo besar-besaran tapi ini adalah aksi kolektif yang kita menjadi mata dan telinga masyarakat, kita kan pers, paling tidak suara kita didengar, katanya kita aksi di lapangan kita yang biasanya meliput aksi di lapangan tapi kita ini yang beraksi, jadi harapannya suara kita makin didengar nggak cuman aksi-aksi yang cuman seperti  ini, tapi nanti berkembang-berkembang, terus menerus,” ujar Nana. (Asyahra, Azra)


SHARE THIS

0 Comments: